Tampilkan postingan dengan label Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2016

Maqam Rasulullah

                         

                                                                بسم الله الر حمن الر حيم.  



        Rahasia Ruangan Makam Nabi Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam,
Tidak seperti penutup Ka'bah yang setiap tahun harus di ganti, penutup ruangan Makam Nabi sangatlah jarang diganti, itu karena penutup makam itu terletak didalam ruangan tertutup dan tak pernah tersentuh oleh siapapun, terakhir kali diganti pada tahun 1971m, (biasanya di ganti setelah 100thn sekali) dan seorang wartawan Al Arabiya Omar Al - Midwahy, beberapa waktu lalu mewawancarai salah satu dari pekerja yang bertugas untuk mengganti penutup Makam Rasulullah, yaitu Syaikh Ahmad Sahirty, beliau adalah kepala divisi bordir di pabrik kain penutup Ka'bah dan Makam Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam di Makkah. Saat melakukan tanya jawab ini umur Syaikh Ahmad sudah sangat sepuh (hampir 100thn),
Ketika saya memintanya untuk menjelaskan kepadaku tentang Ruang makam Nabi, dia tampak bergetar hebat, Dan dia berkata dengan suara samar:
"Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku pada saat aku memasuki ruang makam Nabi ... aku tidak mampu .. Karena itu sudah diluar batas kemampuan aku berbicara, dan aku tidak pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan ditanyakan tentang pengalaman ini. Dan aku menjamin bahwa aku tidak akan dapat melakukan atau melalui pengalaman itu lagi".
"Kami adalah orang pertama yang masuk, bersama Sayyidil Habib As'ad Sheera, salah satu tokoh al-Madina al-Munawwarah, yang merupakan direktur wakaf keagamaan Madina pada saat itu, dan Habib Moghrabi dari manajemen pabrik, dan Abd al-Karim Flomban, Nasir Qari, Abd al-Rahim Bukhari dan lain-lain. Kami berjumlah 13 orang, aku tidak ingat sebagian besar dari mereka, karena saat ini mereka telah meninggal dunia kembali kepada rahmat Allah.
"Kami didampingi kepala Suku Aghas (pemegang dan penjaga makam nabi turun temurun).
"Lihatlah lensa kacamata ini -dan ia menunjuk ketebalan kacamatanya - dan lihatlah berapa banyak rambut putih, itu semua menunjukkan berapa berat tahun kehidupan yang ku bawa. Usia ku, meski tidak menghitung, tapi aku pernah mendengar mereka mengatakan bahwa aku lahir pada tahun 1333 H (1917 M).
       Dan seumur hidupku, aku tidak memiliki kegemaran selain kecintaaan pada aroma indah / parfum. Aku telah menghabiskan jangka waktu yang panjang di tahun-tahun yang tertinggal, berusaha untuk memuaskan nafsu mencium segala keharuman yang ada. Aku belajar banyak, dan aku dapat memberitahu Anda dengan keyakinan: bahwa aku memiliki keahlian khusus bagaimana mencampur minyak wangi dan menghasilkan wewangian terbaik..dan bahwa hampir tidak ada orang lain yang bisa membuat wewangian seperti racikanku.

      "Dan aku katakan ini karena aku menemukan ketidakmampuan untuk menjelaskan, apa yang terjadi pada malam yang diberkati itu, ketika pintu dibuka untuk kami, dan kami memasuki ruang pemakaman baginda Nabi, aku menghirup keharuman dan aroma yang tidak pernah ku ketahui atau mencium sebelumnya maupun sesudahnya, dan tidak pernah dikenal seumur hidupku. Aku tidak pernah tahu rahasia komposisinya: itu adalah keharuman di atas keharuman, aroma diatas aroma - sesuatu yang lain dari pada yang lain, bahkan akan membuat takjub seorang ahli sekalipun, atau pedagang parfum manapun juga tidak akan pernah mencium seperti itu sebelum atau sesudahnya
Ketika malam itu pintu makam dibuka, perasaan takjub begitu lengkap mengambil alih semua perhatianku, Ini adalah tempat teragung dimuka bumi, aku tidak tahu persis berapa luasnya, tetapi menurut taksiran kami, Ruang makam itu sekitar 48 meter persegi. Dengan ketinggian kurang lebih 11 meter, Di bawah kubah hijau ada kubah kecil lainnya dan tertulis di situ, :

-Makam Nabi صلى الله عليه وآله وسلم,
-Makam Abu Bakar al-Siddiq,
-Makam Umar ibn al-Khattab.




      "Dan aku juga melihat bahwa ada makam lain yang kosong, dan di samping empat makam adalah ruang dari Sayyidah Fatimah al-Zahra Alaihasalaam, yang merupakan rumah di mana dia dan keluarganya tinggal.
"Kekaguman terhadap tempat itu sangatlah istimewa, Aku begitu terpesona melihat lampu lampu antik yang menggantung dari langit-langit ruang, peninggalan dari zaman kuno, kami diberitahu bahwa ada beberapa peninggalan Nabi yang disimpan di tempat lain - aku tidak tahu di mana - tapi aku tahu bahwa beberapa benda bersejarah ada yang disimpan di ruang Sayyidah Fatimah al-Zahra -yaitu di tempat yang sama ini. "Ruang ini, sebagian besar tertutup kain tenunan yang terbuat dari sutra murni, berwarna hijau lembut dengan kain katun yang kuat, dan dimahkotai oleh sabuk yang mirip dengan penutup Ka'bah, tetapi disini berwarna merah. Seperempat bagian dari kain dibordir dengan tulisan ayat Al Qur'an yang mulia dari surat al-Fath, terbuat dari garis kapas dan benang emas dan perak"..

     "Dari saking kagumnya kami sampai tidak tahu bagaimana untuk menghapus / membersihkan potongan potongan khusus yang dibuat untuk menempelkan kain pada kubah - jari-jari kami goyang bergetar dan napas kami menderu berlomba. Kami tinggal selama 14 malam penuh bekerja dari setelah sholat Isha sampai azan pertama waktu Fajr untuk menyelesaikan tugas ini. Kami menggunakan bahasa sinyal dan kalau terpaksa berbicara akan kami lakukan dengan berbisik bisik, Kami terus menghapus potongan-potongan lama, melepas simpul dari penutup lama, dan membersihkan semua debu dan bulu merpati yang terjebak di tempat yang suci ini. Itu terjadi pada tahun 1971m, dan penutup lama yang kami ganti telah berusia 75 tahun sesuai dengan tanggal yang tertulis di atasnya.

        Aku, pada waktu itu mataku sudah lemah dan kacamata ini tidak pernah meninggalkan mata ku sejak bertahun tahun sebelumnya, tapi di ruang itu aku berubah menjadi orang lain, sungguh Aku merasakan hal itu, dan perbedaan itu sangat jelas bagi ku, Syekh Sahirty bersumpah, ketika mengatakan: "di situ Aku sanggup untuk menempatkan benang ke lubang jarum tanpa kacamata ku, meskipun cahaya sangat redup ditempat di mana kami bekerja. Bagaimana Anda bisa secara ilmiah menjelaskan hal ini ? Dan bagaimana Anda bisa menjelaskan fakta bahwa aku tidak merasa alergi (aku adalah penderita alergi akut), aku akan batuk parah jika sedikit terkena debu. Tapi pada waktu itu, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh debu ruangan, atau pasir yang terbang ke udara. Seakan pasir tidak lagi pasir, dan seolah-olah debu menjadi obat untuk penyakit ku, aku merasa bersemangat dan muda seperti ketika usiaku belasan tahun (padahal waktu itu usiaku sudah lebih dari setengah abad)..

      "Satu lagi hal yang aneh terjadi padaku yang rahasia nya, belum aku mengerti hingga saat ini. Kami harus mengambil kain bordir / penutup lama, sepanjang 36 meter, masih tersisa. Aku mengatakan kepada mereka untuk melipat dan membungkusnya dan meninggalkannya disitu. Aku pergi ke sana, dan meskipun tubuh ini sudah tua dan lemah, tapi aku sanggup memanggulnya di atas bahu ini. Aku pergi keluar dari Ruang mulia itu tanpa sedikitpun merasa berat. Tapi setelah itu, mereka datang dengan lima orang muda untuk membawanya dari tempat aku meletakkannya dan mereka tidak bisa [membawanya]. "

 Syaikh Ahmad mulai menangis pelan pelan dan sambil mendesah: "Mereka bertanya siapa yang membawa karung bungkusan itu keluar? Yang bagi mereka sangat berat dan 5 orang muda dan kuat tak sanggup mengangkatnya, saat kujawab aku yang mengangkatnya, mereka tertawa dengan penuh rasa tidak percaya hingga datang syaikh Abd al-Rahim Bukhari, penulis kaligrafi yang terkenal itu dan bersaksi bahwa benar dia telah melihat aku syaikh Ahmad Sahirty yang mengangkatnya sendirian!!"..

                                              اللّهمّ صلِّ على سيّدنا محمّدٍ وآله  وصحْبه وسلِّم


Allahhuma sholii alaa sayyidina muhammad wa alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Sumber:
https://mobile.facebook.com/story.phpstory_fbid=512725982248940&id=180728725448669&ref=m_notif&notif_t=page_name_change

Sabtu, 30 Mei 2015

SEJARAH SYEKH SITI JENAR (Versi Yang Sebenarnya)


Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun.
Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya
sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.
Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah:
”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”,
artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”.
Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata,
“Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “
Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

 Bantahan saya: 

“Ini suatu penghina'an kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang b ersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah.
Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.


Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani.

Selasa, 26 Mei 2015

Sunan bonang



  Dari berbagai sumber di sebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering di sebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kerta bumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.

   Sebagai seorang Wali yang di segani dan di anggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

   Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah di beri pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

   Di sebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum  Wirid im dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama ahli tasawwuf yang berasal dari Bahgdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedang Raden Makdum Ibrahim di perintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang di sebut Bonang.

 

   Bonang adalah sejenis kuningan yang di tonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbulah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

 

   Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang cipta'an Raden Makdum Ibrahim.

 

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil di rebut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

 

   Tembang-tembang yang di ajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisi ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksa'an.

 

 Di antara tembang yang terkenal ialah:

 

Tamba ati iku ono 5 sak warnane,

Maca Qur'an angen-angen sak maknane,

Kaping pindho shalat sunah lakononana

Kaping telu wong kang saleh kancanana,

Kaping papat kudu weteng ingkang luwe,

Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

Sopo wonge kang bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyembadani.

Artinya:

Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.

>Pertama  membaca Al-Qur'an dengan artinya,

>Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),

>Ke tiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),

>Ke empat harus sering berprihatin (berpuasa),

>Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,

 Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah, Allah akan mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering di lantunkan para santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di pedesaan maupun di pesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat  memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang di sebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu di anggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh ke indahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang di simpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda .(Nederland)

   Suluk berasal dari bahasa Arab Salakat tariiqa artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tareqat. Ilmunya sering di sebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang di sebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa di sebut Wirid.

Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang di sebut Suluk Wragul
 

SULUK WRAGUL

   Dhandhang gula

Wragul 1

Berang-berang, jika di teliti ini raga

Belum ketemu hakikatnya

Ada atau tidakkah ia

Sebenarnya aku ini siapa

Impian beraneka ragam

Kalau di pikirkan

Akhirnya menyedihkan

Yang mustahil banyak sekali

Segala wujud di semesta ini

Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2

Maka dengarlah perlambang ini

Ada kera hitam sedang berdiri

Di tepi sungai

Tertawa keras tak kepalang

Kepada berang-berang yang mencari makan

Siang dan malam

Terus tanpa kesudahan

Tak ingat bahwa ia di ciptakan Tuhan

Yang di ingat hanya makanan

Tanpa memperdulikan

Bahaya mengancam


Wragul 3

Di lalapnya apa saja ia dapatkan

Tidaklah ia memperhatikan

Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan

Mustahil ia tak sanggup memberi makan

Dari kehidupan hingga kematian Apapun saja yang di kodratkan

Telah di sesuaikan

Ulat dalam batu pun di beri santunan

Maka jangan hanya suntuk mencari makan

Wragul  4

Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah

Berang-berang berkata dengan ramah

Duh kera hitam, sungguh engkau kejam

Kau paksa aku mengikutimu

Yang kata orang tanpa di pikirkan

Ya, aku  terpaksa

Mencari makan, tapi tidaklah

Dengan susah payah

Sekedar semampu diriku ini

Aku tak mencari-cari

Wragul 5

Hak orang lain tak kurebut

Tak kuperhatikan bencana dan kutuk

Tak kulihat yang hidup

Demikian pulalah halnya burung elang

Mengikuti tenggiling untuk cari makan

Susah untuk memberi peringatan

Jika engkau merasa

Sebagai makhluk Tuhan adanya

Janganlah hati mendua

Tak usah campuri urusan orang lain

Karena semua punya kadar masing-masing

Wragul 6

Sudah di beri hak hidup sendiri-sendiri

Seperti juga berbagai tetumbuhan ini

Atau yang memakan dedaunan

Mengikuti takdir Tuhan

Siapa akan mengikuti kata-katamu

Siapa menuruti ajakanmu

Sedangkan di hutan tempatmu

Sang kera hitam menjawab

Tidaklah akan ku ubah

Makananmu, hanya ingatlah

Kepada yang memberi makan kepadamu


Wragul 7

Perbuatlah amal kebajikan

Terpaksa harus ku beritahukan

Hal-hal yang berfaedah saja

Sekedar menunjukkan yang benar adanya

Jawab Berang-berang

Tahulah aku

Maksud omonganmu

Kau inginkan

Agar kuberi kau makan

Tapi aku tak akan tunduk kepadamu

Wragul 8

Ibarat sudah tahu ke bohongannya

Mulut jujur hati berdusta

Karena memaksa harus berbuat begini

Menghormat kepada yang belum mengerti

Agar di percaya di dunia ini

Berapa kekuatannya

Tak tahu bahwa

Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi

Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti

Kalau berhasil melebihi

Wragul 9

Kelihatannya luhur dan mulia

Serba benar pembicara'annya

Tuntas luar dalamnya

Bagus penampilannya

Kena kotoran sedikitpun tak bersedia

Seperti burung elang akibatnya

Terbang tinggi

Lupa melihat kanan kiri

Begitu musuh disiasati

Selamat sampai akhir hari

Wragul 10

Apabila ibarat ikan

Ikan gegenjong yang lemah badannya

Namun tajam tajinya

Hai kera hitam

Mana kata-katamu yang benar

Yang di haramkan di tolaknya

Itu kalau sedikit jumlahnya
Dan walaupun haram

Tapi kalau ada sedikit manisnya di tutupi

Dengan amat tersembunyi

Wragul 11

Jelas itu di campur aduk

Ada yang di ucapkan dengan pura-pura

Yang terlihat tindakannya

Pujangga maupun pendeta

Sama-sama kurang budinya

Aku tahu semuanya

Sama-sama meminta-minta

Hanya satu dua yang mengamalkan

Meminta tanpa di bantah

Walau pun tidak sungguhan

Wragul 12

Kikir kalau di mintai

Lagaknya seperti pendeta sakti

Usaha seakan tak henti

Dalam hidup ini hendaklah mengerti

Upaya orang lain

Dalam hidup ini seyogianya

Tak demikian tindakannya

Di mana  ada niat yang tak semestinya

Kata ahli kitab tak mau makan riba

Sebab ia pendeta

Wragul 13

Orang besar orang kecil berebut bersaing

Berupaya menggunakan akal masing-masing

Yang namanya raga manusia Siap semuanya

Untuk beramal senantiasa

Sedangkan apa kelebihan pendeta

Sibuk mengolah ilmu pengetahuan

Rahasianya mencari pekerja'an.

Berkah yang melimpah di harapkan

Jaksa pun demikian

Wragul 14

Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis

Mencari nafkah dengan menipu mengemis

Supaya ada kaulnya

Demikian para dukun adanya Menjual mantra

Juga para guru yang terhormat

Mengajarkan ilmu luhur

Sama saja yang di harapkan

Yaitu pengabdian murid

Seperti burung kuntul

Wragul 15

Bertapa ada tujuannya

Agar memperoleh ikan di rawa

Agar semua itu kena olehnya

Ada pun yang bertapa di gunung

Tujuannya pun

Untuk memperoleh Negara

Oleh masyarakat di percaya

Begitu yang namanya pendeta

Terus menerus bertukar pikiran

Berbuat kepercaya'an dalam pemerintahan

Wragul 16

Pendapat yang benar di tentang

Mencari saksi makin kesulitan

Di uji dengan kepercaya'annya

Tak tahu bahwa terlalu asyik ia

Membicarakan keburukan orang

Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan

Padahal kejelekannya sebesar gunung

Lagi pula ia tertarik pada rupa

Serta ke aneka ragaman suara yang masuk telinganya

Dari awal hingga akhir di terimanya

Wragul 17

Karena banyak orang membingungkan

Tersandunglah ia di tempat yang rata

Sembuh, tapi mati akhirnya

Yang samar di kira nyata

Yang bukan-bukan di kira mengalir

Yang duduk di kira air

Yang tidak terlihat

Senantiasa melihat cela orang lain

Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi

Sang kera bicara gusar

Wragul 18

Ya, kamu jadinya

Mencela tingkah laku pendeta

Kalau begitu

Kamu pantas di buru

Hidupmu bagiku gambling

Merintangi pekerja'an

Kemudian sang berang-berang

Berucap : Apa maumu !

Seraya merunduk sambil menerjang

Tapi telah meloncat si kera hitam

Wragul 19

Pada dahan kayu sambil bersiaga

Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya

Semua pun angkat bicara

Dengan bahasa lambang mereka

Marah mereka

Siapa saja yang mencela pendeta

Boleh kita mengejarnya

Sampai mati ia

Semua kera mengepung di pinggir sungai itu

Tapi berang-berang sudah tahu

Wragul 20

Ketika sudah berkumpul semua kera hitam

Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan

Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan

Kemudian si barang-berang

Sambil makan ikan, memberi peringatan :

Kera hitam, pulanglah kau

Bersama teman-temanmu

Sebab siapa tahu si empunya datang

Yang di sungai ini ia punya larangan

Siapa tahu firasat ia dapatkan.

Wragul 21

Sang gupkah kau lindungi teman-temanmu ?

Maka semua kera  hitam pun bubar berlalu

Agaknya mereka malu

Dan sang berang-berang keluar dari air

Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir

Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir

Sang berang-berang berkata dalam hati

Berangan-angan ia

Kera hitam merasa suci dirinya

Mencela orang yang sedang mencari mangsa

Wragul 22

Memang perbuatan yang cemar

Adalah perbuatan melanggar

Hanya saja tak terlihat

Sungguh, cari saja yang mempunyai

Kebahagia'an, berlakulah laku sejati

Meskipun seorang pendeta

Seulung apa pun ia

Jika menulis, lupa beribadah

Dirinya sendiri tak tampak olehnya

Karena orang lain saja yang di lihatnya

Wragul 23


Jadi, tingkah laku orang per orang-lah

Yang merupakan makanan kesuka'annya

Kelihatan bijak perbuatannya

Namanya pujangga

Yang terkandung di hati yang di tatapnya

Tapi setelah keluar darinya

Terlihat ia ingin menjiplaknya

Demikian ibarat se'ekor burung

Bertengger di pohon beringin yang terbalik

Wragul 24

Sementara sang berang-berang

Berso'al jawab dengan kera hitam

Turunlah burung tuhu

Menanyakan kesejatian

Mungkin selama perbincangan itu

Yang demikian yang di inginkan

Kepada kalimat tauhid amat  senang

Sehingga di pertuhankan

Tak ingat yang sungguh-sungguh  Tuhan

Wragul 25

Lahir dan batin, dulu dan kemudian

Baik buruk, suka dan duka

Sudah nasib manusia, tiada bedanya

Takdir Allah yang Maha Agung

Siang malam sembah puji senantiasa

Jika rahmat tak datang juga

Jika belum mencapainya

Masih ragu adanya

Berterus teranglah dalam memperolehnya

Demikian burung tuhu berkata

Wragul 26

Sudah sebulan aku berdampingan

Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan

Sebab semua

Yang ia makan adalah kotoran

Jadi selalukuhindari

Tak akan aku ikuti Yang najis

Sungguh selama hidupku

Yang halal saja makananku

Yang diajak bicara menjawab begitu

Wragul 27

Tahu semua pengetahuan

Namun tak mengerti sastra agama

Dari mana asalnya

Yang meskipun se'olah telah merasuk  di hati

Tak mungkin di tolak di dunia ini

Burung tuhu berujar :

Walau manis tutur katanya

Sebenarnya takhyul yang di beberkan

Sang berang berkata: Pernah kudengar

Bahwa dalang tak pernah di tanya

Wragul 28

Pemburu tak henti berkelana

Ibarat burung bangau bertapa di rawa

Tiada lain niatnya

Kecuali mencari ikan di air

Di makannya siang malam

Seperti bangau botak

Seperti kambing prucul

Maka orang yang menjalani laku

Jangan cepat melangkah dulu

Bertanyalah kepada yang tahu

Wragul 29

Haruslah lahir batin kalau memuji

Yang di ucapkan musti dimengerti

Yang di lihat hendaknya di pahami

Juga segala yang di dengar

Betapa sukar orang memuji

Maka sebaiknya carilah guru

Yakni orang yang lebih tahu

Yakni ahli ibadah

Dan memujilah hingga merasuki hati

Begitulah orang melakukan sembah puji

Wragul 30

Kalau tak tahu apa yang di sembah

Hilanglah apa yang di sembah

Karena sesungguhnya tak ada tirai itu

Tataplah gunung

Dan bunga dalam kesepian

Ikan tanpa mata

Wahyu sejati

Pandanglah Arjuna

Kalau bertapa tak tergoda Oleh apa saja

Wragul 31

Ada tiga macam pepuji

Pertama melihat yang di sembah

Kedua melihat rupanya

Ketiga tak melihat

Kepada sesuatu, namun

Menghadap yang di sembah

Ibarat mencari

Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan

Tak beda segala yang di miliki

Berpadu satu ragawi ruhani

Wragul 32

Kalau tak begitu kafir jadinya

Yang namanya gajah, gerangan mana ia

Sejauh-jauh usiaku

Belum mengerti hal itu

Ibarat menyatukan perjalanan gajah

Dengan petualangan burung garuda

Ibarat menyatukan punggung dengan dada

Atau wayang dengan kelirnya

Tapi sesungguhnya cermin satu adanya

Wragul 33

Itu jelas sama

Yang di cari sedang tak ada

Tapi burung tuhu sedang memahaminya

Ibarat malam yang di bakar

Tak ada yang di pikirkan

Ajaran dari berang-berang

Biasanya sudah di ajarkan

Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu

Ingat bahwa engkau di kuasai Tuhanmu

Wragul 34

Seperti halnya tinta

Masih menyatu dengan tempatnya

Jangan menghindar meski mati bayarannya

Kalau hidup, hiduplah seperlunya

Selalu perhatikan guru

Jangan seperti orang bermimpi

Atau seperti burung yang di suruh berbicara

Mengikuti kata-kata

Di jadikan panutan pikirannya

Berang-berang bersiap-siap menyingkir

Burung tuhu terbang ke dahan

Wragul 35

Ketika kemudian matahari terbenam

Terdengar suara pertunjukan wayang

Tampaknya di istana

Tergetar tabirnya

Di depan kelir berada semua wayangnya

Burung tuhu tampak

Ki dalang terlihat

Yang terlihat gawang-gawangnya

Wayangnya tiada, hanya dalangnya

Padahal tabir penglihatan tidaklah ada

Wragul 36

Dalang dapat bertukar rupa

Banyak orang jatuh cinta

Menyaksikan tingkah wayangnya

Terlihat segala tingkah lakunya

Semua saling jatuh cinta

Betapa mendalam keinginan

Menatap sang dalang

Namun di cari tak ketemu

Meskipun dengan susah dan rindu

Wragul 37

Lebih-lebih jika ku renungkan ini

Dengan teliti

Betul-betul ingin bekerja

Terlalu penuh perhitungan akhirnya

Atas kekaya'an orang-orang kaya

Maka kalau tak paham

Jangan ikut-ikutan

Sampai kapan demikian

Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali

Raga yang tersembunyi

 
Di kisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tembang dan gending. Dharma dan irama Mocopat.
Begitu gending di tabuh Kebon danu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti di lolosi dari tempatnya.
Sehingga  gagalah mereka melaksanakan niat jahatnya.
Ampun........
hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat ! Demikian rintih Kebon danu dan anak buahnya.
Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.
Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi..........
 Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu ! ujar Sunan Bonang.
Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya, kata Kebondanu dengan ragu. Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.
Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja, kata Sunan Bonang.  Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.
Walau dosa kami setinggi gunung? Tanya Kebondanu.
Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia.
Demikian pula anak buahnya.
Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar keTuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah ke agama'an dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak di pergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. katasang Brahmana.
Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang? tanya lelaki itu.
Akan saya ajak berdebat tentang masalah ke agama'an, kata sang Brahmana. Tapi sayang kitab -kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa ke luar semua kitab yang di bawa sang Brahmana.
Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut? Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu  Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini? tanya sang Brahmana.
Tuan berada di pantai Tuban!  jawab lelaki itu. Sertamerta Brahmana dan para
pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah ke agama'an, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

   Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.

Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk di makamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayah andanya. Tetapi kapal yang di gunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang di makamkan di Tubanya itu di sebelah barat Masjid Jami Tuban. 

Selasa, 17 Januari 2012

Sanad Maulid Barzanji(Serta Ijazah)

 oleh: al-Faqir Ila
ALLAH Ta'ala



Maulid Barzanji merupakan kitab yang memuji dan menceritakan kehidupan Rasulullah s.a.w, selalu dibaca dan dilantunkan orang ketika datangnya bulan Rabi`ul awwal di berbagai daerah dan negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura dan Thailand. Maulid Barzanji sangat terkenal dan populer di Asia Tenggara, bahkan di sebahagian tempat Maulid Barzanji dibaca ketika acara perkawinan, acara khitanan, dan acara-acara lainnya.
Kitab Maulid Barzanji diserang dan diperangi oleh sebahagian orang yang menganggap acara Maulid Nabi Muhammad s.a.w. adalah salah satu perbuatan bid`ah, tetapi permasalahan ini adalah masalah khilafiyah yang kebanyakkan umat Islam berpegang teguh dengan bolehnya mengadakan maulid Rasul selama cara tersebut tidak berunsur hal-hal yang haram dan dilarang oleh Allah dan Nabi-Nya.
Maulid Barzanji adalah karangan dari seorang ulama besar terkemuka di masa beliau, telah berhasil memberikan jasa dan peninggalan yang berharga bagi umat Islam.


Nama Lengkap Pengarang Barzanji :
Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim bin Sayyid Muhammad bin Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani as-Syafi`i.

Beliau dilahirkan di kota Madinah, asal usul beliau dari golongan ulama-ulama besar yang memiliki keilmuan yang tinggi, dan dari keturunan Rasulullah s.a.w. Beliau memiliki sifat yang soleh dan penyantun, suka menolong orang lain, rajin beribadah dan beramal soleh. Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi pengarang
kitab Silku ad-Durar memuji beliau dengan ungkapan :

     Beliau seorang Syeikh yang mulia lagi alim, satu-satunya orang yang hebat di dalam segala bidang ilmu, Mufti mazhab Syafi`iyyah di kota suci Madinah. Selanjutnya Syeikh Muham mad Khalil al-Muradi memuji lagi :

Beliau hebat di dalam berpidato dan membuat karangan, sehingga beliau menjadi seorang imam dan khatib Masjid Nabawi, dan beliau juga seorang tenaga pengajar di Masjid Nabawi. Menulis berbagai macam kitab yang bermanfa`at dan karangan yang indah. Beliau meninggal dunia pada tahun 1177 hijriyyah sebagaimana yang telah disebutkan didalam kitab Silku ad-Durar. Sanad Kami Kepada Imam Ja`far al-Barzanji Berkata seorang hamba yang faqir lagi hina Muhammad Husni Ginting bin Muhammad Hayat Ginting al-Langkati :
     Saya meriwayatkan kitab Maulid Barzanji dari Syeikh Saya al-Alim as-Syeikh Ahmad Damanhuri bin Arman al-Banteni wafat tahun 1426 hijriyah, beliau meriwayatkan dari gurunya al-Allamah al-Muhaddis as-Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi at-Tunisi al-Madani wafat tahun 1368 hijriyyah, beliau meriwayatkan dari al-Allamah Syeikh Sayyid Ahmad bin Ismail al-Barzanji Mufti mazhab Syafi`i di Madinah, beliau meriwayatkan dari ayahandanya Sayyid Ismail bin Sayyid Zainal Abidin al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari
ayahnya al-Allamah Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari ayahandanya al-Allamah Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau
meriwayatkan dari pamannya al-Allamah al- Faqih Syeikh Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim al-Barzanji, pengarang kitab " Maulid al-Barzanji ".
Saya al-Faqir al-Langkati mengijazahkan sanad khusus ini bagi siapa saja yang ingin menerimanya, semoga berkat dan kita termasuk orang yang menyampaikan ilmu dan amanat kepada umat Islam.
1- Zaqaziq , Syarqia, Mesir, 12 Rabi`ul Awwal 1432 hijriyyah. Rujukan : 1 - Silku ad-Durar Fi A`yani al Qarni as-Tsani Asyar : 13 / 2 ,karangan Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi al-Hanafi, terbitan Dar Sodir Bairut, cetakkan pertama tahun 1422/2001.
2 - Maulid al-Barzanji



(download)

p/s: Rakaman audio nadir bacaan Maulid al-Barzanji lengkap oleh al-Imam al-'Allamah al-Kabir al-Mufassir al-Muhaddith Syeikh 'Abdullah Sirajuddin al-Halabi al-Husaini r.a. pada tahun 1406H


(silahkan klik)



sumber:
http://sawanih.blogspot.com/2011/02/sanad-maulid-barzanji.html

SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB







SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB



A. Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”

Sebelum ditinjau dari sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu arti dari kata “Mazhab” dan “Imam” itu.
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab fiqh pula, sebagaimana yang diterangkan Huzaemah Tahido, berarti:

Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Dia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal. Pengartian mazhab itu kemudian beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sebuah wilayah atau negara. Dia menjadi sumber rujukan dan pegangan yang dimulyakan sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan “Imam” dari sudut bahasa berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud sejalan dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin shalat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komunitas orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber belajar dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, otoritas mereka hanyalah tertuju kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4. Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam segitu hanya khusus untuk Mazhab Syi‘ah. Imam-imam itu bukan saja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki otoritas dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa tertuju kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.


B. Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam

Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiah, yaitu sejak zaman ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya ada 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rasyidin yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah di mana pada saat itulah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3. Pada era keruntuhan Islam, yaitu mulai zaman ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan kembali, Islam dan ilmu-ilmunya sama-sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.

Era Pertama

Era itu bermulai sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di Era itu sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bartindak sebagai guru. Itu sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana ) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (yaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadits. Hadits beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak mengatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadits) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk petunjuk wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bartindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan setiap perbuatan umat pada saat itu yang salah atau yang kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Urairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap yaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.
Saat aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Urairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama itu hanyalah apa yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada saat itu fiqh Islam mudah dipelajari dan setiap kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.
Setelah kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rasyidin yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telah lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rasyidin meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbedaan yang besar pada saat itu, yaitu wahyu tidak lagi diturunkan.
Dalam era empat khalifah itu, sempalan-sempalan Islam sudah mulai meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan itu, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum itu yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta dan sebagainya. Untuk mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh satu jawaban mayoritas yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang mempunyai masalah kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengannya. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.
Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) yaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.
Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.
Pada saat itu, para sahabat kebanyakan masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh karena itu tidaklah menjadi kesulitan untuk berbincang bersama mereka. Faktor itu memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu.

Dalam era itu, tidak wujud setiap mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, dia jar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

Era Kedua

Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyah, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti yaitu yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya memperhatikan kepada soal perluasan wilayah dan kekuasaan materi.
Dalam era itu banyak pengaruh luar yang berasal dari Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyah. Pola pemerintahan mulai bertukar sedikit-banyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan negara. Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti musik dan tari menari, ahli nujum, penebak nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari milik rakyat kepada kegunaan pribadi dan pelbagai pengadaan bea cukai baru. Pemerintah juga mulai membedakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen golongan di kalangan rakyat.
Pola pemerintahan Dinasti Umayyah itu digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan adanya Dinasti Umayyah itu, suatu era baru telah bermulai, yaitu lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hingga ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementingkan dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan wilayah walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah dalam.
Dari segi kenegaraan, boleh dikatakan Dinasti Umayyah telah sukses melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat untuk menjaga wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti itu jelas melambangkan keruntuhan dan kemerosotan dari Islam yang wujud sebelumnya.
Mereka (Umayyah) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan perwujudan wilayah dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.
Di kalangan pemerintah Dinasti Umayyah, hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang posisi pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman itulah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang benar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan setelah itu Dinasti Umayyah kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Setiap teguran dari para ulama’ ditepis dan barang siapa yang berani menentang dihukum diasingkan. Para ulama’ yang masuk istana adalah ulama yang dipilih khususuntuk menepati hasrat dan tuntutan pribadi saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah yang demikian menyebabkan ulama'-ulama' pada saat itu mulai menyisihkan diri dari istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih haus ajaran Islam yang sepenuhnya.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam itu ialah anak-anak didik didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang senangnya berhujah serta berfatwa melebihi dari kebiasaan. Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.
Justru itu banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” itu. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru itu tersebar ke daerah-daerah tatangga menyebabkan penduduk daerah tetangga juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Itu berlaku di beberapa daerah dan dengan itu wujudlah suasana belajar fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana segitu tidaklah dapat dihindari karena tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana itu berlanjut sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Sejalan dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorang an, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorang an itu pula wujud dalam suasana berkelompok atau kumpulan di sekitar seorang tokohnya dan itu merupakan noktah pertama kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa saat seperti pada musim haji.
Pada permulaian zaman ke 2H/8M, umat Islam sudah mulai merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyah. Suasana itu menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti itu dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diringkaskan oleh Ensiklopedi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati itu akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.
Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:

Pada pengujung Era Dinasti Umayyah, banyak orang mulai menyadari bahwa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Syi’ah yang selama itu memang tidak menerima pemerintahan Umayyah - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyah. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasiah…………
Keruntuhan Dinasti Umayyah menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasiah yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasiah dan Umayyah tidaklah sama di mana Dinasti Abbasiah mulai memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era itulah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:
Sebaik saja fiqh Islam memasuki era itu, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa itu memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era itu mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.
Dalam era itulah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era itulah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal……..
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan itu ialah mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyah lagi sebagaimana yang diterangkan sebelum itu. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga banyak orang dari segala pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.
Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian dari mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka itu pula ialah anak didik untuk tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi’i (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M). [15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas dimulyakan ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.
Setiap dari tokoh-tokoh itu mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai puncak sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh itu mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka. Perbedaan itu timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dihindari pada masa era itu seperti berijtihad secara berseorang an, tidak kesampaian sesuatu Hadits yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu adalah kecil dan insya-Allah akan diuraikan pada bagian berikutnya..
Perbedaan-perbedaan itu dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh yang dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat itulah yang diistilahkan sebagai Mazhab. (A particular school of thought).
Pada era itu juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagikan kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang untuk mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.
Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mulai dibukukan secara formal. Antara pembukuan pertama untuk ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf (al-Imam Abu Yusuf Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila (148H/765M), kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim (Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa kewafatannya pada tahun 182H/798M) dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi’i. Pembukuan dan penulisan kitab hadits yang pertama juga berlaku pada era itu atas saran Khalifah Harun al-Rashid (khalifah ke-5 bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu. Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya. Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M). kitab hadits pertama yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Setelah kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak didik mereka. Mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh karena itulah kita bisa dapati di era itu banyak orang di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), banyak orang di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan banyak orang di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasiah mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah saja sebagai mazhab rasmi dunia Islam saat itu. Suasana itu menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan itu menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan pendapat hanya atas tujuan pribadi dan hiburan istana. Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasiah itu memburukkan lagi suasana perkelompokan dan pribadi dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan itu menimbulkan suasana persaingan sesama mereka karena apabila salah satu diantara mereka kalah dalam perdebatan itu, dia bukan hanya kehilangan gaji uang dari pemerintah tetapi juga kehilangan reputasi dirinya.
Lebih dari itu kehilangan reputasi diri sangat berhubungan dengan kehilangan reputasi mazhab seseorang itu. Kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama dalam debat tersebut. Hasilnya, suasana persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.
Pada zaman ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadits seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka memperjuangkan seluruh tenaga, waktu dan hidup mereka untuk merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam masa itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadits-hadits Rasulullah ditapis dan dia nalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum dia diterima dan diberikan status sahih.
Malangnya pada saat itu, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal telah meninggal dunia. Itu sedikit-banyak ada hubungannya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka karena ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadits yang lemah atau tidak tepat karena tidak menjumpai hadits yang khusus sebagai dalil.
Permulaian zaman ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasiah mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Setelah tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada saat itu ajaran-ajaran fiqh Islam mulai terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada zaman ke 4H/10M dan seterusnya mulai terikut secara ketat kepada empat mazhab itu.
Di pengujung hidupDinasti Abbasiah itu, juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak, sehingga acara itu memunyai nama sendiri, yaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan saja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada banyak orang karena masing-masing membenarkan tokoh dan mazhab mereka.

Itu secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antar mazhab yang ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok itu sesuai peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mulai dibagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi, sehingga ahli-ahli ilmu pada zaman itu juga mulai mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didukung masing-masing.

Era Ketiga

Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiahh, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada saat itu juga, yaitu pada zaman-zaman ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mulai mengalami keruntuhan dan kemundurannya berbanding balik dengan negara-negara non-muslim.
Banyak faktor yang mendukung keruntuhan umat Islam pada saat itu, antaranya ialah:
1. Terlalu gembira dengan kejayaan yang telah dicapai,
2. Terlalu banyak hiburan duniawi hingga lupa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama atas tuntutan reputasi, jabatan, gaji, dan hal-hal duniawi yang lain.
Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubungan dengan mazhab-mazhab empat ialah wujudnya budaya taqlid, yaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya saja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu mayoritas umat pula sudah mulai
menerima hakikat perwujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti saja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih dari itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi slogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.
Para ulama’ juga tidak terlepas dari belenggu itu. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak sejalan dengan tuntutan mazhab resmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan diasingkandari wilayah atau negri asalnya. Ditambah pula, ke negeri manapun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justru itu para ulama’ sebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekali timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab itu akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, yaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah maupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid itu, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era itu kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul sejalan dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini .
Dengan meluasnya budaya taqlid itu, kefahaman umat Islam tentang agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya tertuju kepada bidang fiqh Islam saja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid itu dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya sendiri-sendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid karena yang sedemikian itu berarti mempermainkan agama.
Tak ada yang tartinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.
Seseorang yang mengaku melakukan ijtihad tidaklah diakui orang lain hasil ijtihadnya dan tak seorang pun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat itu telah menjadi kelompok manusia yang hanya bertaqlid kepada imam empat. Itulah yang dikatakan sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad.
Walaupun beberapa saat setelah itu (zaman ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan materi dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropa , itu tidak akan bertahan lama karena di balik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mulai melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika dia diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.
Beberapa kerajaan Islam saat itu mulai mengimpor dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana itu lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Itu mereka lakukan atas fahaman bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah sebagai apa yang tertulis dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.
Era itu berjalan terus dengan nasib umat Islam yang demikian, yaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.
Era Keempat
Pada zaman ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropa mulai mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropa mulai menjajah dan menaklukan negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka. Suasana itu mulai menyadar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenarnya. Umat Islam, meskipun sudah agak terlambat, mulai menyadari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.
Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.
Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan untuk umat Islam. Hubungan dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.
Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan itu terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama itu. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak.

Zaman ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bagian dunia Islam untuk menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan , kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.
Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.
Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan sendiri-sendiri , objektifnya tetap sama yaitu memajukan Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.
Mereka menekankan umat Islam untuk bangkit maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua bidang ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu duniawi karena memang pada asalnya kedua ilmu itu adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi itu saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah karena kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.
Usaha pembangunan umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku itu ditulis. Tokoh-tokoh agama di dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mulai diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dia njurkan tanpa henti-henti.
Akan tetapi usaha yang dilakukan itu masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau yang menentang terus ijtihadia h sezaman begitu . Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu fanatik kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan itu. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasanya Islam itu, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama pribadi yang dia malkan di rumah saja oleh barang siapa yang mengingitu nya. Golongan-golongan sebegitu lah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebegitu lah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.
Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Memang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rasyidin tidak wujud mazhab-mazhab Islam. Hanya karena sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, berikut diuraikan faktor-faktor penyebab untuk munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:

• Pola pemerintahan Umayyah yang tidak akur dan patuh kepada petunjuk para ulama’ yang wujud saat itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, dia ncam atau ditangkap. Itu menyebabkan ulama’-ulama’ era itu menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal itu menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam setiap persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyah.

• Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh karena Kerajaan Umayyah tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha itu jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara sendirian.

• Tidak wujud setiap sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman itu untuk membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh karena itu para ulama’ era itu terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadits yang diketahuinya.

• Dalam suasana itu timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cakap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mulai tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan banyak orang mulai bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.

• Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasiah melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era itu juga kehandalan beberapa tokoh pribadi tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘i di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka diistilahkan mazhab dan dari situlah bermulainya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘i dan Hanbali.

• Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasiah. Pemerintah-pemerintah Abbasiah melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gubernur atau mufti untuk wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Itu menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak suka kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.

• Menyadari wujudnya perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai menganjurkan acara perdebatan antara tokoh mazhab. Perbuatan itu menyebabkan persaingan dan perselisihan antar mazhab mulai memanas dan memuncak.

• Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiah, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman lahir juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka masing-masing dan mengangkat sebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan itu menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.

• Mulai masa itu umat Islam dan negara mereka mulai dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.

• Mulai zaman pertengahan hingga masa kini , umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu saja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.

Jika kita benar-benar menganalisa faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam itu, kita akan dapati dia wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-situ semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya dia tidak hilang dimakan masa, supaya umat setelah mereka dapat merujuknya.

Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab empat untuk membelahkan umat itu kepada empat kumpulan. Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi tertuju kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati banyak orang tanpa persetujuan mereka.

Oleh yang demikian kita tidak boleh memandang sebelah mata dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam itu. Malah jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab itulah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab itu boleh dirumuskan sebagai:

• Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama dari dicemari faktor-faktor politik.

• Berusaha menghidupkan ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.

• Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.


Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja.
Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.

Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sampai hari ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul Rahman:

Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal, yaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan jasa baik yang tidak tandingnya dalam bidang fiqh Islami.

Tiadalah seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain maupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya.

Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini . Insya-Allah di bagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab empat itu dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.







sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=263195737080591&set=a.227788947287937.57772.142545949145571&type=1&theater


Selasa, 07 Juni 2011

BERMADZAB SIAPA TAKUT?





          Bermadzab adalah suatu keniscaya`an. Boleh tidak bermadzab' asal mampu memahahami ayat Al Qur`an  dan hadits. sementara kaum awam sudah selayaknya ber-taqlid, meski tetap ada keluwesan dalam bermadzab.




Suatu ketika Imam safi`i menuaikan sholat subuh di kompleks Imam Hanafi. ketika bangkit bangkit dari ruku (sa`at itidal) di raka`at kedua, beliau tidak membaca do`a Qunut. Padahal, dalam pandangannya, Qunut dalam sholat subuh adalah sunnah muakkadah (sunnah yang di kuatkan) dan di amalkan hingga kini oleh para penganut Madzab Safi`i.
       Ketika murid di tanya oleh murid-muridnya, beliau mengatakan, beliau melakukan demi menghormati Imam Hanafi - yang tidak menganjurkando`a Qunut dalam sholat subuh.
Demikianlah penghormatan Imam Safi`i kepada Imam Hanafi, padahal mereka tidak pernah bertemu, Sebab Imam Safi`i lahir pada tahun 150 H,Pada ketika Imam Hanafi wafat.

Dalam  Koridor Tasamuh
     Sejak berabad-abad ketika kaum muslimin menganut madzab yang berdeda-beda, hubungan para tokoh madzab tetap dalam koridor tasamuh alias toleransi. Dan hal itu pula yang di teladani oleh para pengikut mereka di perbagai belahan dunia islam, termasuk Indosia.
    Di lain pihak, di tingkat awam terkadang terjadi gesekan-gesekan berskala ringan dalam hal khilafiah alias beda pendapat menyankut perbeda`an pendapat menyankut cabang masalah, meskipun hal itu bukanlah gambaran yang dominan atau kecenderungan mainstream.
    tapi, dalam beberapa abad terakhir memang pernah muncul ulama-ulama yang pernah menggugat cara beragama dengan bermadzab. Di antaranya Shyaikh khajan di dalam kitab  Madzahib al-Bar`ah (Apakah seorang muslim harus harus mengikuti Madzab dari Madzab yang empat) sebagaimana di sebut dalam buku argumentasi Ulama Syafi`iyyah, karya H Mujiburrahman.
    Jadi, persoa`alan yang muncul kemudian bukan antara mereka yang berbeda Madzab, melainkan antara  mereka yang bermadzab dan yang menolak Madzab. Dan mereka yang menolak bermadzab mengatakan, semua madzab adalah bid`ah yang di ada-adakan dan bukan bagian dari Islam.

     Benarkah demikian? Apakah para ulama besar semisal Al-Ghozali, An-Nawawi, Ar-Rafi`i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Haitami, Imam As-Suyuthi (dan banyak lagi lainya) telah melakukan bid`ah karena beliau-beliau berpegang pada madzab Syafi`i? Begitu pula, salahkah para ulama besar yang berpegang pada madzab lainya?
     Dari sudut kata, Madzab berarti "jalan, aliran, pendapat, ajaran, atau dokrin". Sedangkan menurut istilah, Secara umum, Madzab berarti "metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam". Pada dasarnya, bermadzab adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang di yakini mempunyai kemampuan dalam berijtihad.

Hukum-hukum sederhana
    Sedangkan mereka yang menolak bermadzab, dan mengharuskan setiap muslim harus  mengambil dalil dari Al-Qur'an dan hadits, mengemukakan argumen bahwa islam tak lebih dari hukum-hukum sederhana yang mudah di mengerti oleh orang arab atau muslim dimanapun juga. mereka antara lain berdalil dengan hadits Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makna Islam, Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan menyebutkan rukun Islam yang lima. tak lebih dari itu.
    Dalil mereka yang lain ialah hadits tentan seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata,"Wahai Rasulullah, tunjukan kepadaku satu perbuatan yang, apa bila aku kerja'kan, aku akan masuk surga."
Rasulullah SAW bersabda,"Bersaksilah bahwa tidak Tuhan selain Allah... (sampai akhir hadits)."
   Seandainya benar hukum-hukum Islam terbatas, niscaya kitab-kitab hadits yang shahih dan musnad-musnad tidakdi penuhi oleh ribuan hadits mengungkap berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.
penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang tata cara melaksanakan rukun-rukun tersebut.
Dan sesugguhnya hukum Islam tidaklah sesederhana itu. Memang, pada masa awal Islam, permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum masih sedikit. Sebab kala itu, daerah penyebaran Islam belum terlalu luas dan kaum muslimin maih sedikit. Belakangan, problem ini problem bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah penyebaran Islam dan bayaknya parkara yang tidak ada sebelumnya yng hukumnya segera di pecahkan berdasarkan sumber-sumber Islam.
    Sejak zaman sabhabat dan Ulama tabi'in, Orang-orang awam selalu bertanya mengenai masalah hukum agama kepada para ulama mujtahid. dan para ulama tidak menentang fatwa yang disampekan dengan cara demikian. Kenyata'an ini dapat di pandang sebagai jimak (kesepakatan) di antara mereka.
    Realitas kehidupan keagama'an umat Islam di Hijaz (Makah Medinah dan sekitarnya) pada zaman sahabatmenunjukan tumbuhnnya Madzab yang berbeda-beda.
Masyarakat Islam Hijaz, dalam waktu itu cukup lama, Mengikuti fatwa atau madzab Ibnu Mas'ud. sedangkan di masa tabi'in , masyarakat Irak dan sekitarnya mengikuti fatwa ulama seperti Al-Qamah, An-nakha'i, Masruq Al-Hamdani, Ibnu Zubair, dan Ibrahim An-nakha'i.
    Sementara itu kaum muslimin di Hijaz bermadzhab kepada Sa'id bin Al-Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Bahkan, Atha bin Rabah dan Mujahid pernah secara resmi di tetapkan oleh khalifah pada masanya sebagai mufti di makkah, dan Masarakat Islam di perintahkan untuk mengikuti fatwa mereka.

Analogi Hukum Islam

    Demikian pula pada masa imam madzab yang empat (Imam Abu Anifah, Imam Malik,Imam Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi', dan Imam Ibnu Hambal). Apa lagi di kala itu ijtihaj sudah memasuki era metologi istinbath (penyimpulan hukum berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist), sudah merumuska parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas shahih dan qiyas batil. Qiyas adalah analogi dalam fiqih atau hukum Islam.
    Ciri lain dari masa itu adalah ijtihad yang telah mencakup seluruh aspek hukum amaliah, dan telah di bukukan. Dan semua itu menunjang kelestarian madzab yang empat. Melintasi batas wilayah  dan menembus perjalanan waktu, hingga kini. Madzab Syafi'i, misalnya, Sejak ratusan tahun silam di anut oleh sebagian besar kaum muslimin di Asia tenggara, termasuk Indonesia, Di samping Mesir, Irak, Yaman dan banyak lagi lainnya. 
    Jadi, Madzab-madzab fiqih di dunia Islam sesungguhnya ad dari seribu tahum silam. Munculnya berbagai madzab tak dapat di pisahkan dari kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan ijtihad, yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzab.
    Rasulullah SAW telah mengutus para sahabat yang memiliki kemampuan  menghafal, memahami, dan menyimpulkan suatu hukum, ke beberapa kabilah atau negeri, dan menguasai mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Mereka juga bersepakat akan berijtihad manakala menghadapi kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadits. Rasulullah SAW pun menyetujui kesepakatan. 
    Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Syu'bah, ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Beliau bersabda, 
                             "Apa yang akan kamu  perbuat jika menghadapi suatu perkara?,

Muadz menjawab,
                             "Saya akan memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah"
 
Rasulullah SAW kembali bertanya,
                             "Jika tidak ada dalam Kitabullah?"

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah".

Rasulullah SAW bertanya lagi,
                             "Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?,

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melebihkannya".

Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dada Mu'adz dan bersabda,
                             "Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan utusan  Rasul-Nya sesuai dengan
                              apa yang di ridhai olehnya (Rasulullah)".

     Ketika Rasulullah SAW wafat, dasar-dasar syari'ah yang fundamental dan umum telah diletakan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat lebih banyak melakukan penerapan (tathbiq) terhadap hukum-hukum syari'ah tersebut. Jika ada suatu hal yang belum di ketahui ketetapan hukumnya, atau di perselisihkan di antara mereka, di lakukan musyawarah atau dialog terbuka, untuk mencapai kesepakatan.


Kesepakatan para sahabat


     Apa yang di ceritakan oleh Maimun bin Marhan  berikut ini contohnya. "Apa bila menghadapi masalah hukum, Abu Bakar Ash-Shiddiq mempelajarinya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Apabila di sana di temukan dalil yang dapat di jadikan dasar, ia putuskan hukumnya dengan dalil tersebut. Tapi, jika di temukan, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah, ia bertanya kepada para sahabat yang lain, 'Apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah SAW mengenai masalah ini?, Apa bila mereka memberi kesaksian bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum tentang masalah tersebut dengan cara tertentu, ia mengikuti keputusan tersebut. Apabila tidak ada yang memberikan kesaksian apa-apa, ia mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah. Apabila mereka dapat mengambil kesepakatan, ia memutuskan memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan para tokoh sahabat tersebut (ijma' ash-shahabah).
    Cara demikian juga di gunakan olehUmar bin Khathab. Setiap kali hendak menetapkan hukum, ia selalu bertanya kepada para sahabat, 'Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menetapkan hukum masalalah itu?, 
Apabila di jawab, Pernah begini atau begitu', Umar mengikuti ketetapan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Pada akhir masa Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah (berarti masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in), Keilmuan Islam makin meluas dan lebih kentara kemandirianya, seperti terpisahnya ilmu fiqih dan ilmu kalam, mumculnya ilmu tasawuf, makin maraknya ilmu hadits dan tafsir.
    Kala itu para ulama fiqih, yang di pandang mempunyai otoritas keilmuan, membahas masalah syariah atau hukum islam yang kemudian terbagi dalam dua aliran.
Pertama, aliran pakar hadits (ahl al hadits) yang literalis, yakni sangat terkait dengan teks dalil naqli, yang di kuasai guru ke murid secara langsung dari masa ke masa.  
Kedua, aliran rasionalis (ahl al-ra'yi), yang lebih rasional dan substansialis (orentasi pada hakikat masalah), banyak yang menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempertimbangkan realitas di tengah masyarakat.
    Aliran pertama berpusat di beberapa perguruan Islam di Hijaz, terutama di Madinah. Di antara tokoh utama adalah Imam Malik bin Anas dan murid-muridnya. Sedangkan aliran kedua berpusat di beberap perguruan Islam di Irak. khususnya dio Khufaf. Di antara tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifaf. Kelompok Hijaz merasa unggul dari kelompok Irak dalam penguasa'an hadits. mengingat jumlah sahabat yang bermukim di Hijaz jauh lebih banyak di banding yang berdomisili di Irak.
     Aliran ahl al-ra,yi sebenarnya di pelopori oleh Ibnu Mas'ud ketika menetap di Irak. Pengguna'an nalar yang di lakukannya merupakan pengaruh khalifaf  Umar bin Khaththab, yang di kaguminya.Khalifaf Umar memang banyak menggunakan peran nalar dalam berijtihad. Bukan hanya dalam masalah yang tak ada dalilnya, tapi juga dalam masalah tertentu yang dalilnya perlu di tafsir ulang. Sebab, menurutnya, dalil tersebut terkait dengan waktu, tempat, dan keada'an tertentu.
    Misalnya, dalam hal Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang perlu di hibur hatinya), yang dalam Al-Qur'an yang termasuk kelompok yang berhak menerima bagian Zakat. Tapi dalam suatu kasus, para muallaf tidak di beri bagian Zakat oleh khalifaf Umar. Sebab, disamping mereka adalah orang kaya., kaum muslimin kala itu tidak perlu lagi menghibur mereka, karena konteks sosial yang hadapi tidak sama dengan keada'an pad waktu nash dalam Al-Qur'an tersebut di turunkan.


Harus Diam Saja?

    Setiap muslim, baik yang bermadzhab maupun tidak, tentu meyakini bahwa dasar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Tapi, yang jadi masalah, tidak setiap orang memiliki kemampuan memahami Al-Qu'an dan Hadits. Jangankan orang yang tidak menguasai bahasa Arab, Orang yang benar-benar menguasai bahasa Arab pun belum tentu dapat memahami makna dan maksud ayat Al-Qur'an dan Hadits tersebut.
     Mengapa? karena ada ayat Al-Qur'an dan Hadits yang maksudnya jelas sehingga tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk memahaminya, tapi kebanyakan membutuhkan penguasa'an berbagai ilmu lain untuk bisa memahaminya. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki persyaratan itu? Haruskah ia diam saja tanpa perlu melaksanakan ayat Al-Qur'an dan Hadits., atau bertanya dan mengikuti para ulama yang mampu memahaminya? Tentulah pilihan kedua yang di ambil, dan memang itulah yang di perintah dalam agama. Banyak dalil yang menunjukan wajibnya bertaqlid (mengikuti) bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad. Antara lain ayat 7 surah Al-Anbiya,
         "Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui."
Para ulama sepakat, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil agar mengikuti orang-orang yang mengetahui. Dan para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada orang yang mengetahui.
Dalil kedua adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa sahabat Nabi SAW berbeda-beda dalam tingkat keilmuanya dan tidak semua mampu memberi fatwa. Para sahabat terbagi dalam dua golongan: Sahabat yang termasuk mufti, yang mampu berijtihad (minoritas), dan para sahabat yang termasuk mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaqlid (mayoritas).
Dalil lain mengenai kewajiban bertaqlid adalah logika, sebagaimana yang di katakan oleh Asy-Syathibi, "Fatwa para mujtahid bagi orang awam adalah sebagaimana dalil syar'i bagi para mujtahid, bagi orang yang ber taqlid, ada atau tidak adanya dalil sama saja, karena tidak mampu mengambil pengertian dari dalil. maka masalah meniliti dalil dan melakukan istinbhat (penyimpulan hukum) bukan urusan mereka, dan mereka tidak di perkenankan melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:


                        "maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"