Selasa, 26 Mei 2015

antara 4 madzab



Imam Syafi'i Rahimahullahu Ta'ala pernah berkata:

"apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku"

Ucapan ini, yang juga senada dengan ucapan Imam hanafi dan Imam Maliki ternyata menimbulkan beragam interpretasi yang intinya:

[1] Setiap hadits yang shahih, maka siapapun boleh secara langsung mengamalkannya dan itu berarti telah mengamalkan pendapat imamnya.

[2] Ucapan tersebut tidaklah ditujukan kepada semua orang melainkan khusus kepada mereka yang sudah mendekati atau mencapai derajat Mujtahid.
Dari komentar-komentar para ulama, baik itu dari kalangan Syafi'i, Hanafi, maupun Maliki ternyata bahwa sasaran ucapan tersebut dikhususkan kepada mereka yang sudah ahli dalam memahami nash Den mengetahui mana yang nasikh, dan mana yang mansukh, bukan ditujukan kepada semua orang.

Komentar dari ulama-ulama Syafi'i;

Imam Nawawi Rahimahullahu Ta'ala dalam mukaddimah kitab al-Majmu' jilid I/64 mengatakan, "Ucapan Imam Syafi'i ini tidaklah berarti bahwa setiap orang yang menemukan hadits shahih boleh berkata bahwa ini madzhab Syafi'i dan kemudian mengamalkannya secara tekstual.
Hal ini hanyalah diperuntukan bagi orang yang telah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, atau mendekati derajat tersebut. Disyaratkan pula adanya bukti bahwa Imam Syafi'i belum mengetahui hadits ini atau belum mengetahui keshahihannya.
Ini baru dapat terjadi apabila sudah menelaah semua kitab Imam Syafi'i dan kitab-kitab para sahabat Imam Syafi'i yang mengambil hadits dari beliau dan yang serupa dengan kitab-kitab itu, dan ini adalah syarat yang amat sulit sehingga amat sedikit orang yang dapat memenuhinya."
Syaikh Abu Umar berkata, "Tidaklah gampang mengamalkan lahiriyah ucapan Imam Syafi'i ini. Karena itu, tidaklah setiap faqih (ahli fiqih) diperbolehkan secara mandiri mengamalkan begitu saja apa yang menurutnya telah disebutkan dalam sebuah hadits."

Komentar dari ulama-ulama Hanafi;

Ibnu Abidin dalam Hasiyahnya jilid I/68 mengatakan, "Jelas bahwa hal ini (yakni ucapan "apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku") diperuntukkan bagi orang yang ahli dalam memahami nash serta mengetahui yang muhkam dan yang mansukh."
Muhammad 'Awwamah dalam kitabnya Atsar al-Hadits al-Syarif fi Ikhtilaf al-A'immah al-Fuqoha' mengatakan, "Komentar Ibnu Abidin ini menunjukkan bahwa beliau memandang syarat atau pembatasan ini sebagai perkara yang jelas dan gamblang, yang tidak boleh diabaikan begitu saja.
Jelas sekali bahwa ucapan "apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku" adalah dikhususkan bagi mereka yang ahli dalam memahami nash, mengerti yang nasikh dan mansukh serta yang lainnya.
Tidaklah diperbolehkan sekali-kali bagi orang yang bodoh dan baru belajar untuk menempati kedudukan ini."

Syaikh Abdul Ghaffar (1290-1349), seorang pemuka madzhab Hanafi yang termasuk mufassir, muhaddits dan faqih mengomentari apa yang telah disyaratkan oleh Ibnu Abidin, "Ini adalah syarat yang baik karena kita melihat pada zaman sekarang banyak orang yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu.
Ia merasa dirinya berada di atas awan padahal ia masih terkurung di lembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu dari kitab hadits yang enam (kutub as-sittah) dan di situ ia menemukan hadits yang berlawanan dengan madzhab Abu Hanifah lalu ia berkata,

'Lemparkanlah madzhab Abu Hanifah itu ke dinding pagar dan ambillah hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.'
Padahal hadits yang ia temukan itu telah mansukh atau bertentangan dengan hadits yang sanadnya lebih kuat dan hal lainnya sehingga hilangnya kewajiban pengamalannya dan dia tidak mengetahui hal ini.
Bila pengamalan suatu hadits seperti ini diserahkan kepadanya secara mutlak, maka ia akan tersesat dalam banyak soal dan akan menyesatkan orang lain yang bertanya kepadanya."

Komentar dari ulama-ulama Maliki:

Al-Imam al-Hujjah Syihabuddin Abil Abbas al-Qarrafi, penulis kitab al-Furuq, al-Ahkam dan yang lainnya mengatakan, "Banyak diantara fuqaha' Syafi' i yang berpegang kepada pendapat ini ("apabila shahih suatu hadits, maka dialah madzhabku") dan berkata, '
Demikianlah madzhab Syafi'i karena hadits ini adalah hadits shahih.' Padahal ia telah keliru karena ia mesti menduga tidak ada penentang suatu hadits pada orang yang memiliki keahlian dalam meneliti syari'ah, sehingga diketahui benar bahwa hadits itu tidak ada penentangnya."

Penisbatan suatu hukum kepada madzhab Syafi'i atas dasar sebuah hadits shahih hanya boleh dilakukan setelah melalui penyelidikan yang sempurna agar diyakini tidak terdapat dalil lain yang menentangnya.
Dan hal ini hanya dimiliki oleh mujtahid, tidak yang lainnya, yaitu orang yang mempunyai keahlian sempurna dalam meneliti syari'ah, tidak cukup hanya sekedar mengetahui hadits saja.

Diantara pengikut Syafi'iyah ada yang mengamalkan lahiriyah ucapan Imm Syafi'i.
Mereka mengamalkan hadits yang sengaja ditinggalkan oleh Imam Syafi'i, padahal beliau telah megetahui keshahihannya.
Hal ini beliau lakukan karena telah tampak pada beliau adanya hadits lain yang menentang pengamalan hadits dimaksud dan rupanya itu tidak tampak pada imam yang lain.
Salah satu pengikut Syafi'iyah yang melakukan hal tersebut adalah Abul Walid Musa Ibnu Abil Jarud, salah seorang sahabat Imam Syafi'i.

Dia berkata, "Telah shahih hadits yang artinya:
'Batal puasa orang yang membekam dan juga yang dibekam (HR. Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah).'

Maka menurutku, Imam Syafi'i pun berpendapat bahwa puasa orang yang membekam dan yang dibekam adalah batal.
" Apa yang diucapkan oleh Abil Jarud ini dibantah oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang lain karena Imam Syafi'i telah meninggalkan hadits tersebut walaupun beliau tahu tentang keshahihannya, hai ini karena dalam pandangan beliau hadits tersebut mansukh (telah terhapus hukum yang dikandungnya) dan beliaupun telah pula menjelaskan dalil shahih yang menasakhnya yaitu hadits riwayat Imam Bukhari, "Berkata Ibnu Abbas RadhiAllahu Anhu; Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam berbekam, padahal beliau sedang ihram dan berpuasa." Jika dua hadits shahih bertentangan dan keduanya tidak bisa dikonfromikan, maka jalan yang ditempuh adalah mengunggulkan salah satu hadits, dalam kasus ini hadits shahih riwayat Imam Bukhari tentu harus didahulukan karena semua ulama hadits telah sepakat bahwa hadits riwayat Imam Bukhari adalah yang paling tinggi keshahihannya.
Setelah mengetahui alasan-alasan dari para ulama Syafi'iyah yang membantahnya, Ibnu Abil Jarud dengan besar hati menarik kembali pernyataannya.
Bahkan ulama lain yang sebelumnya mendukung Ibnu Abil Jarud yakni Abul Walid an-Naisaburi Hasan bin Muhammad (w.349H) - -
seorang ulama yang disamping sebagai rawi, juga ahli riwayat dan dirayah- akhirnya bersumpah, "Demi Allah, Imam Syafi'i telah meninggalkan pengamalan suatu hadits dengan sengaja karena pada pandangan beliau hadits tersebut telah mansukh."
Jika Demikian sikap para ulama besar, maka bagaimanakah halnya dengan kita sekarang?
Apakah boleh bagi kita menisbatkan suatu hukum kepada Imam Syafi'i berdasarkan pernyataan beliau tersebut, sedangkan kita belum memahami dengan sepenuhnya apa maksud dari pernyataan Imam Syafi'i?

 Allahu A'lam

(Argumentasi Ulama Syafi'iyah, halaman 117-125)

Kewajiban taqlid bukan berdasar maqalah, akan tetapi kewajiban bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasarkan pada:

1. Dalil Naqli Al Qur’an

QS: An-Nahl:43 “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” Dan sudah menjadi ijma’ (konsensus) ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awa (orang yang belum mempunyai kapasitasistinbat) untuk mengikuti orang alim yangmujtahid.

2. Ijma’ Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasullalah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun.
Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tetapi mereka ada yang punya kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua sahabat, serta diantaranya juga ada mustafti atau muqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangatbanyak.
Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.


3. Dalil Aqli Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkelai.
Klimaksnya dunia ini akan rusak.
Maka tidak salah kalau al-Buthi memberi judul terhadap
salah satu kitabnya dengan “ Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling bahaya yang dapat menghancurkan agama “.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.

[3] Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:

    1. Wajib bagi orang yang tidak mampu istinbath dari Al Qur’an dan hadits.

    2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriyyah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid.

Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, As-Suyuti, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Dawud ad-Dhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang- lorang yang mampu berijtihad dari Al Quran dan al-Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.

[4] Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksud adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan oleh al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Bâlighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang mengutip pendapat Ibnu Hazm tentangkeharaman taqlid.

[5] Lebih jelasnya lihat lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti madzhab dengan argumen-argumen yang kuat.

Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Said Ramadlan al-Buthi.
Jika ada orang saat ini yang mengaku mampu berijtihad sendiri, maka katakanlah, “Ijtihad kalian tidak lebih benar dari ijtihad para imam-imam mujtahid”.
Jika mereka mengaku bertaqlid, maka katakan kepada mereka,
“Taqlidmu sia-sia dan gugur tak berarti, karena Ibnu Taymiyyah mengakui taqlid”.
Karena kebanyakan merekabmengikuti Ibnu Taymiyyah.

=[1] Lihat pembelaan terhadap Imam-Imam Madzhab oleh as-Sya’rani dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir
=[2] Lihat Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah.
=[3] Lihat Allamadhabiyah H.70-73, Takhrîj Ahâdits al-Luma’ H.348
=[4] Al-Mizan al-Kubra 1/62
=[5] Allamadzhabiyyah hal 133 dan Iqdul Jiid fi ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hal 22.

Semoga bermanfaat.

::::;;;;;;;:;;;;::::


Taqlid dan Ijtihad

Pertanya'an:

Kaidah :
ASAL HUKUM IBADAH ADALAH TERLARANG SAMPAI ADA DALIL YG MENSYARI'ATKAN... ASAL HUKUM MUAMALAH MUBAH SAMPAI ADA DALIL YANG MELARANGNYA.

Jawaban:



kaidah ini adalah kaidah Ushul Fiqh Syafi'iyah yang di munculkan pertama kali oleh Imam Syafi'i dalam kaidah Ushul Fiqh-nya. silahkan cek kitab Ar-Risalah karya imam Syafi'i.
Sedangkan dalam Madzhab Hanafi digunakan kaidah : Segala sesuatu pada asalnya adalah terlarang kecuali jika ada dalil yang menghalalkannya. inilah hasil ijtihad dari para Imam Madzhab.
adalah sangat aneh jika kelompok anti Madzhab (Salafi-Wahabi) dengan slogan hanya menggunakan al-Qur'an dan al-Hadits saja sebagai pedoman pengambilan hukum, kemudian mereka menggunakan kaidah-kaidah ini untuk memperkuat hujjah mereka dalam menyerang kelompok kami (ASWAJA) pengikut Imam Madzhab Syafi'iyah.
oleh karena itu disini akan kami jelaskan 2 point penting tentang penggunaan kaidah-kaidah diatas secara tepat.

Sekte Salafi-Wahabi mengatakan bahwa : kaidah "segala sesuatu pada asalnya boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya" mereka gunakan untuk Mu'amalah.
sedangkan untuk ibadah menggunakan kaidah : "segala ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya" sehingga dengan hujjah tersebut mereka mengatakan bahwa ritual seperti Tahlilan, Yasinan, Istighotsah, Ziarah Kubur, Peringatan Maulid, Isro' Mi'roj dan peraya'an-peraya'an islam yang lain, yang dilaksanakan oleh sebagian besar Umat islam dikategorikan ibadah yang tidak ada dalil yang memerintahkannya.
 jadi berdasarkan kaidah diatas semua ritual-ritual tersebut adalah haram dsb.
sungguh ini adalah merupakan sebuah kebohongan yang sengaja mereka bangun, karena kaidah tersebut telah diplintir makna dan maksudnya.
Silahkan dilihat di kitab-kitab Ushul Fiqh Syafi'iyah (seperti al-Waroqot, Luma', Qowaidul Fiqhiyah, Fawaidul Janiyah dsb).
yang benar dari kaidah :"Segala sesuatu pada asalnya adalah boleh kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya"
itu digunakan untuk makanan dan barang-barang yang dikonsumsi, untuk mengambil kesimpulan hukum, apakah halal atau haram.
jadi dengan mengatakan bahwa kaidah ini berlaku untuk Mu'amalah, maka mereka telah menyalahi maksud dari pembuat kaidah ini, atau dapat pula dikatakan mereka telah sengaja membelokkan maksud sehingga jauh dari kaidah yang sebenarnya. dan untuk Mu'amalah maka Imam Syafi'i dan Ulama-Ulama Syafi'iyah telah membuat kaidah tersendiri khusus untuk bab Mu'amalah, seperti : al-'Adah muhkamah (adat/kebiasaan dapat dijadikan hukum).
Mu'amalah dapat dijadikan landasan hukum selama tidak bertentangan dengan al-Qur'an maupun al-Hadits. kemudian kaidah :


kaidah ini oleh Imam madzhab dimaksudkan untuk ibadah Mahdloh sekaligus Muayyan (ditentukan sifat, waktu, tempat) sedangkan ibadah ghoiro mahdloh saja atau ibadah ghoiro muayyan saja, maka tidak termasuk dalam kaidah ini.


Tidak ada komentar: