Tampilkan postingan dengan label bid'ah hasanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bid'ah hasanan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2016

Maqam Rasulullah

                         

                                                                بسم الله الر حمن الر حيم.  



        Rahasia Ruangan Makam Nabi Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam,
Tidak seperti penutup Ka'bah yang setiap tahun harus di ganti, penutup ruangan Makam Nabi sangatlah jarang diganti, itu karena penutup makam itu terletak didalam ruangan tertutup dan tak pernah tersentuh oleh siapapun, terakhir kali diganti pada tahun 1971m, (biasanya di ganti setelah 100thn sekali) dan seorang wartawan Al Arabiya Omar Al - Midwahy, beberapa waktu lalu mewawancarai salah satu dari pekerja yang bertugas untuk mengganti penutup Makam Rasulullah, yaitu Syaikh Ahmad Sahirty, beliau adalah kepala divisi bordir di pabrik kain penutup Ka'bah dan Makam Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam di Makkah. Saat melakukan tanya jawab ini umur Syaikh Ahmad sudah sangat sepuh (hampir 100thn),
Ketika saya memintanya untuk menjelaskan kepadaku tentang Ruang makam Nabi, dia tampak bergetar hebat, Dan dia berkata dengan suara samar:
"Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku pada saat aku memasuki ruang makam Nabi ... aku tidak mampu .. Karena itu sudah diluar batas kemampuan aku berbicara, dan aku tidak pernah berpikir bahwa suatu hari aku akan ditanyakan tentang pengalaman ini. Dan aku menjamin bahwa aku tidak akan dapat melakukan atau melalui pengalaman itu lagi".
"Kami adalah orang pertama yang masuk, bersama Sayyidil Habib As'ad Sheera, salah satu tokoh al-Madina al-Munawwarah, yang merupakan direktur wakaf keagamaan Madina pada saat itu, dan Habib Moghrabi dari manajemen pabrik, dan Abd al-Karim Flomban, Nasir Qari, Abd al-Rahim Bukhari dan lain-lain. Kami berjumlah 13 orang, aku tidak ingat sebagian besar dari mereka, karena saat ini mereka telah meninggal dunia kembali kepada rahmat Allah.
"Kami didampingi kepala Suku Aghas (pemegang dan penjaga makam nabi turun temurun).
"Lihatlah lensa kacamata ini -dan ia menunjuk ketebalan kacamatanya - dan lihatlah berapa banyak rambut putih, itu semua menunjukkan berapa berat tahun kehidupan yang ku bawa. Usia ku, meski tidak menghitung, tapi aku pernah mendengar mereka mengatakan bahwa aku lahir pada tahun 1333 H (1917 M).
       Dan seumur hidupku, aku tidak memiliki kegemaran selain kecintaaan pada aroma indah / parfum. Aku telah menghabiskan jangka waktu yang panjang di tahun-tahun yang tertinggal, berusaha untuk memuaskan nafsu mencium segala keharuman yang ada. Aku belajar banyak, dan aku dapat memberitahu Anda dengan keyakinan: bahwa aku memiliki keahlian khusus bagaimana mencampur minyak wangi dan menghasilkan wewangian terbaik..dan bahwa hampir tidak ada orang lain yang bisa membuat wewangian seperti racikanku.

      "Dan aku katakan ini karena aku menemukan ketidakmampuan untuk menjelaskan, apa yang terjadi pada malam yang diberkati itu, ketika pintu dibuka untuk kami, dan kami memasuki ruang pemakaman baginda Nabi, aku menghirup keharuman dan aroma yang tidak pernah ku ketahui atau mencium sebelumnya maupun sesudahnya, dan tidak pernah dikenal seumur hidupku. Aku tidak pernah tahu rahasia komposisinya: itu adalah keharuman di atas keharuman, aroma diatas aroma - sesuatu yang lain dari pada yang lain, bahkan akan membuat takjub seorang ahli sekalipun, atau pedagang parfum manapun juga tidak akan pernah mencium seperti itu sebelum atau sesudahnya
Ketika malam itu pintu makam dibuka, perasaan takjub begitu lengkap mengambil alih semua perhatianku, Ini adalah tempat teragung dimuka bumi, aku tidak tahu persis berapa luasnya, tetapi menurut taksiran kami, Ruang makam itu sekitar 48 meter persegi. Dengan ketinggian kurang lebih 11 meter, Di bawah kubah hijau ada kubah kecil lainnya dan tertulis di situ, :

-Makam Nabi صلى الله عليه وآله وسلم,
-Makam Abu Bakar al-Siddiq,
-Makam Umar ibn al-Khattab.




      "Dan aku juga melihat bahwa ada makam lain yang kosong, dan di samping empat makam adalah ruang dari Sayyidah Fatimah al-Zahra Alaihasalaam, yang merupakan rumah di mana dia dan keluarganya tinggal.
"Kekaguman terhadap tempat itu sangatlah istimewa, Aku begitu terpesona melihat lampu lampu antik yang menggantung dari langit-langit ruang, peninggalan dari zaman kuno, kami diberitahu bahwa ada beberapa peninggalan Nabi yang disimpan di tempat lain - aku tidak tahu di mana - tapi aku tahu bahwa beberapa benda bersejarah ada yang disimpan di ruang Sayyidah Fatimah al-Zahra -yaitu di tempat yang sama ini. "Ruang ini, sebagian besar tertutup kain tenunan yang terbuat dari sutra murni, berwarna hijau lembut dengan kain katun yang kuat, dan dimahkotai oleh sabuk yang mirip dengan penutup Ka'bah, tetapi disini berwarna merah. Seperempat bagian dari kain dibordir dengan tulisan ayat Al Qur'an yang mulia dari surat al-Fath, terbuat dari garis kapas dan benang emas dan perak"..

     "Dari saking kagumnya kami sampai tidak tahu bagaimana untuk menghapus / membersihkan potongan potongan khusus yang dibuat untuk menempelkan kain pada kubah - jari-jari kami goyang bergetar dan napas kami menderu berlomba. Kami tinggal selama 14 malam penuh bekerja dari setelah sholat Isha sampai azan pertama waktu Fajr untuk menyelesaikan tugas ini. Kami menggunakan bahasa sinyal dan kalau terpaksa berbicara akan kami lakukan dengan berbisik bisik, Kami terus menghapus potongan-potongan lama, melepas simpul dari penutup lama, dan membersihkan semua debu dan bulu merpati yang terjebak di tempat yang suci ini. Itu terjadi pada tahun 1971m, dan penutup lama yang kami ganti telah berusia 75 tahun sesuai dengan tanggal yang tertulis di atasnya.

        Aku, pada waktu itu mataku sudah lemah dan kacamata ini tidak pernah meninggalkan mata ku sejak bertahun tahun sebelumnya, tapi di ruang itu aku berubah menjadi orang lain, sungguh Aku merasakan hal itu, dan perbedaan itu sangat jelas bagi ku, Syekh Sahirty bersumpah, ketika mengatakan: "di situ Aku sanggup untuk menempatkan benang ke lubang jarum tanpa kacamata ku, meskipun cahaya sangat redup ditempat di mana kami bekerja. Bagaimana Anda bisa secara ilmiah menjelaskan hal ini ? Dan bagaimana Anda bisa menjelaskan fakta bahwa aku tidak merasa alergi (aku adalah penderita alergi akut), aku akan batuk parah jika sedikit terkena debu. Tapi pada waktu itu, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh debu ruangan, atau pasir yang terbang ke udara. Seakan pasir tidak lagi pasir, dan seolah-olah debu menjadi obat untuk penyakit ku, aku merasa bersemangat dan muda seperti ketika usiaku belasan tahun (padahal waktu itu usiaku sudah lebih dari setengah abad)..

      "Satu lagi hal yang aneh terjadi padaku yang rahasia nya, belum aku mengerti hingga saat ini. Kami harus mengambil kain bordir / penutup lama, sepanjang 36 meter, masih tersisa. Aku mengatakan kepada mereka untuk melipat dan membungkusnya dan meninggalkannya disitu. Aku pergi ke sana, dan meskipun tubuh ini sudah tua dan lemah, tapi aku sanggup memanggulnya di atas bahu ini. Aku pergi keluar dari Ruang mulia itu tanpa sedikitpun merasa berat. Tapi setelah itu, mereka datang dengan lima orang muda untuk membawanya dari tempat aku meletakkannya dan mereka tidak bisa [membawanya]. "

 Syaikh Ahmad mulai menangis pelan pelan dan sambil mendesah: "Mereka bertanya siapa yang membawa karung bungkusan itu keluar? Yang bagi mereka sangat berat dan 5 orang muda dan kuat tak sanggup mengangkatnya, saat kujawab aku yang mengangkatnya, mereka tertawa dengan penuh rasa tidak percaya hingga datang syaikh Abd al-Rahim Bukhari, penulis kaligrafi yang terkenal itu dan bersaksi bahwa benar dia telah melihat aku syaikh Ahmad Sahirty yang mengangkatnya sendirian!!"..

                                              اللّهمّ صلِّ على سيّدنا محمّدٍ وآله  وصحْبه وسلِّم


Allahhuma sholii alaa sayyidina muhammad wa alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Sumber:
https://mobile.facebook.com/story.phpstory_fbid=512725982248940&id=180728725448669&ref=m_notif&notif_t=page_name_change

Selasa, 17 Januari 2012

Sanad Maulid Barzanji(Serta Ijazah)

 oleh: al-Faqir Ila
ALLAH Ta'ala



Maulid Barzanji merupakan kitab yang memuji dan menceritakan kehidupan Rasulullah s.a.w, selalu dibaca dan dilantunkan orang ketika datangnya bulan Rabi`ul awwal di berbagai daerah dan negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura dan Thailand. Maulid Barzanji sangat terkenal dan populer di Asia Tenggara, bahkan di sebahagian tempat Maulid Barzanji dibaca ketika acara perkawinan, acara khitanan, dan acara-acara lainnya.
Kitab Maulid Barzanji diserang dan diperangi oleh sebahagian orang yang menganggap acara Maulid Nabi Muhammad s.a.w. adalah salah satu perbuatan bid`ah, tetapi permasalahan ini adalah masalah khilafiyah yang kebanyakkan umat Islam berpegang teguh dengan bolehnya mengadakan maulid Rasul selama cara tersebut tidak berunsur hal-hal yang haram dan dilarang oleh Allah dan Nabi-Nya.
Maulid Barzanji adalah karangan dari seorang ulama besar terkemuka di masa beliau, telah berhasil memberikan jasa dan peninggalan yang berharga bagi umat Islam.


Nama Lengkap Pengarang Barzanji :
Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim bin Sayyid Muhammad bin Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani as-Syafi`i.

Beliau dilahirkan di kota Madinah, asal usul beliau dari golongan ulama-ulama besar yang memiliki keilmuan yang tinggi, dan dari keturunan Rasulullah s.a.w. Beliau memiliki sifat yang soleh dan penyantun, suka menolong orang lain, rajin beribadah dan beramal soleh. Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi pengarang
kitab Silku ad-Durar memuji beliau dengan ungkapan :

     Beliau seorang Syeikh yang mulia lagi alim, satu-satunya orang yang hebat di dalam segala bidang ilmu, Mufti mazhab Syafi`iyyah di kota suci Madinah. Selanjutnya Syeikh Muham mad Khalil al-Muradi memuji lagi :

Beliau hebat di dalam berpidato dan membuat karangan, sehingga beliau menjadi seorang imam dan khatib Masjid Nabawi, dan beliau juga seorang tenaga pengajar di Masjid Nabawi. Menulis berbagai macam kitab yang bermanfa`at dan karangan yang indah. Beliau meninggal dunia pada tahun 1177 hijriyyah sebagaimana yang telah disebutkan didalam kitab Silku ad-Durar. Sanad Kami Kepada Imam Ja`far al-Barzanji Berkata seorang hamba yang faqir lagi hina Muhammad Husni Ginting bin Muhammad Hayat Ginting al-Langkati :
     Saya meriwayatkan kitab Maulid Barzanji dari Syeikh Saya al-Alim as-Syeikh Ahmad Damanhuri bin Arman al-Banteni wafat tahun 1426 hijriyah, beliau meriwayatkan dari gurunya al-Allamah al-Muhaddis as-Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi at-Tunisi al-Madani wafat tahun 1368 hijriyyah, beliau meriwayatkan dari al-Allamah Syeikh Sayyid Ahmad bin Ismail al-Barzanji Mufti mazhab Syafi`i di Madinah, beliau meriwayatkan dari ayahandanya Sayyid Ismail bin Sayyid Zainal Abidin al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari
ayahnya al-Allamah Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari ayahandanya al-Allamah Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau
meriwayatkan dari pamannya al-Allamah al- Faqih Syeikh Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim al-Barzanji, pengarang kitab " Maulid al-Barzanji ".
Saya al-Faqir al-Langkati mengijazahkan sanad khusus ini bagi siapa saja yang ingin menerimanya, semoga berkat dan kita termasuk orang yang menyampaikan ilmu dan amanat kepada umat Islam.
1- Zaqaziq , Syarqia, Mesir, 12 Rabi`ul Awwal 1432 hijriyyah. Rujukan : 1 - Silku ad-Durar Fi A`yani al Qarni as-Tsani Asyar : 13 / 2 ,karangan Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi al-Hanafi, terbitan Dar Sodir Bairut, cetakkan pertama tahun 1422/2001.
2 - Maulid al-Barzanji



(download)

p/s: Rakaman audio nadir bacaan Maulid al-Barzanji lengkap oleh al-Imam al-'Allamah al-Kabir al-Mufassir al-Muhaddith Syeikh 'Abdullah Sirajuddin al-Halabi al-Husaini r.a. pada tahun 1406H


(silahkan klik)



sumber:
http://sawanih.blogspot.com/2011/02/sanad-maulid-barzanji.html

SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB







SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB



A. Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”

Sebelum ditinjau dari sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu arti dari kata “Mazhab” dan “Imam” itu.
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab fiqh pula, sebagaimana yang diterangkan Huzaemah Tahido, berarti:

Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Dia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal. Pengartian mazhab itu kemudian beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sebuah wilayah atau negara. Dia menjadi sumber rujukan dan pegangan yang dimulyakan sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan “Imam” dari sudut bahasa berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud sejalan dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin shalat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komunitas orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber belajar dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, otoritas mereka hanyalah tertuju kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4. Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam segitu hanya khusus untuk Mazhab Syi‘ah. Imam-imam itu bukan saja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki otoritas dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa tertuju kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.


B. Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam

Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiah, yaitu sejak zaman ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya ada 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rasyidin yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah di mana pada saat itulah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3. Pada era keruntuhan Islam, yaitu mulai zaman ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan kembali, Islam dan ilmu-ilmunya sama-sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.

Era Pertama

Era itu bermulai sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di Era itu sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bartindak sebagai guru. Itu sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana ) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (yaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadits. Hadits beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak mengatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadits) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk petunjuk wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bartindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan setiap perbuatan umat pada saat itu yang salah atau yang kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Urairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap yaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.
Saat aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Urairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama itu hanyalah apa yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada saat itu fiqh Islam mudah dipelajari dan setiap kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.
Setelah kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rasyidin yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telah lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rasyidin meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbedaan yang besar pada saat itu, yaitu wahyu tidak lagi diturunkan.
Dalam era empat khalifah itu, sempalan-sempalan Islam sudah mulai meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan itu, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum itu yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta dan sebagainya. Untuk mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh satu jawaban mayoritas yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang mempunyai masalah kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengannya. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.
Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) yaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.
Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.
Pada saat itu, para sahabat kebanyakan masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh karena itu tidaklah menjadi kesulitan untuk berbincang bersama mereka. Faktor itu memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu.

Dalam era itu, tidak wujud setiap mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, dia jar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

Era Kedua

Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyah, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti yaitu yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya memperhatikan kepada soal perluasan wilayah dan kekuasaan materi.
Dalam era itu banyak pengaruh luar yang berasal dari Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyah. Pola pemerintahan mulai bertukar sedikit-banyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan negara. Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti musik dan tari menari, ahli nujum, penebak nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari milik rakyat kepada kegunaan pribadi dan pelbagai pengadaan bea cukai baru. Pemerintah juga mulai membedakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen golongan di kalangan rakyat.
Pola pemerintahan Dinasti Umayyah itu digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan adanya Dinasti Umayyah itu, suatu era baru telah bermulai, yaitu lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hingga ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementingkan dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan wilayah walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah dalam.
Dari segi kenegaraan, boleh dikatakan Dinasti Umayyah telah sukses melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat untuk menjaga wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti itu jelas melambangkan keruntuhan dan kemerosotan dari Islam yang wujud sebelumnya.
Mereka (Umayyah) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan perwujudan wilayah dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.
Di kalangan pemerintah Dinasti Umayyah, hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang posisi pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman itulah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang benar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan setelah itu Dinasti Umayyah kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Setiap teguran dari para ulama’ ditepis dan barang siapa yang berani menentang dihukum diasingkan. Para ulama’ yang masuk istana adalah ulama yang dipilih khususuntuk menepati hasrat dan tuntutan pribadi saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah yang demikian menyebabkan ulama'-ulama' pada saat itu mulai menyisihkan diri dari istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih haus ajaran Islam yang sepenuhnya.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam itu ialah anak-anak didik didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang senangnya berhujah serta berfatwa melebihi dari kebiasaan. Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.
Justru itu banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” itu. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru itu tersebar ke daerah-daerah tatangga menyebabkan penduduk daerah tetangga juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Itu berlaku di beberapa daerah dan dengan itu wujudlah suasana belajar fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana segitu tidaklah dapat dihindari karena tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana itu berlanjut sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Sejalan dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorang an, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorang an itu pula wujud dalam suasana berkelompok atau kumpulan di sekitar seorang tokohnya dan itu merupakan noktah pertama kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa saat seperti pada musim haji.
Pada permulaian zaman ke 2H/8M, umat Islam sudah mulai merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyah. Suasana itu menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti itu dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diringkaskan oleh Ensiklopedi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati itu akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.
Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:

Pada pengujung Era Dinasti Umayyah, banyak orang mulai menyadari bahwa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Syi’ah yang selama itu memang tidak menerima pemerintahan Umayyah - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyah. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasiah…………
Keruntuhan Dinasti Umayyah menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasiah yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasiah dan Umayyah tidaklah sama di mana Dinasti Abbasiah mulai memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era itulah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:
Sebaik saja fiqh Islam memasuki era itu, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa itu memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era itu mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.
Dalam era itulah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era itulah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal……..
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan itu ialah mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyah lagi sebagaimana yang diterangkan sebelum itu. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga banyak orang dari segala pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.
Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian dari mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka itu pula ialah anak didik untuk tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi’i (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M). [15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas dimulyakan ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.
Setiap dari tokoh-tokoh itu mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai puncak sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh itu mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka. Perbedaan itu timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dihindari pada masa era itu seperti berijtihad secara berseorang an, tidak kesampaian sesuatu Hadits yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu adalah kecil dan insya-Allah akan diuraikan pada bagian berikutnya..
Perbedaan-perbedaan itu dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh yang dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat itulah yang diistilahkan sebagai Mazhab. (A particular school of thought).
Pada era itu juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagikan kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang untuk mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.
Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mulai dibukukan secara formal. Antara pembukuan pertama untuk ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf (al-Imam Abu Yusuf Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila (148H/765M), kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim (Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa kewafatannya pada tahun 182H/798M) dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi’i. Pembukuan dan penulisan kitab hadits yang pertama juga berlaku pada era itu atas saran Khalifah Harun al-Rashid (khalifah ke-5 bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu. Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya. Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M). kitab hadits pertama yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Setelah kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak didik mereka. Mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh karena itulah kita bisa dapati di era itu banyak orang di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), banyak orang di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan banyak orang di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasiah mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah saja sebagai mazhab rasmi dunia Islam saat itu. Suasana itu menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan itu menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan pendapat hanya atas tujuan pribadi dan hiburan istana. Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasiah itu memburukkan lagi suasana perkelompokan dan pribadi dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan itu menimbulkan suasana persaingan sesama mereka karena apabila salah satu diantara mereka kalah dalam perdebatan itu, dia bukan hanya kehilangan gaji uang dari pemerintah tetapi juga kehilangan reputasi dirinya.
Lebih dari itu kehilangan reputasi diri sangat berhubungan dengan kehilangan reputasi mazhab seseorang itu. Kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama dalam debat tersebut. Hasilnya, suasana persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.
Pada zaman ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadits seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka memperjuangkan seluruh tenaga, waktu dan hidup mereka untuk merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam masa itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadits-hadits Rasulullah ditapis dan dia nalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum dia diterima dan diberikan status sahih.
Malangnya pada saat itu, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal telah meninggal dunia. Itu sedikit-banyak ada hubungannya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka karena ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadits yang lemah atau tidak tepat karena tidak menjumpai hadits yang khusus sebagai dalil.
Permulaian zaman ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasiah mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Setelah tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada saat itu ajaran-ajaran fiqh Islam mulai terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada zaman ke 4H/10M dan seterusnya mulai terikut secara ketat kepada empat mazhab itu.
Di pengujung hidupDinasti Abbasiah itu, juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak, sehingga acara itu memunyai nama sendiri, yaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan saja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada banyak orang karena masing-masing membenarkan tokoh dan mazhab mereka.

Itu secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antar mazhab yang ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok itu sesuai peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mulai dibagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi, sehingga ahli-ahli ilmu pada zaman itu juga mulai mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didukung masing-masing.

Era Ketiga

Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiahh, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada saat itu juga, yaitu pada zaman-zaman ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mulai mengalami keruntuhan dan kemundurannya berbanding balik dengan negara-negara non-muslim.
Banyak faktor yang mendukung keruntuhan umat Islam pada saat itu, antaranya ialah:
1. Terlalu gembira dengan kejayaan yang telah dicapai,
2. Terlalu banyak hiburan duniawi hingga lupa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama atas tuntutan reputasi, jabatan, gaji, dan hal-hal duniawi yang lain.
Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubungan dengan mazhab-mazhab empat ialah wujudnya budaya taqlid, yaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya saja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu mayoritas umat pula sudah mulai
menerima hakikat perwujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti saja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih dari itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi slogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.
Para ulama’ juga tidak terlepas dari belenggu itu. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak sejalan dengan tuntutan mazhab resmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan diasingkandari wilayah atau negri asalnya. Ditambah pula, ke negeri manapun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justru itu para ulama’ sebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekali timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab itu akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, yaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah maupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid itu, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era itu kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul sejalan dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini .
Dengan meluasnya budaya taqlid itu, kefahaman umat Islam tentang agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya tertuju kepada bidang fiqh Islam saja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid itu dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya sendiri-sendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid karena yang sedemikian itu berarti mempermainkan agama.
Tak ada yang tartinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.
Seseorang yang mengaku melakukan ijtihad tidaklah diakui orang lain hasil ijtihadnya dan tak seorang pun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat itu telah menjadi kelompok manusia yang hanya bertaqlid kepada imam empat. Itulah yang dikatakan sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad.
Walaupun beberapa saat setelah itu (zaman ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan materi dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropa , itu tidak akan bertahan lama karena di balik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mulai melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika dia diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.
Beberapa kerajaan Islam saat itu mulai mengimpor dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana itu lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Itu mereka lakukan atas fahaman bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah sebagai apa yang tertulis dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.
Era itu berjalan terus dengan nasib umat Islam yang demikian, yaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.
Era Keempat
Pada zaman ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropa mulai mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropa mulai menjajah dan menaklukan negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka. Suasana itu mulai menyadar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenarnya. Umat Islam, meskipun sudah agak terlambat, mulai menyadari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.
Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.
Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan untuk umat Islam. Hubungan dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.
Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan itu terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama itu. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak.

Zaman ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bagian dunia Islam untuk menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan , kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.
Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.
Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan sendiri-sendiri , objektifnya tetap sama yaitu memajukan Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.
Mereka menekankan umat Islam untuk bangkit maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua bidang ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu duniawi karena memang pada asalnya kedua ilmu itu adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi itu saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah karena kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.
Usaha pembangunan umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku itu ditulis. Tokoh-tokoh agama di dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mulai diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dia njurkan tanpa henti-henti.
Akan tetapi usaha yang dilakukan itu masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau yang menentang terus ijtihadia h sezaman begitu . Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu fanatik kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan itu. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasanya Islam itu, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama pribadi yang dia malkan di rumah saja oleh barang siapa yang mengingitu nya. Golongan-golongan sebegitu lah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebegitu lah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.
Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Memang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rasyidin tidak wujud mazhab-mazhab Islam. Hanya karena sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, berikut diuraikan faktor-faktor penyebab untuk munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:

• Pola pemerintahan Umayyah yang tidak akur dan patuh kepada petunjuk para ulama’ yang wujud saat itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, dia ncam atau ditangkap. Itu menyebabkan ulama’-ulama’ era itu menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal itu menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam setiap persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyah.

• Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh karena Kerajaan Umayyah tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha itu jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara sendirian.

• Tidak wujud setiap sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman itu untuk membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh karena itu para ulama’ era itu terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadits yang diketahuinya.

• Dalam suasana itu timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cakap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mulai tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan banyak orang mulai bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.

• Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasiah melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era itu juga kehandalan beberapa tokoh pribadi tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘i di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka diistilahkan mazhab dan dari situlah bermulainya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘i dan Hanbali.

• Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasiah. Pemerintah-pemerintah Abbasiah melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gubernur atau mufti untuk wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Itu menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak suka kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.

• Menyadari wujudnya perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai menganjurkan acara perdebatan antara tokoh mazhab. Perbuatan itu menyebabkan persaingan dan perselisihan antar mazhab mulai memanas dan memuncak.

• Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiah, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman lahir juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka masing-masing dan mengangkat sebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan itu menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.

• Mulai masa itu umat Islam dan negara mereka mulai dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.

• Mulai zaman pertengahan hingga masa kini , umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu saja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.

Jika kita benar-benar menganalisa faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam itu, kita akan dapati dia wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-situ semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya dia tidak hilang dimakan masa, supaya umat setelah mereka dapat merujuknya.

Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab empat untuk membelahkan umat itu kepada empat kumpulan. Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi tertuju kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati banyak orang tanpa persetujuan mereka.

Oleh yang demikian kita tidak boleh memandang sebelah mata dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam itu. Malah jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab itulah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab itu boleh dirumuskan sebagai:

• Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama dari dicemari faktor-faktor politik.

• Berusaha menghidupkan ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.

• Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.


Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja.
Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.

Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sampai hari ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul Rahman:

Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal, yaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan jasa baik yang tidak tandingnya dalam bidang fiqh Islami.

Tiadalah seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain maupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya.

Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini . Insya-Allah di bagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab empat itu dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.







sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=263195737080591&set=a.227788947287937.57772.142545949145571&type=1&theater


Selasa, 07 Juni 2011

BERMADZAB SIAPA TAKUT?





          Bermadzab adalah suatu keniscaya`an. Boleh tidak bermadzab' asal mampu memahahami ayat Al Qur`an  dan hadits. sementara kaum awam sudah selayaknya ber-taqlid, meski tetap ada keluwesan dalam bermadzab.




Suatu ketika Imam safi`i menuaikan sholat subuh di kompleks Imam Hanafi. ketika bangkit bangkit dari ruku (sa`at itidal) di raka`at kedua, beliau tidak membaca do`a Qunut. Padahal, dalam pandangannya, Qunut dalam sholat subuh adalah sunnah muakkadah (sunnah yang di kuatkan) dan di amalkan hingga kini oleh para penganut Madzab Safi`i.
       Ketika murid di tanya oleh murid-muridnya, beliau mengatakan, beliau melakukan demi menghormati Imam Hanafi - yang tidak menganjurkando`a Qunut dalam sholat subuh.
Demikianlah penghormatan Imam Safi`i kepada Imam Hanafi, padahal mereka tidak pernah bertemu, Sebab Imam Safi`i lahir pada tahun 150 H,Pada ketika Imam Hanafi wafat.

Dalam  Koridor Tasamuh
     Sejak berabad-abad ketika kaum muslimin menganut madzab yang berdeda-beda, hubungan para tokoh madzab tetap dalam koridor tasamuh alias toleransi. Dan hal itu pula yang di teladani oleh para pengikut mereka di perbagai belahan dunia islam, termasuk Indosia.
    Di lain pihak, di tingkat awam terkadang terjadi gesekan-gesekan berskala ringan dalam hal khilafiah alias beda pendapat menyankut perbeda`an pendapat menyankut cabang masalah, meskipun hal itu bukanlah gambaran yang dominan atau kecenderungan mainstream.
    tapi, dalam beberapa abad terakhir memang pernah muncul ulama-ulama yang pernah menggugat cara beragama dengan bermadzab. Di antaranya Shyaikh khajan di dalam kitab  Madzahib al-Bar`ah (Apakah seorang muslim harus harus mengikuti Madzab dari Madzab yang empat) sebagaimana di sebut dalam buku argumentasi Ulama Syafi`iyyah, karya H Mujiburrahman.
    Jadi, persoa`alan yang muncul kemudian bukan antara mereka yang berbeda Madzab, melainkan antara  mereka yang bermadzab dan yang menolak Madzab. Dan mereka yang menolak bermadzab mengatakan, semua madzab adalah bid`ah yang di ada-adakan dan bukan bagian dari Islam.

     Benarkah demikian? Apakah para ulama besar semisal Al-Ghozali, An-Nawawi, Ar-Rafi`i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Haitami, Imam As-Suyuthi (dan banyak lagi lainya) telah melakukan bid`ah karena beliau-beliau berpegang pada madzab Syafi`i? Begitu pula, salahkah para ulama besar yang berpegang pada madzab lainya?
     Dari sudut kata, Madzab berarti "jalan, aliran, pendapat, ajaran, atau dokrin". Sedangkan menurut istilah, Secara umum, Madzab berarti "metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam". Pada dasarnya, bermadzab adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang di yakini mempunyai kemampuan dalam berijtihad.

Hukum-hukum sederhana
    Sedangkan mereka yang menolak bermadzab, dan mengharuskan setiap muslim harus  mengambil dalil dari Al-Qur'an dan hadits, mengemukakan argumen bahwa islam tak lebih dari hukum-hukum sederhana yang mudah di mengerti oleh orang arab atau muslim dimanapun juga. mereka antara lain berdalil dengan hadits Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makna Islam, Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan menyebutkan rukun Islam yang lima. tak lebih dari itu.
    Dalil mereka yang lain ialah hadits tentan seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata,"Wahai Rasulullah, tunjukan kepadaku satu perbuatan yang, apa bila aku kerja'kan, aku akan masuk surga."
Rasulullah SAW bersabda,"Bersaksilah bahwa tidak Tuhan selain Allah... (sampai akhir hadits)."
   Seandainya benar hukum-hukum Islam terbatas, niscaya kitab-kitab hadits yang shahih dan musnad-musnad tidakdi penuhi oleh ribuan hadits mengungkap berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.
penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang tata cara melaksanakan rukun-rukun tersebut.
Dan sesugguhnya hukum Islam tidaklah sesederhana itu. Memang, pada masa awal Islam, permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum masih sedikit. Sebab kala itu, daerah penyebaran Islam belum terlalu luas dan kaum muslimin maih sedikit. Belakangan, problem ini problem bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah penyebaran Islam dan bayaknya parkara yang tidak ada sebelumnya yng hukumnya segera di pecahkan berdasarkan sumber-sumber Islam.
    Sejak zaman sabhabat dan Ulama tabi'in, Orang-orang awam selalu bertanya mengenai masalah hukum agama kepada para ulama mujtahid. dan para ulama tidak menentang fatwa yang disampekan dengan cara demikian. Kenyata'an ini dapat di pandang sebagai jimak (kesepakatan) di antara mereka.
    Realitas kehidupan keagama'an umat Islam di Hijaz (Makah Medinah dan sekitarnya) pada zaman sahabatmenunjukan tumbuhnnya Madzab yang berbeda-beda.
Masyarakat Islam Hijaz, dalam waktu itu cukup lama, Mengikuti fatwa atau madzab Ibnu Mas'ud. sedangkan di masa tabi'in , masyarakat Irak dan sekitarnya mengikuti fatwa ulama seperti Al-Qamah, An-nakha'i, Masruq Al-Hamdani, Ibnu Zubair, dan Ibrahim An-nakha'i.
    Sementara itu kaum muslimin di Hijaz bermadzhab kepada Sa'id bin Al-Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Bahkan, Atha bin Rabah dan Mujahid pernah secara resmi di tetapkan oleh khalifah pada masanya sebagai mufti di makkah, dan Masarakat Islam di perintahkan untuk mengikuti fatwa mereka.

Analogi Hukum Islam

    Demikian pula pada masa imam madzab yang empat (Imam Abu Anifah, Imam Malik,Imam Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi', dan Imam Ibnu Hambal). Apa lagi di kala itu ijtihaj sudah memasuki era metologi istinbath (penyimpulan hukum berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist), sudah merumuska parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas shahih dan qiyas batil. Qiyas adalah analogi dalam fiqih atau hukum Islam.
    Ciri lain dari masa itu adalah ijtihad yang telah mencakup seluruh aspek hukum amaliah, dan telah di bukukan. Dan semua itu menunjang kelestarian madzab yang empat. Melintasi batas wilayah  dan menembus perjalanan waktu, hingga kini. Madzab Syafi'i, misalnya, Sejak ratusan tahun silam di anut oleh sebagian besar kaum muslimin di Asia tenggara, termasuk Indonesia, Di samping Mesir, Irak, Yaman dan banyak lagi lainnya. 
    Jadi, Madzab-madzab fiqih di dunia Islam sesungguhnya ad dari seribu tahum silam. Munculnya berbagai madzab tak dapat di pisahkan dari kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan ijtihad, yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzab.
    Rasulullah SAW telah mengutus para sahabat yang memiliki kemampuan  menghafal, memahami, dan menyimpulkan suatu hukum, ke beberapa kabilah atau negeri, dan menguasai mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Mereka juga bersepakat akan berijtihad manakala menghadapi kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadits. Rasulullah SAW pun menyetujui kesepakatan. 
    Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Syu'bah, ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Beliau bersabda, 
                             "Apa yang akan kamu  perbuat jika menghadapi suatu perkara?,

Muadz menjawab,
                             "Saya akan memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah"
 
Rasulullah SAW kembali bertanya,
                             "Jika tidak ada dalam Kitabullah?"

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah".

Rasulullah SAW bertanya lagi,
                             "Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?,

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melebihkannya".

Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dada Mu'adz dan bersabda,
                             "Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan utusan  Rasul-Nya sesuai dengan
                              apa yang di ridhai olehnya (Rasulullah)".

     Ketika Rasulullah SAW wafat, dasar-dasar syari'ah yang fundamental dan umum telah diletakan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat lebih banyak melakukan penerapan (tathbiq) terhadap hukum-hukum syari'ah tersebut. Jika ada suatu hal yang belum di ketahui ketetapan hukumnya, atau di perselisihkan di antara mereka, di lakukan musyawarah atau dialog terbuka, untuk mencapai kesepakatan.


Kesepakatan para sahabat


     Apa yang di ceritakan oleh Maimun bin Marhan  berikut ini contohnya. "Apa bila menghadapi masalah hukum, Abu Bakar Ash-Shiddiq mempelajarinya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Apabila di sana di temukan dalil yang dapat di jadikan dasar, ia putuskan hukumnya dengan dalil tersebut. Tapi, jika di temukan, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah, ia bertanya kepada para sahabat yang lain, 'Apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah SAW mengenai masalah ini?, Apa bila mereka memberi kesaksian bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum tentang masalah tersebut dengan cara tertentu, ia mengikuti keputusan tersebut. Apabila tidak ada yang memberikan kesaksian apa-apa, ia mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah. Apabila mereka dapat mengambil kesepakatan, ia memutuskan memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan para tokoh sahabat tersebut (ijma' ash-shahabah).
    Cara demikian juga di gunakan olehUmar bin Khathab. Setiap kali hendak menetapkan hukum, ia selalu bertanya kepada para sahabat, 'Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menetapkan hukum masalalah itu?, 
Apabila di jawab, Pernah begini atau begitu', Umar mengikuti ketetapan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Pada akhir masa Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah (berarti masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in), Keilmuan Islam makin meluas dan lebih kentara kemandirianya, seperti terpisahnya ilmu fiqih dan ilmu kalam, mumculnya ilmu tasawuf, makin maraknya ilmu hadits dan tafsir.
    Kala itu para ulama fiqih, yang di pandang mempunyai otoritas keilmuan, membahas masalah syariah atau hukum islam yang kemudian terbagi dalam dua aliran.
Pertama, aliran pakar hadits (ahl al hadits) yang literalis, yakni sangat terkait dengan teks dalil naqli, yang di kuasai guru ke murid secara langsung dari masa ke masa.  
Kedua, aliran rasionalis (ahl al-ra'yi), yang lebih rasional dan substansialis (orentasi pada hakikat masalah), banyak yang menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempertimbangkan realitas di tengah masyarakat.
    Aliran pertama berpusat di beberapa perguruan Islam di Hijaz, terutama di Madinah. Di antara tokoh utama adalah Imam Malik bin Anas dan murid-muridnya. Sedangkan aliran kedua berpusat di beberap perguruan Islam di Irak. khususnya dio Khufaf. Di antara tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifaf. Kelompok Hijaz merasa unggul dari kelompok Irak dalam penguasa'an hadits. mengingat jumlah sahabat yang bermukim di Hijaz jauh lebih banyak di banding yang berdomisili di Irak.
     Aliran ahl al-ra,yi sebenarnya di pelopori oleh Ibnu Mas'ud ketika menetap di Irak. Pengguna'an nalar yang di lakukannya merupakan pengaruh khalifaf  Umar bin Khaththab, yang di kaguminya.Khalifaf Umar memang banyak menggunakan peran nalar dalam berijtihad. Bukan hanya dalam masalah yang tak ada dalilnya, tapi juga dalam masalah tertentu yang dalilnya perlu di tafsir ulang. Sebab, menurutnya, dalil tersebut terkait dengan waktu, tempat, dan keada'an tertentu.
    Misalnya, dalam hal Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang perlu di hibur hatinya), yang dalam Al-Qur'an yang termasuk kelompok yang berhak menerima bagian Zakat. Tapi dalam suatu kasus, para muallaf tidak di beri bagian Zakat oleh khalifaf Umar. Sebab, disamping mereka adalah orang kaya., kaum muslimin kala itu tidak perlu lagi menghibur mereka, karena konteks sosial yang hadapi tidak sama dengan keada'an pad waktu nash dalam Al-Qur'an tersebut di turunkan.


Harus Diam Saja?

    Setiap muslim, baik yang bermadzhab maupun tidak, tentu meyakini bahwa dasar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Tapi, yang jadi masalah, tidak setiap orang memiliki kemampuan memahami Al-Qu'an dan Hadits. Jangankan orang yang tidak menguasai bahasa Arab, Orang yang benar-benar menguasai bahasa Arab pun belum tentu dapat memahami makna dan maksud ayat Al-Qur'an dan Hadits tersebut.
     Mengapa? karena ada ayat Al-Qur'an dan Hadits yang maksudnya jelas sehingga tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk memahaminya, tapi kebanyakan membutuhkan penguasa'an berbagai ilmu lain untuk bisa memahaminya. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki persyaratan itu? Haruskah ia diam saja tanpa perlu melaksanakan ayat Al-Qur'an dan Hadits., atau bertanya dan mengikuti para ulama yang mampu memahaminya? Tentulah pilihan kedua yang di ambil, dan memang itulah yang di perintah dalam agama. Banyak dalil yang menunjukan wajibnya bertaqlid (mengikuti) bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad. Antara lain ayat 7 surah Al-Anbiya,
         "Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui."
Para ulama sepakat, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil agar mengikuti orang-orang yang mengetahui. Dan para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada orang yang mengetahui.
Dalil kedua adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa sahabat Nabi SAW berbeda-beda dalam tingkat keilmuanya dan tidak semua mampu memberi fatwa. Para sahabat terbagi dalam dua golongan: Sahabat yang termasuk mufti, yang mampu berijtihad (minoritas), dan para sahabat yang termasuk mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaqlid (mayoritas).
Dalil lain mengenai kewajiban bertaqlid adalah logika, sebagaimana yang di katakan oleh Asy-Syathibi, "Fatwa para mujtahid bagi orang awam adalah sebagaimana dalil syar'i bagi para mujtahid, bagi orang yang ber taqlid, ada atau tidak adanya dalil sama saja, karena tidak mampu mengambil pengertian dari dalil. maka masalah meniliti dalil dan melakukan istinbhat (penyimpulan hukum) bukan urusan mereka, dan mereka tidak di perkenankan melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:


                        "maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"

Rabu, 04 Mei 2011

Biografi Al Imam An-Nawawi Seorang Alim Penasehat

Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan‘al- Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar- Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu
Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy- Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al- Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita,
“Pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya;
ke dua, pelajaran terhadap kitab‘al- Wasith’,
ke tiga, terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’,
ke empat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’,
ke lima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’,
ke enam, terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu,
ke tujuh, terhadap kitab‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa),
ke delapan, di dalam ilmu Sharaf,
ke sembilan, di dalam ilmu Ushul Fiqih,
ke sepuluh, terkadang ter- hadap kitab‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy,
ke sebelas, di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’,
ke duabelas, di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat- pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah:
Syarh Shahih Muslim , al-Majmu Syarh al- Muhadzdzab , Riyadl ash- Shalihin , al-Adzkar , Tahdzib al-Asma wa al-Lughat al- Arba in an-Nawawiyyah , Rawdlah ath-Thalibin dan al- Minhaj fi al-Fiqh .
Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku biografi (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an- Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup zuhud , teladan di dalam sifat wara serta tokoh tanpa tanding di dalam menasehati para penguasa dan beramar ma ruf nahi munkar .
zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
wara
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar- Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu. Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam. Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh- Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun- kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun- kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan. Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al- Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka!!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
wafat
Pada tahun 676 H, Imam an- Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al- Qadly,‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin. (Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy). sumber: kisahkayahikmah.wordpress.com/2010/01/11/al-imam-an-nawawi-seorang-alim-penasehat/

Rabu, 06 April 2011

Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir

  1. Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir
  2. Posted on Mac 10, 2011 by sulaiman

Dalam Al-Quran diceritakan bahawa konsep tegur-menegur ini sebenarnya telah wujud semenjak zaman Nabi Musa a.s. lagi. Nabi Musa ingin berguru dengan Nabi Khaidir untuk mendapatkan ilmu laduni iaitu
ilmu yang diperolehi tanpa dipelajari. Nabi Khaidir memberikan syarat supaya Nabi Musa bersabar dan jangan bertanya tentang apa yang dilakukannya. Namun Nabi Musa tidak dapat menahan daripada
menegur kesalahan yang dilihatnya kerana ia adalah sifat tabii para Rasul. Adakala apa yang dilihat dimata ada yang tersirat disebaliknya. Apa yang dilakukan Nabi Khaidir nampak bercanggah disisi syariat. Nabi
Musa tidak dapat menahan bila melihat kemungkaran, sedangkan apa yang berlaku disebaliknya hanya Allah dan Nabi Khaidir sahaja yang tahu.

Al-Kahfi [65] Lalu mereka dapati seorang dari hamba-hamba Kami yang telah kami kurniakan kepadanya rahmat dari Kami dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu; dari sisi Kami. Al-Kahfi [66] Nabi Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutmu, dengan syarat engkau mengajarku dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, ilmu yang menjadi petunjuk bagiku?

Al-Kahfi[67] Dia menjawab: Sesungguhnya engkau (wahai Musa), tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku.

Al-Kahfi [68] Dan bagaimana engkau akan sabar terhadap perkara yang engkau tidak mengetahuinya secara meliputi?

Al-Kahfi [69] Nabi Musa berkata: Engkau akan dapati aku, Insya Allah: Orang yang sabar; dan
aku tidak akan membantah sebarang perintahmu.

Al-Kahfi [70] Dia menjawab: Sekiranya engkau mengikutku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku akan sesuatupun sehingga aku ceritakan halnya kepadamu.
Kes Pertama: Membocorkan Perahu

Al-Kahfi [71] Lalu berjalanlah keduanya sehingga apabila mereka naik ke sebuah perahu, dia membocorkannya. Nabi Musa berkata: Patutkah engkau membocorkannya sedang akibat perbuatan itu menenggelamkan penumpang-penumpangnya?
 Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perkara yang besar.

Al-Kahfi [72] Dia menjawab: Bukankah aku telah katakan, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [73] Nabi Musa berkata: Janganlah engkau marah akan daku disebabkan aku lupa (akan syaratmu) dan janganlah engkau memberati daku dengan sebarang kesukaran dalam urusanku (menuntut ilmu).
Kes Kedua: Membunuh Seorang Pemuda

Al-Kahfi [74] Kemudian keduanya berjalan lagi sehingga apabila mereka bertemu dengan seorang pemuda lalu dia membunuhnya. Nabi Musa berkata Patutkah engkau membunuh satu jiwa yang bersih, yang tidak berdosa membunuh orang? Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perbuatan yang mungkar!

Al-Kahfi [75] Dia menjawab: Bukankah, aku telah katakan kepadamu, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [76] Nabi Musa berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sebarang perkara sesudah ini, maka janganlah engkau jadikan daku sahabatmu lagi; sesungguhnya engkau telah cukup mendapat alasan-alasan berbuat demikian disebabkan pertanyaan-pertanyaan dan bantahanku.

Kisah Ketiga: Membina Tembok

Al-Kahfi [77] Kemudian keduanya berjalan lagi, sehingga apabila mereka sampai kepada penduduk sebuah bandar, mereka meminta makan kepada orang-orang di situ, lalu orang- orang itu enggan menjamu mereka. Kemudian mereka dapati di situ sebuah tembok yang hendak runtuh, lalu dia membinanya. Nabi Musa
berkata: Jika engkau mahu, tentulah engkau berhak mengambil upah mengenainya!

Al-Kahfi [78] Dia menjawab: Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.
Yang Tersirat

Al-Kahfi [79] Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang- orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

Al-Kahfi [80] Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa dia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

Al-Kahfi [81] Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa dan lebih mesra kasih sayangnya.

Al-Kahfi [82] Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu dan di bawahnya ada harta terpendam kepuyaan mereka dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka
Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka) dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri.
Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya





http:// nasbunnuraini.wordpress.com

Jumat, 18 Februari 2011

Pembenci RasulullahTerpanggang Di atasQubbah Khadlra (QubahHijau Makam Rasulullah)



Terjemah:
Dikutip dari Syekh az-Zabidi: “Para musuh Rasulullah setelah mereka selesai menghancurkan makam-makam mulia di komplek pemakaman al Baqi ’; mereka pindah ke Qubah Rasulullah untuk
menghancurkannya. Salah seorang dari mereka lalu naik ke puncak Qubah untuk mulai menghancurkannya, tapi kemudian Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut yang dengan hanya satu kali hantaman saja orang tersebut langsung mati hingga -raganya- menempel di atas Qubah mulia itu. Setelah itu tidak ada seorang pun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut dari atas Qubah; selamanya. Lalu ada salah seorang yang sangat saleh dan bertakwa mimpi
diberitahukan oleh Rasulullah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut. Dari sini kemudian orang tersebut “ dikuburkan” ditempatnya (di atas Qubah; dengan
ditutupkan sesuatu di atasnya) supaya menjadi pelajaran ”. foto tahun 1427 H.


Selain Masjid Nabawi, tempat bersejarah dan penuh berkah lainnya di kota Madinah adalah kompleks pemakaman Baqi. Di tempat itulah dimakamkan para imam ahlulbait, keluarga nabi, dan juga para sahabat termasuk kalangan syuhada. Dahulu, tempat tersebut cukup rapi dengan bangunan dan kubah tempat orang berkumpul untuk berziarah. Sampai akhirnya, kelompok Wahabi menguasai Jazirah Arab. Secara bertahap dan dengan alasan yang rapuh, pada hari Rabu 8 Syawal 1345 H bertepatan dengan 21 April 1925, pemakaman Baqi dihancurkan secara total oleh Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia juga menghancurkan makam manusia suci di Jannatul Mualla (Makkah) di mana ibunda Nabi Muhammad s.a.w.w (Siti Aminah as.), istri Nabi, kakek dan
leluhur Nabi dikuburkan.

                                   (Baca: Makam Keluarga dan Sahabat Nabi Dihancurkan)

Pemakaman Baqi tahun 1903

Ada satu bangunan berkubah yang belum dihancurkan: Kubah Hijau Nabi. Ada sebuah kisah tentang usaha penghancuran kubah Masjid Nabawi yang layak diambil hikmahnya oleh kita. Inilah sebuah mukjizat yang telah terjadi sekitar 90 tahun yang lalu yang disampaikan oleh Syekh Az-Zubaidi. Seseorang berusaha untuk menghancurkan Kubah Masjid Nabawi di mana di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad saw. Namun, ketika orang itu memanjat kubah dan memulai menghancurkannya, tiba- tiba sebuah kilat menyambarnya dan ia tewas seketika. Tidak ada seorangpun yang mampu memindahkan mayat tersebut dari atas kubah. Dikisahkan pula, ada orang saleh dari Madinah yang dalam mimpinya mendengar sebuah suara yang mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengangkat mayat tersebut dari kubah. Hal itu sebagai sebuah peringatan dan pelajaran bagi mereka yang berpikir dan berusaha untuk menghancurkannya di masa mendatang! Akhirnya, mayat tersebut tetap berada di atas kubah dan ditutupi dengan kotak hijau agar tidak terlihat oleh orang- orang. Wallahualam.





Catatan: You don’t have to believe this article. Anda bisa mencari gambar Kubah Hijau yang lain dan menemukan semacam titik berwarna gelap karena kotak tersebut telah di ikat dengan tali. Informasi ini pertama kali saya dapat dari Ust. Abbas Alhabsyi. Jika ingin berbagai artikel ini jangan lupa sertakan sumbernya. Shallû ‘ala an-nabî wa âlih…

Selasa, 15 Februari 2011

Jangan Sembunyikan Yang Hak

“Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. ” (QS. Al Baqarah: 42)
Ayat di atas memberikan kaidah penting dalam cara ke Islaman yang kaffah (sempurna) da kholish (murni).
Pada ungkapan WALAA TAL BISUUL HAQQA BILBAATHIL (dan janganlah kamu campur_adukkan yang hak dengan yang bathil mengandung petunjuk agar kita semua kaum muslimin menghindari bid ’ah dholaalah (kreasi yang sesat) dalam beragama.
Sehingga dengan demikian, kita melaksanakan Islam secara lurus dan murni serta terhindar dari kesesatan.
Pencampuran Islam dengan kesesatan ini di dalam istilah Islam dinamakan bid ’ah. Nah, dalam kaitan dengan bid ’ah, maka kata bid’ah ini secara bahasa berasal dari kata bada ’a yang berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.
Dari sudut bahasa, maka seluruh kreasi manusia, baik dalam lingkup keagamaan ataupun dalam lingkup keduniawian dinamakan bid’ah. Dari sudut pandang bahasa inilah, maka Amirul Mukminin Umar bin Khatthab RA mengomentari shalat tarawih berjama ’ah,

“sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Riwayat Bukhari dan Malik).

Dari sudut pandang bahasa ini pulalah, maka Imam Asy Syafi ’i rahimahullah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah ghoiru madzmumah (kreasi yang tidak tercela), yaitu kreasi yang tidak menyalahi Al Qur ’an dan Sunnah dan bid’ah dholaalah (kreasi sesat), yaitu kreasi yang menyalahi (Manaqib Al Imam Asy Syafi ’I juz I hal. 469). Dari sudut pandang ini pulalah, maka para huffadz, seperti Al Hafidz Ibnu Abdil Barr, Al Hafidz Ibnul Atsir, Al Hafidz Ibnu Hajar dan lain-lain membagi bid’ah menjadi dua, yaitu kreasi baik (bid ’ah hasanah) dan kreasi tercela (bid’ah sayyi’ah). Yang menjadi masalah adalah pengertian bid ’ah secara syar’i.

Ketika Rasulullah SAW bersabda: ”Setiap bid’ah sesat.” (HR. Muslim),

maka apakah maksud bid ’ah dari ungkapan disini?
Ada perbedaan di kalangan manusia dalam memaknai bid ’ah secara syar’i yang dimaksudkan dalam hadits di atas.

       Kelompok pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah adalah semua kreasi baru tanpa memperdulikan aspek-aspek duniawi atau keagamaan. Kelompok ini diwakili oleh salah seorang tokoh Saudi, Al  Utsaimin (Al Ibda’ fi kamalisy syar’i hal. 13).
Jika kita mengikuti kaidah kelompok pertama ini, maka seluruh kreasi manusia yang tidak ada di masa Rasulullah SAW adalah sesat dan masuk neraka. Sehingga dengan demikian, manusia tidak boleh menggunakan misalnya telephon, mobil, hp, internet dan lain-lain.

       Kelompok kedua adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah semua amalan yang tidak pernah dilakukan, diperintahkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam bidang keagamaan. Pengertian ini seringkali dikemukakan oleh pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (Wahabi). Berdasarkan pengertian kelompok kedua ini, maka semua kreasi doa (seperti hizb Nawawi, Hizb Barqi), semua kreasi shalawat (seperti Shalawat Nariyah, Munjiyat, Shalawat Barzanji, termasuk shalawat Wahidiyah, dll) adalah bid ’ah, sesat dan tertolak.
     
        Kelompok ketiga adalah mereka yang mengatakan bahwa bid ’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’. Maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaksudkan dalam hadits di atas. Di antara penganut tafsir ini adalah Al Imam Asy Syafi ’i rahimahullah (Manaqib Al Imam Asy Syafi ’i juz I hal 469) dan para hufadz hadits.
Dari ketiga pendapat tersebut maka jika kita memilih pendapat pertama, nampaknyamustahil dan hal ini bertentangan dengan kenyataan dalam sejarah.

Sesungguhnya para sahabat Rasulullah SAW banyak melakukan hal-hal baru yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Seperti penggunaan nama Amirul Mukminin pada Khalifah, pelaksanaan tarawih berjama ’ah secara terus menerus (pada masa Rasulullah SAW pernah berjama ’ah tapi kemudian sendiri-sendiri), pembukuan Al Qur ’an dan lain-lain.
Jika kita mengikuti kelompok kedua, maka kita pun akan menemui beberapa kontradiksi dengan kenyataan pada masa Rasulullah SAW maupun para sahabat. Jika kita mengatakan bahwa bila sesuatu itu baik, pastilah Rasulullah SAW akan paling dahulu melakukanya. Namun ternyata hal ini tidak sesuai dengan realita dalam kehidupan para sahabat dan tabi ’in. berikut ini beberapa contoh:

1. Dalam kasus pembukuan Al Qur ’an menjadi satu buku, ini baru dilakukan pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA.

2. Penunggalan kondifkasi model Al Qur ’an baru dilakukan dimasa Amirul Mukminin Utsman RA.

3. Dalam kasus pembacaan qunut, Umar bin Khaththab RA memilki doa qunut tersendiri yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW (Al Adzkar An Nawawi hal 49).

4. Dalam masalah doa, seorang tabi’in Imam Ali Zainal bin Husain bin Ali bin Abi Thalib RA mengarang rangkaian doa yang kemudian diberi nama Ash Shahifah As Sajadiyyah.

Menurut saya, kelompok ketiga yang mengatakan bahwa bid ’ah yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah segala sesuatu hal baru yang menyelisihi atau tidak bisa dikembalikan kepada Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’. Tetapi jika hal baru tersebut masih bisa dikembalikan kepada dasar Al Qur ’an, Sunnah atau Ijma’, maka hal tersebut bukan bid’ah dhalaalah (bid’ah sesat) yang dimaskudkan dalam hadits Rasulullah SAW di atas: KULLU BID ’ATTHUNN DHALAALAH (setiap bid ’ah adalah sesat). Ini lebih sesuai dengan realita dalam perjalanan sejarah Islam maupun kandungan hadits.

” Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam perkara kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia tertolak. ” (HR. Abu Dawud), justru menguatkan bolehnya berkreasi menyusun doa, shalawat dan kalimat-kalimat baik lainya. Karena hadits ini memiliki beberapa kandungan makna (mafhum) sebagai berikut:

     1. Bahwa dalam hadits tersebut, ada perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus).

     2. Perkara ini tertolak perkara baru dalam urusan agama yang tidak berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar baik secara umum maupun khusus ) ini tertolak.
Point 1 dan 2 ini disebut mafhum manthuq pemahaman eksplisit).

      3. Secara terisrat (implisit/ mafhum), ketika Rasulullah SAW menyatakan bahwa ada perkara baru dalam agama yang tidak berasal dari agama, hal ini mengisyaratkan adanya perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang tidak memiliki dasar dari agama, baik secara umum maupun khusus).
      Berbeda jika redaksi hadits itu berbunyi:  “ Barang siapa yang 7membuat perkara baru dalam perkara ini, maka ia tertolak. ” Jika redaksi hadits demikian, maka seluruh kreasi baru secara mutlak ditolak. Tapi nyatanya dalam hadits di atas ungkapan, ”… hal-hal baru dalam perkara kami” masih
disifati dengan ungkapan” yang tidak berasal darinya”. Sehingga dengan demikian, ungkapan ini mengharuskan adanya hal-hal baru yang berasal dari agama.

     4. Perkara pada poin no. 3, yaitu perkara baru dalam urusan agama yang berasal dari agama (perkara yang memiliki dasar dari agama baik secara umum maupun khusus) tersebut secara
otomatis tidak tertolak oleh cakupan hadits di atas. Karena penolakan hadits hanya pada perkara baru yang tidak ada dasarnya dari agama. Poin 3 ini disebut dengan mafhum mukhalafah (pemahaman implisit). Inilah yang kemudian mendasari munculnya berbagai redaksi doa, shalawat atau bacaan-bacaan lain dari para sahabat maupun tabi ’in.

Karena itulah, sangat bijaksana ketika Al Imam Asy Syafi ’i rahimahullah berkata,: ”Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara ’ bukan termasuk bid’ah meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena udzur yang terjadi pada saat itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali belum diketahui oleh mereka. ” (Itqaan Shin’ah fi tahqiiqi ma’na bid’ah hal. 5).

Pemahaman ini pulalah yang kemudian memunculkan istilah bahasa (bukan istilah syara’) bid’ah hasanah. Istilah bid’ah hasanah ini bukan berarti merupakan kontradiksi dari hadits ” kullubid’ah dholaalah”. Karena bid’ah dalam hadits “kullu bid’ah dholaalah” adalah bid’ah syar’i, sedangkan bid’ah hasanah yang diungkapkan oleh para huffadz merujuk pada istilah kebahasaan dengan pengertian ;”Sesuatu yang tidak dilakukan/dicontohkan oleh Rasulullah SAW, namun berada dalam keumuman atau kekhususan sebuah dalil.


Hadits Nabi Saw Yang Menganjurkan Berbuat Bid'ah Hasanah (Yang Baik) Dan Melarang Berbuat Bid'ah Dhalalah (Yang Buruk) !!! (2).
Diantara saudara2ku pengikut syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memberi komentar menyangkut hadits Nabi Saw,
"mAN sANNA fIL iSLAM sUNNATAN hASANATAN ...,wA MAN SANNA FIL iSLAM sUNNATAN sAYYIATAN .."
sebagai berikut :
“Barangsiapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).
Bantahannya :
Pertama : Sesungguhnya makna dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.
Kedua : Rasul yang mengatakan :
“Barangsiapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”
Adalah juga yang mengatakan :
“Semua bid’ah itu adalah sesat.”
Dan tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau saling bertentangan.
Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
Ketiga : Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam mengatakan (barangsiapa membuat sunnah) bukan mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ah). Juga mengatakan (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
Keempat : Tidak satupun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

-------------------------------T A N G G A P A N --------------------------------------

      1). Hadits Man Sanna Fil Islam Sunnatan Hasanatan yg diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut bersifat umum, lafazhnya sangat jelas yaitu

"BARANGSIAPA MERINTIS PERBUATAN BAIK DALAM ISLAM MAKA BAGINYA PAHALA DARI PERBUATAN TERSEBUT, JUGA PAHALA DARI ORANG2 YG MELAKUKAN (MENGIKUTI)-NYA SETELAHNYA TANPA BERKURANG SEDIKITPUN PAHALA MEREKA.

Dan barangsiapa merintis perbuatan buruk dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatan tsb, juga dosa dari orang yg melakukan (mengikuti)-nya setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun."
Inilah petunjuk dari Nabi Saw menyangkut perkara baru alias bid'ah.
Hadits ini secara spesifik menjelaskan bahwa siapa saja yg merintis atau memulai di dalam Agama Islam perbuatan baik akan memperoleh pahala. Merintis perbuatan baik dalam Agama Islam artinya membuat perkara baru alias bid'ah yg baik.
Sebaliknya siapa saja yg merintis atau memulai di dalam Agama Islam perbuatan buruk akan berdosa. Merintis perbuatan buruk dalam Agama Islam artinya membuat perkara baru alias bid'ah yg buruk.
Karena itu kalau hadits ini ditafsirkan sebatas melakukan atau menghidupkan perbuatan yg telah dilakukan atau dicontohkan Nabi Saw seperti bersedekah maka lafazh hadits ini menjadi.

"MAN AHYAA SUNNATAN MIN SUNNATII.. 
( Barangsiapa menghidupkan sunnahku,.." sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amru bin Auf.
Hadits ini lafazh nya sangat berbeda dengan hadits Man Sanna Fil Islam yg diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah.

      2). Penggunaan kata Sanna (Man Sanna) ini juga digunakan Nabi Saw untuk menunjukkan bahwa kata SANNA itu dimaksudkan Nabi Saw sebagai orang yg pertama kali melakukan suatu amalan, bukan mencontoh atau mengikuti amalan yg pernah dilakukan oleh orang lain. Hal ini kita temukan dalam hadits berikut ini : " Tiap-tiap jiwa yang terbunuh dengan penganiayaan.
MAKA PUTRA ADAM YG PERTAMA (QABIL) MENDAPAT BAGIAN DARI DOSA PENUMPAHAN DARAH, KARENA DIALAH ORANG PERTAMA YG MELAKUKAN PEMBUNUHAN [Man Sanna al-Qatl(a)]."
Dalam hadits yg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Mas'ud ini, Nabi Saw menggunakan kata SANNA utk menjelaskan bahwa Qabil adalah orang yg merintis (pertama kali melakukan) pembunuhan. Jadi kata Sanna tidak dapat ditafsirkan sebagai mengikuti atau mencontoh sunnah (perbuatan) Nabi Saw.
Perhatikanlah dengan seksama, Lafazh hadits ini sejalan dan memperkuat maksud hadits " WA MAN SANNA FIL ISLAM SUNNATAN SAYYIATAN......(Dan barangsiapa merintis perbuatan buruk dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatan tsb, juga dosa dari orang yg melakukan (mengikuti)-nya setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun)"

      3). Penggunaan kata SANNA tidak dapat ditafsirkan sebagai melaksanakan amalan yg dicontohkan atau dilakukan Nabi Saw karena akan menimbulkan kontradiksi dengan lafazh hadits "Man SANNA Fil Islam Sunnatan Sayyiatan..(Barangsiapa merintis dalam Islam Sunnah(perbuatan) Nabi yang buruk. Jelas tidak ada seorang muslim pun yg meyakini adanya Sunnah Nabi yg buruk !

      4). Kata MERINTIS (SANNA) yang artinya sebagai membuat perkara baru yg tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh siapapun juga ditegaskan oleh para ahli bahasa.
Imam Azhari dan Az-Zabidi sebagaimana pernah dirujuk oleh ustadz Firanda Andirja berkata : "Setiap orang yang memulai suatu perkara lalu dikerjakan setelahnya oleh orang-orang maka dikatakan dialah yang telah merintisnya" (Tahdziib al-Lughoh, karya al-Azhari, tahqiq Ahmad Abdul Halim, Ad-Daar Al-Mishriyah, 12/306)
Hal ini juga sebagaimana disampaikan oleh Az-Zabidi dalam kitabnya Taajul 'Aruus min Jawahir al-Qoomuus, 35/234, Ibnul Manzhuur dalam kitabnya Lisaanul 'Arob 13/220)

     5). Menafsirkan perkataan Nabi Saw : "KULLA BID'ATIN DHALAALAH.." sebagai semua bid'ah sesat jelas keliru dan sangat-sangat keliru. Anggapan saudaraku itu, seolah2 hadits Kulla Bid'atin Dhalaalah bertentangan dengan hadits MAN SANNA Fil Islam Sunnatan Hasanatan jelas sangat salah.Y Kedua hadits tersebut tidak bertentangan bahkan saling menguatkan. Karena kata KULLA/KULLUN tidak bersifat umum, menyeluruh tanpa ada pengecualian sebagaimana diyakini syaikh Utsaimin. Perkataan Nabi Saw "KULLA BID'ATIN DHALAALAH" yg terjemahannya Setiap bid'ah sesat memiliki pengecualian.

i].. Di dalam al-Qur'an, surat Al Kahfi ayat 78-79 Allah Swt berfirman :
' Khidir berkata : " Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, Aku akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan2 yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang2 miskin yg bekerja dilaut , dan aku bertujuan merusakkan perahu itu karena dihadapan mereka ada seorang penguasa yang merampas setiap perahu [KULLA SAFIINATIN GHASHBA(n)]'
kedua ayat ini menjelaskan bahwa kata KULLA tidak menunjukkan arti umum, menyeluruh, dan tidak boleh ada pengecualian.
Kata KULLA di dalam firman Allah Swt ini menunjukkan bahwa tidak semua perahu (hanya perahu yg baik) akan dirampas sang penguasa. Sedangkan perahu yg rusak tidak akan dirampas. Itulah sebabnya Nabi Khidir merusak perahu milik orang2 miskin agar tidak dirampas perahu milik orang2 miskin itu, yg mana perbuatan tersebut dicela oleh Nabi Musa.
Jadi menurut Allah Swt, kata KULLA tidak bersifat umum, menyeluruh, tanpa pengecualian, dan tidak berarti semua sebagaimana diyakini syaikh Utsaimin.
ii]. Nabi Saw juga bersabda :

"BARANGSIAPA MEMBUAT PERKARA BARU DALAM SYARIAT INI YG TIDAK SESUAI DENGANNYA, MAKA IA TERTOLAK ( Man Ahdatsa fii amrina hadzaa maa laisaminhu fahuwa raddun") [HR. Muslim]

Dengan demikian Nabi Saw memberi petunjuk bahwa membuat perkara baru alias bid'ah yg tidak sesuai syariat akan tertolak, sebaliknya membuat perkara baru alias bid'ah yg sesuai dengan syariat tidak tertolak.
Dengan kata lain kata KULLA/KULLUN menurut Nabi Saw bukan dimaksudkan sebagai menyeluruh, tanpa pengecualian. Bid'ah yg yg tidak sesuai syariat alias bid'ah dhalaalah (buruk) tertolak bahkan dalam hadits lainnya disebutkan berdosa mengerjakannya. Sedangkan Bid'ah yang sesuai syariat alias bid'ah hasanah yg baik tidak tertolak bahkan akan mendapat pahala mengerjakannya.
Jadi kedua hadits tersebut sangat berkaitan dan saling menguatkan.

     6). Mengenai mengapa Nabi Saw tidak menggunakan kata bid'ah di dalam hadits Man Sanna fil Islam Sunnatan Hasanatan/ Sayyiatan itu hanya masalah sinonim atau persamaan kata. Nabi juga menggunakan kata MAN AHDATSA FI AMRINAA sebagai kata persamaan utk menunjukkan perbuatan bid'ah !
Semoga dengan penjelasan ini saudara2ku pengikut syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyadari kekeliruan dan kesalahannya selama ini, yg bertaklid buta kepada fatwa dan perkataan syaikh Utsaimin.


 ”Allahu a’lam