Selasa, 15 Februari 2011

Jangan Sembunyikan Yang Hak

“Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. ” (QS. Al Baqarah: 42)
Ayat di atas memberikan kaidah penting dalam cara ke Islaman yang kaffah (sempurna) da kholish (murni).
Pada ungkapan WALAA TAL BISUUL HAQQA BILBAATHIL (dan janganlah kamu campur_adukkan yang hak dengan yang bathil mengandung petunjuk agar kita semua kaum muslimin menghindari bid ’ah dholaalah (kreasi yang sesat) dalam beragama.
Sehingga dengan demikian, kita melaksanakan Islam secara lurus dan murni serta terhindar dari kesesatan.
Pencampuran Islam dengan kesesatan ini di dalam istilah Islam dinamakan bid ’ah. Nah, dalam kaitan dengan bid ’ah, maka kata bid’ah ini secara bahasa berasal dari kata bada ’a yang berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.
Dari sudut bahasa, maka seluruh kreasi manusia, baik dalam lingkup keagamaan ataupun dalam lingkup keduniawian dinamakan bid’ah. Dari sudut pandang bahasa inilah, maka Amirul Mukminin Umar bin Khatthab RA mengomentari shalat tarawih berjama ’ah,

“sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Riwayat Bukhari dan Malik).

Dari sudut pandang bahasa ini pulalah, maka Imam Asy Syafi ’i rahimahullah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah ghoiru madzmumah (kreasi yang tidak tercela), yaitu kreasi yang tidak menyalahi Al Qur ’an dan Sunnah dan bid’ah dholaalah (kreasi sesat), yaitu kreasi yang menyalahi (Manaqib Al Imam Asy Syafi ’I juz I hal. 469). Dari sudut pandang ini pulalah, maka para huffadz, seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Hafidz Ibnul Atsir, Al Hafidz Ibnu Hajar dan lain-lain membagi bid’ah menjadi dua, yaitu kreasi baik (bid ’ah hasanah) dan kreasi tercela (bid’ah sayyi’ah). Yang menjadi masalah adalah pengertian bid ’ah secara syar’i.

Ketika Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap bid’ah sesat.” (HR. Muslim),

maka apakah maksud bid ’ah dari ungkapan disini?
Ada perbedaan di kalangan manusia dalam memaknai bid ’ah secara syar’i yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

       Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah adalah semua kreasi baru tanpa memperdulikan aspek-aspek duniawi atau keagamaan. Kelompok ini diwakili oleh salah seorang tokoh Saudi, Al  Utsaimin (Al Ibda’ fi kamalisy syar’i hal. 13).
Jika kita mengikuti kaidah kelompok pertama ini, maka seluruh kreasi manusia yang tidak ada di masa Rasulullah SAW adalah sesat dan masuk neraka. Sehingga dengan demikian, manusia tidak boleh menggunakan misalnya telephon, mobil, hp, internet dan lain-lain.

       Kelompok kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah semua amalan yang tidak pernah dilakukan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam bidang keagamaan. Pengertian ini seringkali dikemukakan oleh pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi). Berdasarkan pengertian kelompok kedua ini, maka semua kreasi doa (seperti hizb Nawawi, Hizb Barqi), semua kreasi shalawat (seperti Shalawat Nariyah, Munjiyat, Shalawat Barzanji, termasuk shalawat Wahidiyah, dll) adalah bid ’ah, sesat dan tertolak.
     
        Kelompok ketiga adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’. Maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Di antara penganut tafsir ini adalah Al Imam Asy Syafi ’i rahimahullah (Manaqib Al Imam Asy Syafi ’i juz I hal 469) dan para hufadz hadits.
Dari ketiga pendapat tersebut maka jika kita memilih pendapat pertama, nampaknyamustahil dan hal ini bertentangan dengan kenyataan dalam sejarah.

Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW banyak melakukan hal-hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Seperti penggunaan nama Amirul Mukminin pada Khalifah, pelaksanaan tarawih berjama ’ah secara terus menerus (pada masa Rasulullah SAW pernah berjama ’ah tapi kemudian sendiri-sendiri), pembukuan Al Qur ’an dan lain-lain.
Jika kita mengikuti kelompok kedua, maka kita pun akan menemui beberapa kontradiksi dengan kenyataan pada masa Rasulullah SAW maupun para sahabat. Jika kita mengatakan bahwa bila sesuatu itu baik, pastilah Rasulullah SAW akan paling dahulu melakukanya. Namun ternyata hal ini tidak sesuai dengan realita dalam kehidupan para sahabat dan tabi ’in. berikut ini beberapa contoh:

1. Dalam kasus pembukuan Al Qur ’an menjadi satu buku, ini baru dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

2. Penunggalan kondifkasi model Al Qur ’an baru dilakukan dimasa Amirul Mukminin Utsman RA.

3. Dalam kasus pembacaan qunut, Umar bin Khaththab RA memilki doa qunut tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Al Adzkar An Nawawi hal 49).

4. Dalam masalah doa, seorang tabi’in Imam Ali Zainal bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA mengarang rangkaian doa yang kemudian diberi nama Ash Shahifah As Sajadiyyah.

Menurut saya, kelompok ketiga yang mengatakan bahwa bid ’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’. Tetapi jika hal baru tersebut masih bisa dikembalikan kepada dasar Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’, maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaskudkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas: KULLU BID ’ATTHUNN DHALAALAH (setiap bid ’ah adalah sesat). Ini lebih sesuai dengan realita dalam perjalanan sejarah Islam maupun kandungan hadits.

” Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak. ” (HR. Abu Dawud), justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainya. Karena hadits ini memiliki beberapa kandungan makna (mafhum) sebagai berikut:

     1. Bahwa dalam hadits tersebut, ada perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus).

     2. Perkara ini tertolak perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus ) ini tertolak.
Point 1 dan 2 ini disebut mafhum manthuq pemahaman eksplisit).

      3. Secara terisrat (implisit/ mafhum), ketika Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada perkara baru dalam agama yang tidak berasal dari agama, hal ini mengisyaratkan adanya perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar dari agama, baik secara umum maupun khusus).
      Berbeda jika redaksi hadits itu berbunyi:  “ Barang siapa yang 7membuat perkara baru dalam perkara ini, maka ia tertolak. ” Jika redaksi hadits demikian, maka seluruh kreasi baru secara mutlak ditolak. Tapi nyatanya dalam hadits di atas ungkapan, ”… hal-hal baru dalam perkara kami” masih
disifati dengan ungkapan” yang tidak berasal darinya”. Sehingga dengan demikian, ungkapan ini mengharuskan adanya hal-hal baru yang berasal dari agama.

     4. Perkara pada poin no. 3, yaitu perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang memiliki dasar dari agama baik secara umum maupun khusus) tersebut secara
otomatis tidak tertolak oleh cakupan hadits di atas. Karena penolakan hadits hanya pada perkara baru yang tidak ada dasarnya dari agama. Poin 3 ini disebut dengan mafhum mukhalafah (pemahaman implisit). Inilah yang kemudian mendasari munculnya berbagai redaksi doa, shalawat atau bacaan-bacaan lain dari para sahabat maupun tabi ’in.

Karena itulah, sangat bijaksana ketika Al Imam Asy Syafi ’i rahimahullah berkata,: ”Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara ’ bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena udzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali belum diketahui oleh mereka. ” (Itqaan Shin’ah fi tahqiiqi ma’na bid’ah hal. 5).

Pemahaman ini pulalah yang kemudian memunculkan istilah bahasa (bukan istilah syara’) bid’ah hasanah. Istilah bid’ah hasanah ini bukan berarti merupakan kontradiksi dari hadits ” kullubid’ah dholaalah”. Karena bid’ah dalam hadits “kullu bid’ah dholaalah” adalah bid’ah syar’i, sedangkan bid’ah hasanah yang diungkapkan oleh para huffadz merujuk pada istilah kebahasaan dengan pengertian ;”Sesuatu yang tidak dilakukan/dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun berada dalam keumuman atau kekhususan sebuah dalil.


Hadits Nabi Saw Yang Menganjurkan Berbuat Bid'ah Hasanah (Yang Baik) Dan Melarang Berbuat Bid'ah Dhalalah (Yang Buruk) !!! (2).
Diantara saudara2ku pengikut syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memberi komentar menyangkut hadits Nabi Saw,
"mAN sANNA fIL iSLAM sUNNATAN hASANATAN ...,wA MAN SANNA FIL iSLAM sUNNATAN sAYYIATAN .."
sebagai berikut :
“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).
Bantahannya :
Pertama : Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.
Kedua : Rasul yang mengatakan :
“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”
Adalah juga yang mengatakan :
“Semua bid’ah itu adalah sesat.”
Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
Ketiga : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ah). Juga mengatakan (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
Keempat : Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

-------------------------------T A N G G A P A N --------------------------------------

      1). Hadits Man Sanna Fil Islam Sunnatan Hasanatan yg diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut bersifat umum, lafazhnya sangat jelas yaitu

"BARANGSIAPA MERINTIS PERBUATAN BAIK DALAM ISLAM MAKA BAGINYA PAHALA DARI PERBUATAN TERSEBUT, JUGA PAHALA DARI ORANG2 YG MELAKUKAN (MENGIKUTI)-NYA SETELAHNYA TANPA BERKURANG SEDIKITPUN PAHALA MEREKA.

Dan barangsiapa merintis perbuatan buruk dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatan tsb, juga dosa dari orang yg melakukan (mengikuti)-nya setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun."
Inilah petunjuk dari Nabi Saw menyangkut perkara baru alias bid'ah.
Hadits ini secara spesifik menjelaskan bahwa siapa saja yg merintis atau memulai di dalam Agama Islam perbuatan baik akan memperoleh pahala. Merintis perbuatan baik dalam Agama Islam artinya membuat perkara baru alias bid'ah yg baik.
Sebaliknya siapa saja yg merintis atau memulai di dalam Agama Islam perbuatan buruk akan berdosa. Merintis perbuatan buruk dalam Agama Islam artinya membuat perkara baru alias bid'ah yg buruk.
Karena itu kalau hadits ini ditafsirkan sebatas melakukan atau menghidupkan perbuatan yg telah dilakukan atau dicontohkan Nabi Saw seperti bersedekah maka lafazh hadits ini menjadi.

"MAN AHYAA SUNNATAN MIN SUNNATII.. 
( Barangsiapa menghidupkan sunnahku,.." sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amru bin Auf.
Hadits ini lafazh nya sangat berbeda dengan hadits Man Sanna Fil Islam yg diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah.

      2). Penggunaan kata Sanna (Man Sanna) ini juga digunakan Nabi Saw untuk menunjukkan bahwa kata SANNA itu dimaksudkan Nabi Saw sebagai orang yg pertama kali melakukan suatu amalan, bukan mencontoh atau mengikuti amalan yg pernah dilakukan oleh orang lain. Hal ini kita temukan dalam hadits berikut ini : " Tiap-tiap jiwa yang terbunuh dengan penganiayaan.
MAKA PUTRA ADAM YG PERTAMA (QABIL) MENDAPAT BAGIAN DARI DOSA PENUMPAHAN DARAH, KARENA DIALAH ORANG PERTAMA YG MELAKUKAN PEMBUNUHAN [Man Sanna al-Qatl(a)]."
Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Mas'ud ini, Nabi Saw menggunakan kata SANNA utk menjelaskan bahwa Qabil adalah orang yg merintis (pertama kali melakukan) pembunuhan. Jadi kata Sanna tidak dapat ditafsirkan sebagai mengikuti atau mencontoh sunnah (perbuatan) Nabi Saw.
Perhatikanlah dengan seksama, Lafazh hadits ini sejalan dan memperkuat maksud hadits " WA MAN SANNA FIL ISLAM SUNNATAN SAYYIATAN......(Dan barangsiapa merintis perbuatan buruk dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatan tsb, juga dosa dari orang yg melakukan (mengikuti)-nya setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun)"

      3). Penggunaan kata SANNA tidak dapat ditafsirkan sebagai melaksanakan amalan yg dicontohkan atau dilakukan Nabi Saw karena akan menimbulkan kontradiksi dengan lafazh hadits "Man SANNA Fil Islam Sunnatan Sayyiatan..(Barangsiapa merintis dalam Islam Sunnah(perbuatan) Nabi yang buruk. Jelas tidak ada seorang muslim pun yg meyakini adanya Sunnah Nabi yg buruk !

      4). Kata MERINTIS (SANNA) yang artinya sebagai membuat perkara baru yg tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh siapapun juga ditegaskan oleh para ahli bahasa.
Imam Azhari dan Az-Zabidi sebagaimana pernah dirujuk oleh ustadz Firanda Andirja berkata : "Setiap orang yang memulai suatu perkara lalu dikerjakan setelahnya oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah merintisnya" (Tahdziib al-Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah, 12/306)
Hal ini juga sebagaimana disampaikan oleh Az-Zabidi dalam kitabnya Taajul 'Aruus min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul 'Arob 13/220)

     5). Menafsirkan perkataan Nabi Saw : "KULLA BID'ATIN DHALAALAH.." sebagai semua bid'ah sesat jelas keliru dan sangat-sangat keliru. Anggapan saudaraku itu, seolah2 hadits Kulla Bid'atin Dhalaalah bertentangan dengan hadits MAN SANNA Fil Islam Sunnatan Hasanatan jelas sangat salah.Y Kedua hadits tersebut tidak bertentangan bahkan saling menguatkan. Karena kata KULLA/KULLUN tidak bersifat umum, menyeluruh tanpa ada pengecualian sebagaimana diyakini syaikh Utsaimin. Perkataan Nabi Saw "KULLA BID'ATIN DHALAALAH" yg terjemahannya Setiap bid'ah sesat memiliki pengecualian.

i].. Di dalam al-Qur'an, surat Al Kahfi ayat 78-79 Allah Swt berfirman :
' Khidir berkata : " Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan2 yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang2 miskin yg bekerja dilaut , dan aku bertujuan merusakkan perahu itu karena dihadapan mereka ada seorang penguasa yang merampas setiap perahu [KULLA SAFIINATIN GHASHBA(n)]'
kedua ayat ini menjelaskan bahwa kata KULLA tidak menunjukkan arti umum, menyeluruh, dan tidak boleh ada pengecualian.
Kata KULLA di dalam firman Allah Swt ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu (hanya perahu yg baik) akan dirampas sang penguasa. Sedangkan perahu yg rusak tidak akan dirampas. Itulah sebabnya Nabi Khidir merusak perahu milik orang2 miskin agar tidak dirampas perahu milik orang2 miskin itu, yg mana perbuatan tersebut dicela oleh Nabi Musa.
Jadi menurut Allah Swt, kata KULLA tidak bersifat umum, menyeluruh, tanpa pengecualian, dan tidak berarti semua sebagaimana diyakini syaikh Utsaimin.
ii]. Nabi Saw juga bersabda :

"BARANGSIAPA MEMBUAT PERKARA BARU DALAM SYARIAT INI YG TIDAK SESUAI DENGANNYA, MAKA IA TERTOLAK ( Man Ahdatsa fii amrina hadzaa maa laisaminhu fahuwa raddun") [HR. Muslim]

Dengan demikian Nabi Saw memberi petunjuk bahwa membuat perkara baru alias bid'ah yg tidak sesuai syariat akan tertolak, sebaliknya membuat perkara baru alias bid'ah yg sesuai dengan syariat tidak tertolak.
Dengan kata lain kata KULLA/KULLUN menurut Nabi Saw bukan dimaksudkan sebagai menyeluruh, tanpa pengecualian. Bid'ah yg yg tidak sesuai syariat alias bid'ah dhalaalah (buruk) tertolak bahkan dalam hadits lainnya disebutkan berdosa mengerjakannya. Sedangkan Bid'ah yang sesuai syariat alias bid'ah hasanah yg baik tidak tertolak bahkan akan mendapat pahala mengerjakannya.
Jadi kedua hadits tersebut sangat berkaitan dan saling menguatkan.

     6). Mengenai mengapa Nabi Saw tidak menggunakan kata bid'ah di dalam hadits Man Sanna fil Islam Sunnatan Hasanatan/ Sayyiatan itu hanya masalah sinonim atau persamaan kata. Nabi juga menggunakan kata MAN AHDATSA FI AMRINAA sebagai kata persamaan utk menunjukkan perbuatan bid'ah !
Semoga dengan penjelasan ini saudara2ku pengikut syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyadari kekeliruan dan kesalahannya selama ini, yg bertaklid buta kepada fatwa dan perkataan syaikh Utsaimin.


 ”Allahu a’lam

Tidak ada komentar: