SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB
A. Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”
Sebelum ditinjau dari sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada
baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu arti dari kata “Mazhab” dan
“Imam” itu.
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan”. Dalam
Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari
sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang
bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal
ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah
Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab
Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu
mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa
yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya.
Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab
Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab fiqh pula, sebagaimana yang diterangkan Huzaemah Tahido, berarti:
Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid
dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim
besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah
ataupun lainnya.
Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin
Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal. Pengartian mazhab itu kemudian
beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan
diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sebuah wilayah atau
negara. Dia menjadi sumber rujukan dan pegangan yang dimulyakan sebagai
ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran
asli al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan “Imam” dari sudut bahasa
berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam”
memiliki beberapa maksud sejalan dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin shalat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komunitas orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga
dijadikan sumber belajar dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam
Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka
dijadikan sumber rujukan ilmu, otoritas mereka hanyalah tertuju kepada
apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4. Imam
sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam segitu
hanya khusus untuk Mazhab Syi‘ah. Imam-imam itu bukan saja dijadikan
rujukan syari‘at tetapi juga memiliki otoritas dalam menetapkan sesuatu
yang berkaitan dengan syari‘at tanpa tertuju kepada al-Qur’an dan
al-Sunnah.
B. Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam
Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi’i dan
Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan
Dinasti Abbasiah, yaitu sejak zaman ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan
perkembangannya ada 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rasyidin yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah di mana pada
saat itulah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3.
Pada era keruntuhan Islam, yaitu mulai zaman ke 4H/10M di mana
mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada
umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima
secara mutlak.
4. Era kebangkitan kembali, Islam dan ilmu-ilmunya sama-sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.
Era Pertama
Era itu bermulai sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang
Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di
Era itu sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim
dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an
diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat
menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari
Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yang bartindak sebagai guru. Itu sebagaimana dikabarkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana ) Kami
mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (yaitu
Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan
kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu
kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan
kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu
sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadits.
Hadits beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala,
sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak mengatakan (sesuatu yang
berhubung dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri.
Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadits) tidak
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks
keagamaan juga merupakan salah satu bentuk petunjuk wahyu Allah
Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bartindak sebagai seorang
guru agama yang membetulkan setiap perbuatan umat pada saat itu yang
salah atau yang kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya
akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang
sahabat, Abu Urairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan
aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap yaitu mengelakkan diri
dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah
mencari-cari aku.
Saat aku datang kembali, baginda pun bertanya:
“Ke mana kamu pergi wahai Abu Urairah ?” Aku menjawab: “Wahai
Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub.
Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumber syari‘at
atau fiqh Islam pada era pertama itu hanyalah apa yang bersumber dari
ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada saat itu fiqh Islam
mudah dipelajari dan setiap kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya
seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa
Jalla.
Setelah kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rasyidin yaitu Abu Bakar
al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan
negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telah lengkap dengan
kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah
al-Rasyidin meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, yaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Hanya wujud satu perbedaan yang besar pada saat itu, yaitu wahyu tidak
lagi diturunkan.
Dalam era empat khalifah itu, sempalan-sempalan
Islam sudah mulai meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan
pembukaan itu, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan
dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum itu yang
melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta dan sebagainya. Untuk
mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara
dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh satu jawaban mayoritas yang
paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang mempunyai masalah
kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an),
maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika
tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam
perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengannya. Jika tidak
ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para
sahabat.
Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu
perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan
terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di
hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan jika Abu Bakar masih tidak
menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu,
maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura
lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas
yang satu (semua setuju) yaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan
atas ketentuan hasil ijma' itu.
Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.
Pada saat itu, para sahabat kebanyakan masih berada di sekitar Kota
Madinah. Oleh karena itu tidaklah menjadi kesulitan untuk berbincang
bersama mereka. Faktor itu memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar.
Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman
dan bersatu.
Dalam era itu, tidak wujud setiap mazhab
melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, dia jar oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat
radhiallahu ‘anhum.
Era Kedua
Mulai tahun 41H/661M,
setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam
beralih ke Dinasti Umayyah, satu kerajaan pemerintahan yang
berprinsipkan dinasti yaitu yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyah
tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam.
Mereka hanya memperhatikan kepada soal perluasan wilayah dan kekuasaan
materi.
Dalam era itu banyak pengaruh luar yang berasal dari
Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyah.
Pola pemerintahan mulai bertukar sedikit-banyak ke arah sekular yang
mengasingkan antara agama dan negara. Hiburan-hiburan dan adat-istiadat
baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan
ajaran Islam seperti musik dan tari menari, ahli nujum, penebak nasib
dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari
milik rakyat kepada kegunaan pribadi dan pelbagai pengadaan bea cukai
baru. Pemerintah juga mulai membedakan keutamaan seseorang berdasarkan
bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen golongan di
kalangan rakyat.
Pola pemerintahan Dinasti Umayyah itu digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan adanya Dinasti Umayyah itu, suatu era baru telah bermulai, yaitu
lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah
hingga ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementingkan dan mengutamakan
kekuasaan serta keluasan wilayah walau pada hakikatnya mereka banyak
menghadapi masalah dalam.
Dari segi kenegaraan, boleh dikatakan
Dinasti Umayyah telah sukses melakukan suatu usaha yang amat besar lagi
berat untuk menjaga wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Akan tetapi
jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti itu jelas melambangkan
keruntuhan dan kemerosotan dari Islam yang wujud sebelumnya.
Mereka (Umayyah) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan
perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh
khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan
hal-hal urusan dan perwujudan wilayah dan melihat persoalan agama
sebagai sesuatu yang remeh.
Di kalangan pemerintah Dinasti
Umayyah, hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya
sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau
memegang posisi pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman
itulah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang
benar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan setelah
itu Dinasti Umayyah kembali ke era kegelapan di bawah
pemerintah-pemerintah yang seterusnya.
Para pemerintah Umayyah
tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at
Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat
umumnya. Setiap teguran dari para ulama’ ditepis dan barang siapa yang
berani menentang dihukum diasingkan. Para ulama’ yang masuk istana
adalah ulama yang dipilih khususuntuk menepati hasrat dan tuntutan
pribadi saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah yang demikian
menyebabkan ulama'-ulama' pada saat itu mulai menyisihkan diri dari
istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah
lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih haus ajaran
Islam yang sepenuhnya.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke
daerah-daerah baru Islam itu ialah anak-anak didik didikan para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali
sebagai tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul
ulama' yang senangnya berhujah serta berfatwa melebihi dari kebiasaan.
Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama
sangat tepat lagi menyakinkan.
Justru itu banyak orang mulai
berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” itu. Sering kali juga
berita kehandalan tokoh baru itu tersebar ke daerah-daerah tatangga
menyebabkan penduduk daerah tetangga juga datang beramai-ramai untuk
belajar sama. Itu berlaku di beberapa daerah dan dengan itu wujudlah
suasana belajar fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana
segitu tidaklah dapat dihindari karena tidak wujud medium penyampaian
pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada
daerah-daerah lain. Suasana itu berlanjut sehingga jumlah orang yang
ikut belajar semakin banyak. Sejalan dengan itu, pengaruh tokoh yang
mengajar juga semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam
telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada
kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih
meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati
fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorang an, tidak
lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat
dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorang an itu pula wujud dalam
suasana berkelompok atau kumpulan di sekitar seorang tokohnya dan itu
merupakan noktah pertama kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah
tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa
saat seperti pada musim haji.
Pada permulaian zaman ke 2H/8M, umat
Islam sudah mulai merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti
Umayyah. Suasana itu menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti itu
dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diringkaskan oleh Ensiklopedi Islam
(Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M)
sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif.
Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan
muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan
status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok
Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai
perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang
sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang
salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyah telah
bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak
puas hati itu akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition)
yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.
Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:
Pada pengujung Era Dinasti Umayyah, banyak orang mulai menyadari bahwa
kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai
Islam yang sebenar.
Kesedaran agama di kalangan rakyat,
terutamanya golongan Syi’ah yang selama itu memang tidak menerima
pemerintahan Umayyah - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan
pemerintahan Umayyah. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh
Abbasiah…………
Keruntuhan Dinasti Umayyah menyaksikan kelahiran
Dinasti Abbasiah yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola
pemerintahan Abbasiah dan Umayyah tidaklah sama di mana Dinasti Abbasiah
mulai memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari
sudut keilmuannya. Dalam era itulah keilmuan Islam kembali bangun dan
terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie
rahimahullah menerangkan:
Sebaik saja fiqh Islam memasuki era itu, berjalanlah perkembangan-perkembangann
ya
yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan
ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa itu memasuki
period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era itu mewariskan kepada
para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.
Dalam era
itulah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu
lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era itulah juga lahirlah tokoh-tokoh
fiqh yang terkenal……..
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan itu ialah
mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyah lagi
sebagaimana yang diterangkan sebelum itu. Ketokohan mereka dalam bidang
ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga banyak orang dari segala
pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.
Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M)
dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di
Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas
(179H/796M) di Madinah. Kemudian dari mereka lahir juga tokoh-tokoh lain
yang mana mereka itu pula ialah anak didik untuk tokoh-tokoh di atas.
Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi’i
(204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali
(270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M). [15] Ketokohan
dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas dimulyakan ramai dan gelaran Imam
diberikan kepada mereka.
Setiap dari tokoh-tokoh itu mempunyai
ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai puncak sumber ilmu
pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh itu mengajar berdasarkan
al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka.
Perbedaan itu timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dihindari pada
masa era itu seperti berijtihad secara berseorang an, tidak kesampaian
sesuatu Hadits yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas,
kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya.
Perbedaan-perbedaan itu adalah kecil dan insya-Allah akan diuraikan pada
bagian berikutnya..
Perbedaan-perbedaan itu dikatakan sebagai
pendapat seseorang tokoh yang dihubungkan kepada namanya. Sesuatu
pendapat itulah yang diistilahkan sebagai Mazhab. (A particular school
of thought).
Pada era itu juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagikan
kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang untuk mencapai
kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu
kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.
Selain itu ilmu-ilmu di atas
juga mulai dibukukan secara formal. Antara pembukuan pertama untuk ilmu
fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf (al-Imam Abu Yusuf
Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang
anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama
Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila
(148H/765M), kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk
berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim
(Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa
kewafatannya pada tahun 182H/798M) dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris
al-Shafi’i. Pembukuan dan penulisan kitab hadits yang pertama juga
berlaku pada era itu atas saran Khalifah Harun al-Rashid (khalifah ke-5
bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah
dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu.
Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in
yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun
menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman
beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya.
Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M). kitab hadits pertama yang
diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Setelah
kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan
oleh anak-anak didik mereka. Mereka cenderung mengajar dan menyampaikan
apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab
imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh karena itulah
kita bisa dapati di era itu banyak orang di sekitar Madinah dan Mekah
banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), banyak
orang di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab
Hanafi) dan banyak orang di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat
al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab
semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasiah mengambil dan
mengiktiraf pendapat Abu Hanifah saja sebagai mazhab rasmi dunia Islam
saat itu. Suasana itu menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang
Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan itu menjadi lebih tegang apabila
pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai mencabar dan menganjurkan
perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan pendapat
hanya atas tujuan pribadi dan hiburan istana. Perbuatan
pemerintah-pemerintah Abbasiah itu memburukkan lagi suasana
perkelompokan dan pribadi dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu
Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan itu
menimbulkan suasana persaingan sesama mereka karena apabila salah satu
diantara mereka kalah dalam perdebatan itu, dia bukan hanya kehilangan
gaji uang dari pemerintah tetapi juga kehilangan reputasi dirinya.
Lebih dari itu kehilangan reputasi diri sangat berhubungan dengan
kehilangan reputasi mazhab seseorang itu. Kebenaran atau kebatilan
mazhab seseorang itu menjadi agenda utama dalam debat tersebut.
Hasilnya, suasana persaingan dan perselisihan makin memanas antara
tokoh-tokoh mazhab.
Pada zaman ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam
bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadits
seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam
at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai
(303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka
memperjuangkan seluruh tenaga, waktu dan hidup mereka untuk merantau
ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam masa itu untuk mencari,
meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadits-Hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik.
Hadits-hadits Rasulullah ditapis dan dia nalisa terlebih dahulu dengan
ketat sekali sebelum dia diterima dan diberikan status sahih.
Malangnya pada saat itu, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu
Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal telah meninggal dunia.
Itu sedikit-banyak ada hubungannya dengan kesempurnaan pendapat fiqh
mereka karena ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan
kepada hadits yang lemah atau tidak tepat karena tidak menjumpai hadits
yang khusus sebagai dalil.
Permulaian zaman ke 4H/10M menyaksikan
Dinasti Abbasiah mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah
dalaman serta luaran. Setelah tahun 339H/950M dunia Islam diperintah
oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing
mewakili daerahnya. Pada saat itu ajaran-ajaran fiqh Islam mulai
terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada
zaman ke 4H/10M dan seterusnya mulai terikut secara ketat kepada empat
mazhab itu.
Di pengujung hidupDinasti Abbasiah itu, juga
acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak, sehingga
acara itu memunyai nama sendiri, yaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga
semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan saja
kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada banyak orang karena
masing-masing membenarkan tokoh dan mazhab mereka.
Itu secara
tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya
tembok-tembok pemisah antar mazhab yang ada dari segi ajaran, masyarakat
dan geografi. Tembok itu sesuai peredaran zaman semakin meninggi dan
menebal. Umat Islam mulai dibagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang
mereka ikuti dan pegangi, sehingga ahli-ahli ilmu pada zaman itu juga
mulai mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didukung masing-masing.
Era Ketiga
Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiahh, umat Islam berada dibawah
beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai
kaedah pemerintahan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai
‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan
syari‘at-syari‘at Islam. Pada saat itu juga, yaitu pada zaman-zaman
‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mulai mengalami keruntuhan dan
kemundurannya berbanding balik dengan negara-negara non-muslim.
Banyak faktor yang mendukung keruntuhan umat Islam pada saat itu, antaranya ialah:
1. Terlalu gembira dengan kejayaan yang telah dicapai,
2. Terlalu banyak hiburan duniawi hingga lupa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama atas tuntutan reputasi, jabatan, gaji, dan hal-hal duniawi yang lain.
Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubungan dengan
mazhab-mazhab empat ialah wujudnya budaya taqlid, yaitu perbuatan hanya
mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah
atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbaginya umat Islam kepada
beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab
rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin
kuat. Seseorang yang berada dalam sebuah mazhab hanya dibolehkan
mempelajari atau mengikuti mazhabnya saja tanpa menjengok atau
membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu mayoritas umat pula
sudah mulai
menerima hakikat perwujudan mazhab dan mereka lebih
rela mengikuti saja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih dari itu.
Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi slogan kata
umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi
lebih tebal, tinggi dan kukuh.
Para ulama’ juga tidak terlepas dari
belenggu itu. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak sejalan
dengan tuntutan mazhab resmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan
diasingkandari wilayah atau negri asalnya. Ditambah pula, ke negeri
manapun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab
rasminya. Justru itu para ulama’ sebuah negara tidak mempunyai banyak
pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab
negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya
tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan
ajaran mazhab. Hanya sekali-sekali timbul beberapa ulama’ yang berani
melawan arus kebudayaan mazhab itu akan tetapi mereka menghadapi
tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam
sendiri.
Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka”
ditambah dengan budaya taqlid mazhab, yaitu mengikuti dan mentaati
satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan,
hujah maupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan
wujudnya budaya taqlid itu, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya
berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik.
Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan.
Maka beralihlah fiqh Islam pada era itu kepada sesuatu yang beku lagi
membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut
dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab
persoalan-persoalan baru yang timbul sejalan dengan tuntutan zaman. Fiqh
Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi
diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini .
Dengan meluasnya
budaya taqlid itu, kefahaman umat Islam tentang agama mereka makin
menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib,
haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di
sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab
mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya tertuju kepada
bidang fiqh Islam saja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh
syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat
sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang
sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka
sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid itu dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada
imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya sendiri-sendiri
yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah
taqlid karena yang sedemikian itu berarti mempermainkan agama.
Tak ada yang tartinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha
menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang
mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya
mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.
Seseorang yang mengaku
melakukan ijtihad tidaklah diakui orang lain hasil ijtihadnya dan tak
seorang pun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat itu telah
menjadi kelompok manusia yang hanya bertaqlid kepada imam empat. Itulah
yang dikatakan sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam
atau tertutupnya pintu ijtihad.
Walaupun beberapa saat setelah itu
(zaman ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai
kekuatan materi dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan
pihak Eropa , itu tidak akan bertahan lama karena di balik kekuatan
tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap
tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang
mulai melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan
kecuali jika dia diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.
Beberapa kerajaan Islam saat itu mulai mengimpor dan melaksanakan budaya
serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di
bawah kawalan mereka. Suasana itu lebih memburukkan: Islam makin
tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Itu mereka
lakukan atas fahaman bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah sebagai apa
yang tertulis dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh
ditinggalkan oleh kemajuan zaman.
Era itu berjalan terus dengan
nasib umat Islam yang demikian, yaitu Islam bermazhab, masing-masing
bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi
luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam
yang asal.
Era Keempat
Pada zaman ke 11H/17M dan 12H/18M,
negara-negara Eropa mulai mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan
perindustrian. Negara-negara Eropa mulai menjajah dan menaklukan
negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat
mereka. Suasana itu mulai menyadar dan membangkitkan umat Islam akan
hakikat kedudukan mereka yang sebenarnya. Umat Islam, meskipun sudah
agak terlambat, mulai menyadari akan kemunduran mereka dan bahaya yang
akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.
Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah
membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh
Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.
Para pemuka Islam mulai
berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan
kekuatan yang telah pincang dan membahayakan untuk umat Islam. Hubungan
dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman
‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.
Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ?
Pertanyaan itu terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari
kebekuannya selama itu. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad
kembali bergerak.
Zaman ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan
beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bagian dunia Islam
untuk menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan
tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur
sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan , kesedaran
umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan dan semangat Islam maju
umat maju dilaungkan kembali.
Antara mereka yang berani lagi gigih
membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab
(1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani
(1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M)
dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di
India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.
Selain itu
banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan Islam di benua-benua
lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai
nama gerakan sendiri-sendiri , objektifnya tetap sama yaitu memajukan
Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan
buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains,
perekonomian dan sebagainya.
Mereka menekankan umat Islam untuk
bangkit maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua bidang ilmu,
yaitu ilmu agama dan ilmu duniawi karena memang pada asalnya kedua
ilmu itu adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama
dan ilmu duniawi itu saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada
yang bertentangan maka itu adalah karena kurangnya pengetahuan manusia
tentang salah satu daripadanya.
Usaha pembangunan umat masih
diperjuangkan hingga ke hari buku itu ditulis. Tokoh-tokoh agama di
dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian ilmu-ilmu Islam,
menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka
pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh
dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mulai
diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam
bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dia njurkan tanpa
henti-henti.
Akan tetapi usaha yang dilakukan itu masih kecil
jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau
yang menentang terus ijtihadia h sezaman begitu . Masih ramai umat dan
tokoh semasa yang terlalu fanatik kepada mazhab sehingga amat berat
untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan itu. Tidak kurang juga yang
sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasanya
Islam itu, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama pribadi yang
dia malkan di rumah saja oleh barang siapa yang mengingitu nya.
Golongan-golongan sebegitu lah yang sebenarnya menjadi penghalang
kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebegitu lah yang perlu
ditangani dan dirundingi segera.
Demikianlah secara ringkas sejarah
pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Memang pada
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rasyidin
tidak wujud mazhab-mazhab Islam. Hanya karena sebab-sebab sejarah dan
politik, barulah muncul mazhab-mazhab itu sebagaimana yang telah
diuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, berikut diuraikan
faktor-faktor penyebab untuk munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang
empat:
• Pola pemerintahan Umayyah yang tidak akur dan
patuh kepada petunjuk para ulama’ yang wujud saat itu. Malah
ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, dia ncam atau ditangkap.
Itu menyebabkan ulama’-ulama’ era itu menyisihkan diri mereka dari
suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal itu menyebabkan
tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’)
dalam setiap persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan
ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum
pemerintahan Umayyah.
• Wilayah Islam sudah semakin
luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang
menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada
mereka. Oleh karena Kerajaan Umayyah tidak mengambil peduli akan
persoalan agama dan rakyat, maka usaha itu jatuh ke tangan ulama’-ulama’
secara sendirian.
• Tidak wujud setiap sistem
komunikasi atau media yang canggih pada zaman itu untuk membolehkan para
ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh karena itu para
ulama’ era itu terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan
ilmu yang ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadits
yang diketahuinya.
• Dalam suasana itu timbul beberapa
ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cakap dalam mengupas dan mengolah
persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan banyak
orang mulai berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya
mulai tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan banyak orang mulai
bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.
•
Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasiah melihatkan perkembangan
ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era itu juga kehandalan beberapa
tokoh pribadi tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan
masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah,
al-Syafi‘i di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad.
Pendapat serta ajaran mereka diistilahkan mazhab dan dari situlah
bermulainya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘i dan Hanbali.
•
Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi
oleh Kerajaan Abbasiah. Pemerintah-pemerintah Abbasiah melantik
qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gubernur atau mufti untuk
wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Itu menimbulkan banyak
ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak suka kepada mazhab Hanafi.
Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan
mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.
• Menyadari wujudnya
perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai
menganjurkan acara perdebatan antara tokoh mazhab. Perbuatan itu
menyebabkan persaingan dan perselisihan antar mazhab mulai memanas dan
memuncak.
• Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiah, Kerajaan
Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman lahir juga beberapa
kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka
masing-masing dan mengangkat sebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka.
Perbuatan itu menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.
• Mulai masa itu umat Islam dan negara mereka mulai
dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama
didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.
• Mulai
zaman pertengahan hingga masa kini , umat Islam hanya merujuk kepada
satu-satu mazhab tertentu saja. Umat Islam dengan sendirinya menutup
pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan
bertaqlid tanpa banyak soal.
Jika kita benar-benar menganalisa
faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam itu, kita akan dapati
dia wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik.
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan
Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan
ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke
sana-situ semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka
mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya dia tidak hilang
dimakan masa, supaya umat setelah mereka dapat merujuknya.
Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan
umat Islam itu kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para
imam mazhab empat untuk membelahkan umat itu kepada empat kumpulan.
Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi tertuju kepada sekian daerah
dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan
dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana
politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati banyak orang tanpa
persetujuan mereka.
Oleh yang demikian kita tidak boleh
memandang sebelah mata dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab
timbulnya mazhab-mazhab Islam itu. Malah jika diperhatikan benar-benar,
para imam mazhab itulah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan
menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan
sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab itu boleh dirumuskan sebagai:
• Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama dari dicemari faktor-faktor politik.
• Berusaha menghidupkan ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.
• Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.
•
Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja.
Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.
Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat
dilupakan sampai hari ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul
Rahman:
Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin
Hanbal, yaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan
jasa baik yang tidak tandingnya dalam bidang fiqh Islami.
Tiadalah seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran
al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir
orang lain maupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya.
Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak
dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini .
Insya-Allah di bagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih
rapat, siapakah Para imam mazhab empat itu dan bagaimanakah jalan hidup
mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.
sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=263195737080591&set=a.227788947287937.57772.142545949145571&type=1&theater