Selasa, 07 Juni 2011

BERMADZAB SIAPA TAKUT?





          Bermadzab adalah suatu keniscaya`an. Boleh tidak bermadzab' asal mampu memahahami ayat Al Qur`an  dan hadits. sementara kaum awam sudah selayaknya ber-taqlid, meski tetap ada keluwesan dalam bermadzab.




Suatu ketika Imam safi`i menuaikan sholat subuh di kompleks Imam Hanafi. ketika bangkit bangkit dari ruku (sa`at itidal) di raka`at kedua, beliau tidak membaca do`a Qunut. Padahal, dalam pandangannya, Qunut dalam sholat subuh adalah sunnah muakkadah (sunnah yang di kuatkan) dan di amalkan hingga kini oleh para penganut Madzab Safi`i.
       Ketika murid di tanya oleh murid-muridnya, beliau mengatakan, beliau melakukan demi menghormati Imam Hanafi - yang tidak menganjurkando`a Qunut dalam sholat subuh.
Demikianlah penghormatan Imam Safi`i kepada Imam Hanafi, padahal mereka tidak pernah bertemu, Sebab Imam Safi`i lahir pada tahun 150 H,Pada ketika Imam Hanafi wafat.

Dalam  Koridor Tasamuh
     Sejak berabad-abad ketika kaum muslimin menganut madzab yang berdeda-beda, hubungan para tokoh madzab tetap dalam koridor tasamuh alias toleransi. Dan hal itu pula yang di teladani oleh para pengikut mereka di perbagai belahan dunia islam, termasuk Indosia.
    Di lain pihak, di tingkat awam terkadang terjadi gesekan-gesekan berskala ringan dalam hal khilafiah alias beda pendapat menyankut perbeda`an pendapat menyankut cabang masalah, meskipun hal itu bukanlah gambaran yang dominan atau kecenderungan mainstream.
    tapi, dalam beberapa abad terakhir memang pernah muncul ulama-ulama yang pernah menggugat cara beragama dengan bermadzab. Di antaranya Shyaikh khajan di dalam kitab  Madzahib al-Bar`ah (Apakah seorang muslim harus harus mengikuti Madzab dari Madzab yang empat) sebagaimana di sebut dalam buku argumentasi Ulama Syafi`iyyah, karya H Mujiburrahman.
    Jadi, persoa`alan yang muncul kemudian bukan antara mereka yang berbeda Madzab, melainkan antara  mereka yang bermadzab dan yang menolak Madzab. Dan mereka yang menolak bermadzab mengatakan, semua madzab adalah bid`ah yang di ada-adakan dan bukan bagian dari Islam.

     Benarkah demikian? Apakah para ulama besar semisal Al-Ghozali, An-Nawawi, Ar-Rafi`i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Haitami, Imam As-Suyuthi (dan banyak lagi lainya) telah melakukan bid`ah karena beliau-beliau berpegang pada madzab Syafi`i? Begitu pula, salahkah para ulama besar yang berpegang pada madzab lainya?
     Dari sudut kata, Madzab berarti "jalan, aliran, pendapat, ajaran, atau dokrin". Sedangkan menurut istilah, Secara umum, Madzab berarti "metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam". Pada dasarnya, bermadzab adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang di yakini mempunyai kemampuan dalam berijtihad.

Hukum-hukum sederhana
    Sedangkan mereka yang menolak bermadzab, dan mengharuskan setiap muslim harus  mengambil dalil dari Al-Qur'an dan hadits, mengemukakan argumen bahwa islam tak lebih dari hukum-hukum sederhana yang mudah di mengerti oleh orang arab atau muslim dimanapun juga. mereka antara lain berdalil dengan hadits Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makna Islam, Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan menyebutkan rukun Islam yang lima. tak lebih dari itu.
    Dalil mereka yang lain ialah hadits tentan seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata,"Wahai Rasulullah, tunjukan kepadaku satu perbuatan yang, apa bila aku kerja'kan, aku akan masuk surga."
Rasulullah SAW bersabda,"Bersaksilah bahwa tidak Tuhan selain Allah... (sampai akhir hadits)."
   Seandainya benar hukum-hukum Islam terbatas, niscaya kitab-kitab hadits yang shahih dan musnad-musnad tidakdi penuhi oleh ribuan hadits mengungkap berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.
penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang tata cara melaksanakan rukun-rukun tersebut.
Dan sesugguhnya hukum Islam tidaklah sesederhana itu. Memang, pada masa awal Islam, permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum masih sedikit. Sebab kala itu, daerah penyebaran Islam belum terlalu luas dan kaum muslimin maih sedikit. Belakangan, problem ini problem bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah penyebaran Islam dan bayaknya parkara yang tidak ada sebelumnya yng hukumnya segera di pecahkan berdasarkan sumber-sumber Islam.
    Sejak zaman sabhabat dan Ulama tabi'in, Orang-orang awam selalu bertanya mengenai masalah hukum agama kepada para ulama mujtahid. dan para ulama tidak menentang fatwa yang disampekan dengan cara demikian. Kenyata'an ini dapat di pandang sebagai jimak (kesepakatan) di antara mereka.
    Realitas kehidupan keagama'an umat Islam di Hijaz (Makah Medinah dan sekitarnya) pada zaman sahabatmenunjukan tumbuhnnya Madzab yang berbeda-beda.
Masyarakat Islam Hijaz, dalam waktu itu cukup lama, Mengikuti fatwa atau madzab Ibnu Mas'ud. sedangkan di masa tabi'in , masyarakat Irak dan sekitarnya mengikuti fatwa ulama seperti Al-Qamah, An-nakha'i, Masruq Al-Hamdani, Ibnu Zubair, dan Ibrahim An-nakha'i.
    Sementara itu kaum muslimin di Hijaz bermadzhab kepada Sa'id bin Al-Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Bahkan, Atha bin Rabah dan Mujahid pernah secara resmi di tetapkan oleh khalifah pada masanya sebagai mufti di makkah, dan Masarakat Islam di perintahkan untuk mengikuti fatwa mereka.

Analogi Hukum Islam

    Demikian pula pada masa imam madzab yang empat (Imam Abu Anifah, Imam Malik,Imam Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi', dan Imam Ibnu Hambal). Apa lagi di kala itu ijtihaj sudah memasuki era metologi istinbath (penyimpulan hukum berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist), sudah merumuska parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas shahih dan qiyas batil. Qiyas adalah analogi dalam fiqih atau hukum Islam.
    Ciri lain dari masa itu adalah ijtihad yang telah mencakup seluruh aspek hukum amaliah, dan telah di bukukan. Dan semua itu menunjang kelestarian madzab yang empat. Melintasi batas wilayah  dan menembus perjalanan waktu, hingga kini. Madzab Syafi'i, misalnya, Sejak ratusan tahun silam di anut oleh sebagian besar kaum muslimin di Asia tenggara, termasuk Indonesia, Di samping Mesir, Irak, Yaman dan banyak lagi lainnya. 
    Jadi, Madzab-madzab fiqih di dunia Islam sesungguhnya ad dari seribu tahum silam. Munculnya berbagai madzab tak dapat di pisahkan dari kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan ijtihad, yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzab.
    Rasulullah SAW telah mengutus para sahabat yang memiliki kemampuan  menghafal, memahami, dan menyimpulkan suatu hukum, ke beberapa kabilah atau negeri, dan menguasai mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Mereka juga bersepakat akan berijtihad manakala menghadapi kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadits. Rasulullah SAW pun menyetujui kesepakatan. 
    Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Syu'bah, ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Beliau bersabda, 
                             "Apa yang akan kamu  perbuat jika menghadapi suatu perkara?,

Muadz menjawab,
                             "Saya akan memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah"
 
Rasulullah SAW kembali bertanya,
                             "Jika tidak ada dalam Kitabullah?"

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah".

Rasulullah SAW bertanya lagi,
                             "Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?,

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melebihkannya".

Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dada Mu'adz dan bersabda,
                             "Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan utusan  Rasul-Nya sesuai dengan
                              apa yang di ridhai olehnya (Rasulullah)".

     Ketika Rasulullah SAW wafat, dasar-dasar syari'ah yang fundamental dan umum telah diletakan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat lebih banyak melakukan penerapan (tathbiq) terhadap hukum-hukum syari'ah tersebut. Jika ada suatu hal yang belum di ketahui ketetapan hukumnya, atau di perselisihkan di antara mereka, di lakukan musyawarah atau dialog terbuka, untuk mencapai kesepakatan.


Kesepakatan para sahabat


     Apa yang di ceritakan oleh Maimun bin Marhan  berikut ini contohnya. "Apa bila menghadapi masalah hukum, Abu Bakar Ash-Shiddiq mempelajarinya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Apabila di sana di temukan dalil yang dapat di jadikan dasar, ia putuskan hukumnya dengan dalil tersebut. Tapi, jika di temukan, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah, ia bertanya kepada para sahabat yang lain, 'Apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah SAW mengenai masalah ini?, Apa bila mereka memberi kesaksian bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum tentang masalah tersebut dengan cara tertentu, ia mengikuti keputusan tersebut. Apabila tidak ada yang memberikan kesaksian apa-apa, ia mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah. Apabila mereka dapat mengambil kesepakatan, ia memutuskan memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan para tokoh sahabat tersebut (ijma' ash-shahabah).
    Cara demikian juga di gunakan olehUmar bin Khathab. Setiap kali hendak menetapkan hukum, ia selalu bertanya kepada para sahabat, 'Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menetapkan hukum masalalah itu?, 
Apabila di jawab, Pernah begini atau begitu', Umar mengikuti ketetapan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Pada akhir masa Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah (berarti masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in), Keilmuan Islam makin meluas dan lebih kentara kemandirianya, seperti terpisahnya ilmu fiqih dan ilmu kalam, mumculnya ilmu tasawuf, makin maraknya ilmu hadits dan tafsir.
    Kala itu para ulama fiqih, yang di pandang mempunyai otoritas keilmuan, membahas masalah syariah atau hukum islam yang kemudian terbagi dalam dua aliran.
Pertama, aliran pakar hadits (ahl al hadits) yang literalis, yakni sangat terkait dengan teks dalil naqli, yang di kuasai guru ke murid secara langsung dari masa ke masa.  
Kedua, aliran rasionalis (ahl al-ra'yi), yang lebih rasional dan substansialis (orentasi pada hakikat masalah), banyak yang menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempertimbangkan realitas di tengah masyarakat.
    Aliran pertama berpusat di beberapa perguruan Islam di Hijaz, terutama di Madinah. Di antara tokoh utama adalah Imam Malik bin Anas dan murid-muridnya. Sedangkan aliran kedua berpusat di beberap perguruan Islam di Irak. khususnya dio Khufaf. Di antara tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifaf. Kelompok Hijaz merasa unggul dari kelompok Irak dalam penguasa'an hadits. mengingat jumlah sahabat yang bermukim di Hijaz jauh lebih banyak di banding yang berdomisili di Irak.
     Aliran ahl al-ra,yi sebenarnya di pelopori oleh Ibnu Mas'ud ketika menetap di Irak. Pengguna'an nalar yang di lakukannya merupakan pengaruh khalifaf  Umar bin Khaththab, yang di kaguminya.Khalifaf Umar memang banyak menggunakan peran nalar dalam berijtihad. Bukan hanya dalam masalah yang tak ada dalilnya, tapi juga dalam masalah tertentu yang dalilnya perlu di tafsir ulang. Sebab, menurutnya, dalil tersebut terkait dengan waktu, tempat, dan keada'an tertentu.
    Misalnya, dalam hal Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang perlu di hibur hatinya), yang dalam Al-Qur'an yang termasuk kelompok yang berhak menerima bagian Zakat. Tapi dalam suatu kasus, para muallaf tidak di beri bagian Zakat oleh khalifaf Umar. Sebab, disamping mereka adalah orang kaya., kaum muslimin kala itu tidak perlu lagi menghibur mereka, karena konteks sosial yang hadapi tidak sama dengan keada'an pad waktu nash dalam Al-Qur'an tersebut di turunkan.


Harus Diam Saja?

    Setiap muslim, baik yang bermadzhab maupun tidak, tentu meyakini bahwa dasar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Tapi, yang jadi masalah, tidak setiap orang memiliki kemampuan memahami Al-Qu'an dan Hadits. Jangankan orang yang tidak menguasai bahasa Arab, Orang yang benar-benar menguasai bahasa Arab pun belum tentu dapat memahami makna dan maksud ayat Al-Qur'an dan Hadits tersebut.
     Mengapa? karena ada ayat Al-Qur'an dan Hadits yang maksudnya jelas sehingga tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk memahaminya, tapi kebanyakan membutuhkan penguasa'an berbagai ilmu lain untuk bisa memahaminya. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki persyaratan itu? Haruskah ia diam saja tanpa perlu melaksanakan ayat Al-Qur'an dan Hadits., atau bertanya dan mengikuti para ulama yang mampu memahaminya? Tentulah pilihan kedua yang di ambil, dan memang itulah yang di perintah dalam agama. Banyak dalil yang menunjukan wajibnya bertaqlid (mengikuti) bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad. Antara lain ayat 7 surah Al-Anbiya,
         "Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui."
Para ulama sepakat, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil agar mengikuti orang-orang yang mengetahui. Dan para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada orang yang mengetahui.
Dalil kedua adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa sahabat Nabi SAW berbeda-beda dalam tingkat keilmuanya dan tidak semua mampu memberi fatwa. Para sahabat terbagi dalam dua golongan: Sahabat yang termasuk mufti, yang mampu berijtihad (minoritas), dan para sahabat yang termasuk mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaqlid (mayoritas).
Dalil lain mengenai kewajiban bertaqlid adalah logika, sebagaimana yang di katakan oleh Asy-Syathibi, "Fatwa para mujtahid bagi orang awam adalah sebagaimana dalil syar'i bagi para mujtahid, bagi orang yang ber taqlid, ada atau tidak adanya dalil sama saja, karena tidak mampu mengambil pengertian dari dalil. maka masalah meniliti dalil dan melakukan istinbhat (penyimpulan hukum) bukan urusan mereka, dan mereka tidak di perkenankan melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:


                        "maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"

Tidak ada komentar: