Selasa, 07 Juni 2011

BERMADZAB SIAPA TAKUT?





          Bermadzab adalah suatu keniscaya`an. Boleh tidak bermadzab' asal mampu memahahami ayat Al Qur`an  dan hadits. sementara kaum awam sudah selayaknya ber-taqlid, meski tetap ada keluwesan dalam bermadzab.




Suatu ketika Imam safi`i menuaikan sholat subuh di kompleks Imam Hanafi. ketika bangkit bangkit dari ruku (sa`at itidal) di raka`at kedua, beliau tidak membaca do`a Qunut. Padahal, dalam pandangannya, Qunut dalam sholat subuh adalah sunnah muakkadah (sunnah yang di kuatkan) dan di amalkan hingga kini oleh para penganut Madzab Safi`i.
       Ketika murid di tanya oleh murid-muridnya, beliau mengatakan, beliau melakukan demi menghormati Imam Hanafi - yang tidak menganjurkando`a Qunut dalam sholat subuh.
Demikianlah penghormatan Imam Safi`i kepada Imam Hanafi, padahal mereka tidak pernah bertemu, Sebab Imam Safi`i lahir pada tahun 150 H,Pada ketika Imam Hanafi wafat.

Dalam  Koridor Tasamuh
     Sejak berabad-abad ketika kaum muslimin menganut madzab yang berdeda-beda, hubungan para tokoh madzab tetap dalam koridor tasamuh alias toleransi. Dan hal itu pula yang di teladani oleh para pengikut mereka di perbagai belahan dunia islam, termasuk Indosia.
    Di lain pihak, di tingkat awam terkadang terjadi gesekan-gesekan berskala ringan dalam hal khilafiah alias beda pendapat menyankut perbeda`an pendapat menyankut cabang masalah, meskipun hal itu bukanlah gambaran yang dominan atau kecenderungan mainstream.
    tapi, dalam beberapa abad terakhir memang pernah muncul ulama-ulama yang pernah menggugat cara beragama dengan bermadzab. Di antaranya Shyaikh khajan di dalam kitab  Madzahib al-Bar`ah (Apakah seorang muslim harus harus mengikuti Madzab dari Madzab yang empat) sebagaimana di sebut dalam buku argumentasi Ulama Syafi`iyyah, karya H Mujiburrahman.
    Jadi, persoa`alan yang muncul kemudian bukan antara mereka yang berbeda Madzab, melainkan antara  mereka yang bermadzab dan yang menolak Madzab. Dan mereka yang menolak bermadzab mengatakan, semua madzab adalah bid`ah yang di ada-adakan dan bukan bagian dari Islam.

     Benarkah demikian? Apakah para ulama besar semisal Al-Ghozali, An-Nawawi, Ar-Rafi`i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Haitami, Imam As-Suyuthi (dan banyak lagi lainya) telah melakukan bid`ah karena beliau-beliau berpegang pada madzab Syafi`i? Begitu pula, salahkah para ulama besar yang berpegang pada madzab lainya?
     Dari sudut kata, Madzab berarti "jalan, aliran, pendapat, ajaran, atau dokrin". Sedangkan menurut istilah, Secara umum, Madzab berarti "metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam". Pada dasarnya, bermadzab adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang di yakini mempunyai kemampuan dalam berijtihad.

Hukum-hukum sederhana
    Sedangkan mereka yang menolak bermadzab, dan mengharuskan setiap muslim harus  mengambil dalil dari Al-Qur'an dan hadits, mengemukakan argumen bahwa islam tak lebih dari hukum-hukum sederhana yang mudah di mengerti oleh orang arab atau muslim dimanapun juga. mereka antara lain berdalil dengan hadits Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makna Islam, Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan menyebutkan rukun Islam yang lima. tak lebih dari itu.
    Dalil mereka yang lain ialah hadits tentan seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata,"Wahai Rasulullah, tunjukan kepadaku satu perbuatan yang, apa bila aku kerja'kan, aku akan masuk surga."
Rasulullah SAW bersabda,"Bersaksilah bahwa tidak Tuhan selain Allah... (sampai akhir hadits)."
   Seandainya benar hukum-hukum Islam terbatas, niscaya kitab-kitab hadits yang shahih dan musnad-musnad tidakdi penuhi oleh ribuan hadits mengungkap berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.
penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang tata cara melaksanakan rukun-rukun tersebut.
Dan sesugguhnya hukum Islam tidaklah sesederhana itu. Memang, pada masa awal Islam, permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum masih sedikit. Sebab kala itu, daerah penyebaran Islam belum terlalu luas dan kaum muslimin maih sedikit. Belakangan, problem ini problem bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah penyebaran Islam dan bayaknya parkara yang tidak ada sebelumnya yng hukumnya segera di pecahkan berdasarkan sumber-sumber Islam.
    Sejak zaman sabhabat dan Ulama tabi'in, Orang-orang awam selalu bertanya mengenai masalah hukum agama kepada para ulama mujtahid. dan para ulama tidak menentang fatwa yang disampekan dengan cara demikian. Kenyata'an ini dapat di pandang sebagai jimak (kesepakatan) di antara mereka.
    Realitas kehidupan keagama'an umat Islam di Hijaz (Makah Medinah dan sekitarnya) pada zaman sahabatmenunjukan tumbuhnnya Madzab yang berbeda-beda.
Masyarakat Islam Hijaz, dalam waktu itu cukup lama, Mengikuti fatwa atau madzab Ibnu Mas'ud. sedangkan di masa tabi'in , masyarakat Irak dan sekitarnya mengikuti fatwa ulama seperti Al-Qamah, An-nakha'i, Masruq Al-Hamdani, Ibnu Zubair, dan Ibrahim An-nakha'i.
    Sementara itu kaum muslimin di Hijaz bermadzhab kepada Sa'id bin Al-Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Bahkan, Atha bin Rabah dan Mujahid pernah secara resmi di tetapkan oleh khalifah pada masanya sebagai mufti di makkah, dan Masarakat Islam di perintahkan untuk mengikuti fatwa mereka.

Analogi Hukum Islam

    Demikian pula pada masa imam madzab yang empat (Imam Abu Anifah, Imam Malik,Imam Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi', dan Imam Ibnu Hambal). Apa lagi di kala itu ijtihaj sudah memasuki era metologi istinbath (penyimpulan hukum berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist), sudah merumuska parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas shahih dan qiyas batil. Qiyas adalah analogi dalam fiqih atau hukum Islam.
    Ciri lain dari masa itu adalah ijtihad yang telah mencakup seluruh aspek hukum amaliah, dan telah di bukukan. Dan semua itu menunjang kelestarian madzab yang empat. Melintasi batas wilayah  dan menembus perjalanan waktu, hingga kini. Madzab Syafi'i, misalnya, Sejak ratusan tahun silam di anut oleh sebagian besar kaum muslimin di Asia tenggara, termasuk Indonesia, Di samping Mesir, Irak, Yaman dan banyak lagi lainnya. 
    Jadi, Madzab-madzab fiqih di dunia Islam sesungguhnya ad dari seribu tahum silam. Munculnya berbagai madzab tak dapat di pisahkan dari kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan ijtihad, yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzab.
    Rasulullah SAW telah mengutus para sahabat yang memiliki kemampuan  menghafal, memahami, dan menyimpulkan suatu hukum, ke beberapa kabilah atau negeri, dan menguasai mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Mereka juga bersepakat akan berijtihad manakala menghadapi kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadits. Rasulullah SAW pun menyetujui kesepakatan. 
    Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Syu'bah, ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Beliau bersabda, 
                             "Apa yang akan kamu  perbuat jika menghadapi suatu perkara?,

Muadz menjawab,
                             "Saya akan memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah"
 
Rasulullah SAW kembali bertanya,
                             "Jika tidak ada dalam Kitabullah?"

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah".

Rasulullah SAW bertanya lagi,
                             "Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?,

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melebihkannya".

Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dada Mu'adz dan bersabda,
                             "Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan utusan  Rasul-Nya sesuai dengan
                              apa yang di ridhai olehnya (Rasulullah)".

     Ketika Rasulullah SAW wafat, dasar-dasar syari'ah yang fundamental dan umum telah diletakan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat lebih banyak melakukan penerapan (tathbiq) terhadap hukum-hukum syari'ah tersebut. Jika ada suatu hal yang belum di ketahui ketetapan hukumnya, atau di perselisihkan di antara mereka, di lakukan musyawarah atau dialog terbuka, untuk mencapai kesepakatan.


Kesepakatan para sahabat


     Apa yang di ceritakan oleh Maimun bin Marhan  berikut ini contohnya. "Apa bila menghadapi masalah hukum, Abu Bakar Ash-Shiddiq mempelajarinya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Apabila di sana di temukan dalil yang dapat di jadikan dasar, ia putuskan hukumnya dengan dalil tersebut. Tapi, jika di temukan, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah, ia bertanya kepada para sahabat yang lain, 'Apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah SAW mengenai masalah ini?, Apa bila mereka memberi kesaksian bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum tentang masalah tersebut dengan cara tertentu, ia mengikuti keputusan tersebut. Apabila tidak ada yang memberikan kesaksian apa-apa, ia mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah. Apabila mereka dapat mengambil kesepakatan, ia memutuskan memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan para tokoh sahabat tersebut (ijma' ash-shahabah).
    Cara demikian juga di gunakan olehUmar bin Khathab. Setiap kali hendak menetapkan hukum, ia selalu bertanya kepada para sahabat, 'Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menetapkan hukum masalalah itu?, 
Apabila di jawab, Pernah begini atau begitu', Umar mengikuti ketetapan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Pada akhir masa Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah (berarti masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in), Keilmuan Islam makin meluas dan lebih kentara kemandirianya, seperti terpisahnya ilmu fiqih dan ilmu kalam, mumculnya ilmu tasawuf, makin maraknya ilmu hadits dan tafsir.
    Kala itu para ulama fiqih, yang di pandang mempunyai otoritas keilmuan, membahas masalah syariah atau hukum islam yang kemudian terbagi dalam dua aliran.
Pertama, aliran pakar hadits (ahl al hadits) yang literalis, yakni sangat terkait dengan teks dalil naqli, yang di kuasai guru ke murid secara langsung dari masa ke masa.  
Kedua, aliran rasionalis (ahl al-ra'yi), yang lebih rasional dan substansialis (orentasi pada hakikat masalah), banyak yang menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempertimbangkan realitas di tengah masyarakat.
    Aliran pertama berpusat di beberapa perguruan Islam di Hijaz, terutama di Madinah. Di antara tokoh utama adalah Imam Malik bin Anas dan murid-muridnya. Sedangkan aliran kedua berpusat di beberap perguruan Islam di Irak. khususnya dio Khufaf. Di antara tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifaf. Kelompok Hijaz merasa unggul dari kelompok Irak dalam penguasa'an hadits. mengingat jumlah sahabat yang bermukim di Hijaz jauh lebih banyak di banding yang berdomisili di Irak.
     Aliran ahl al-ra,yi sebenarnya di pelopori oleh Ibnu Mas'ud ketika menetap di Irak. Pengguna'an nalar yang di lakukannya merupakan pengaruh khalifaf  Umar bin Khaththab, yang di kaguminya.Khalifaf Umar memang banyak menggunakan peran nalar dalam berijtihad. Bukan hanya dalam masalah yang tak ada dalilnya, tapi juga dalam masalah tertentu yang dalilnya perlu di tafsir ulang. Sebab, menurutnya, dalil tersebut terkait dengan waktu, tempat, dan keada'an tertentu.
    Misalnya, dalam hal Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang perlu di hibur hatinya), yang dalam Al-Qur'an yang termasuk kelompok yang berhak menerima bagian Zakat. Tapi dalam suatu kasus, para muallaf tidak di beri bagian Zakat oleh khalifaf Umar. Sebab, disamping mereka adalah orang kaya., kaum muslimin kala itu tidak perlu lagi menghibur mereka, karena konteks sosial yang hadapi tidak sama dengan keada'an pad waktu nash dalam Al-Qur'an tersebut di turunkan.


Harus Diam Saja?

    Setiap muslim, baik yang bermadzhab maupun tidak, tentu meyakini bahwa dasar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Tapi, yang jadi masalah, tidak setiap orang memiliki kemampuan memahami Al-Qu'an dan Hadits. Jangankan orang yang tidak menguasai bahasa Arab, Orang yang benar-benar menguasai bahasa Arab pun belum tentu dapat memahami makna dan maksud ayat Al-Qur'an dan Hadits tersebut.
     Mengapa? karena ada ayat Al-Qur'an dan Hadits yang maksudnya jelas sehingga tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk memahaminya, tapi kebanyakan membutuhkan penguasa'an berbagai ilmu lain untuk bisa memahaminya. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki persyaratan itu? Haruskah ia diam saja tanpa perlu melaksanakan ayat Al-Qur'an dan Hadits., atau bertanya dan mengikuti para ulama yang mampu memahaminya? Tentulah pilihan kedua yang di ambil, dan memang itulah yang di perintah dalam agama. Banyak dalil yang menunjukan wajibnya bertaqlid (mengikuti) bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad. Antara lain ayat 7 surah Al-Anbiya,
         "Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui."
Para ulama sepakat, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil agar mengikuti orang-orang yang mengetahui. Dan para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada orang yang mengetahui.
Dalil kedua adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa sahabat Nabi SAW berbeda-beda dalam tingkat keilmuanya dan tidak semua mampu memberi fatwa. Para sahabat terbagi dalam dua golongan: Sahabat yang termasuk mufti, yang mampu berijtihad (minoritas), dan para sahabat yang termasuk mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaqlid (mayoritas).
Dalil lain mengenai kewajiban bertaqlid adalah logika, sebagaimana yang di katakan oleh Asy-Syathibi, "Fatwa para mujtahid bagi orang awam adalah sebagaimana dalil syar'i bagi para mujtahid, bagi orang yang ber taqlid, ada atau tidak adanya dalil sama saja, karena tidak mampu mengambil pengertian dari dalil. maka masalah meniliti dalil dan melakukan istinbhat (penyimpulan hukum) bukan urusan mereka, dan mereka tidak di perkenankan melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:


                        "maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"

Rabu, 04 Mei 2011

Biografi Al Imam An-Nawawi Seorang Alim Penasehat

Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan‘al- Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar- Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu
Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy- Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al- Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita,
“Pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya;
ke dua, pelajaran terhadap kitab‘al- Wasith’,
ke tiga, terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’,
ke empat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’,
ke lima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’,
ke enam, terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu,
ke tujuh, terhadap kitab‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa),
ke delapan, di dalam ilmu Sharaf,
ke sembilan, di dalam ilmu Ushul Fiqih,
ke sepuluh, terkadang ter- hadap kitab‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy,
ke sebelas, di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’,
ke duabelas, di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat- pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah:
Syarh Shahih Muslim , al-Majmu Syarh al- Muhadzdzab , Riyadl ash- Shalihin , al-Adzkar , Tahdzib al-Asma wa al-Lughat al- Arba in an-Nawawiyyah , Rawdlah ath-Thalibin dan al- Minhaj fi al-Fiqh .
Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku biografi (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an- Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup zuhud , teladan di dalam sifat wara serta tokoh tanpa tanding di dalam menasehati para penguasa dan beramar ma ruf nahi munkar .
zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
wara
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar- Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu. Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam. Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh- Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun- kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun- kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan. Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al- Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka!!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
wafat
Pada tahun 676 H, Imam an- Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al- Qadly,‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin. (Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy). sumber: kisahkayahikmah.wordpress.com/2010/01/11/al-imam-an-nawawi-seorang-alim-penasehat/

Minggu, 10 April 2011

Habib Umar bin Hafiz, Ulama Habaib Terkenal Masa Kini




Beliau ialah Habib Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abdullah putera dari Abi Bakr putera dari Aidarus putera dari Hussein putera dari Syeikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari Abdullah putera dari Abdul Rahman putera dari Abdullah putera dari Syeikh Abdul Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al- Dawilah putera dari Ali putera dari Alawi putera dari al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad putera dari Ali putera dari Muhammad Shahib Mirbat putera dari Ali Khali Qasam putera dari Alawi putera dari Muhammad putera dari Alawi putera dari Ubaidillah putera
dari Imam al-Muhajir Ahmadputera dari Isa putera dari Muhammad putera dari Ali al- Uraidi putera dari Ja'far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari Ali Zainal Abidin putera dari Hussein sang cucu
lelaki, putera dari pasangan Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah az-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w..

Beliau dilahirkan di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama
berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan
kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya ialah salah seorang
ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran Islam dan pengajaran hukum suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua datuk beliau, Habib Salim bin Hafiz dan Habib Hafiz bin Abdullah yang merupakan paraintelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi Habib Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul
dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan. Beliau telah mampu menghafal al-Quran pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadis, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang
dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Syeikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Habib
Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang
‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.







Namun secara tragis, ketika Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk solat Jumaat, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahawa tanggungjawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang dakwah sama seperti seakan- akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid.

  Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, dia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis dan dakwah. Perjuangan dan
usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan
untuk menghafal al-Quran dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Dia sesungguhnya telah benar- benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari
jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah
bimbingan ahli dari yang mulia Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafie, Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya dia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang dakwah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa- desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namunkini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan,
mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan serban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah swt.








Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan dakwah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyaraka di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahi bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung. Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat
pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan RasulNya s.a.w. dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul
Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Habib Ahmad Mashur al-Haddad dan Habib Attas al-Habshi.
Sejak itulah nama Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikeranakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini
menjadikannya mendapatkan sumber d tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan.








Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang
mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan
di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman.
Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan  pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal
melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan
mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah.
Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya
pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.


 


Habib Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.





sumber: www.ildib.co.cc/2011/01/habib-umar-bin-hafiz-ulama-habaib

Sabtu, 09 April 2011

AIR MATA ROSULULLAH..

Assalamu'alaikum...

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. 'Bolehkah saya masuk?' tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, 'Maafkanlah, ayahku sedang demam', kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, 'Siapakah itu wahai anakku?' 'Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,' tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi! bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. 'Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,' kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. 'Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?', tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. 'Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. 'Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu,' kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. 'Engkau tidak senang mendengar khabar ini?', tanya Jibril lagi. 'Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?' 'Jangan khawatir, wahai Rasul ! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,' kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. 'Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.' Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. 'Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?' Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. 'Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,' kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. 'Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.' Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, ! Ali segera mendekatkan telinganya. 'Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku' 'peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.' Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. 'Ummatii, ummatii, ummatiii?' - 'Umatku, umatku, umatku' Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini,,,apa yang sudah kita lakukan untuk Rosulullah??? untuk membasahi lisan dan bibir kita dgn bacaan sholawat saja terkadang kita lupa!!! Allahumma sholli 'ala sayidina Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita. NB: Kirimkan kepada sahabat- sahabat muslim lainnya agar timbul kesadaran untuk mengingat maut dan mencintai Allah dan RasulNya, seperti Allah dan Rasulnya mencintai kita... mudah-mudahan bermanfaat...

Rabu, 06 April 2011

Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir

  1. Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir
  2. Posted on Mac 10, 2011 by sulaiman

Dalam Al-Quran diceritakan bahawa konsep tegur-menegur ini sebenarnya telah wujud semenjak zaman Nabi Musa a.s. lagi. Nabi Musa ingin berguru dengan Nabi Khaidir untuk mendapatkan ilmu laduni iaitu
ilmu yang diperolehi tanpa dipelajari. Nabi Khaidir memberikan syarat supaya Nabi Musa bersabar dan jangan bertanya tentang apa yang dilakukannya. Namun Nabi Musa tidak dapat menahan daripada
menegur kesalahan yang dilihatnya kerana ia adalah sifat tabii para Rasul. Adakala apa yang dilihat dimata ada yang tersirat disebaliknya. Apa yang dilakukan Nabi Khaidir nampak bercanggah disisi syariat. Nabi
Musa tidak dapat menahan bila melihat kemungkaran, sedangkan apa yang berlaku disebaliknya hanya Allah dan Nabi Khaidir sahaja yang tahu.

Al-Kahfi [65] Lalu mereka dapati seorang dari hamba-hamba Kami yang telah kami kurniakan kepadanya rahmat dari Kami dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu; dari sisi Kami. Al-Kahfi [66] Nabi Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutmu, dengan syarat engkau mengajarku dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, ilmu yang menjadi petunjuk bagiku?

Al-Kahfi[67] Dia menjawab: Sesungguhnya engkau (wahai Musa), tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku.

Al-Kahfi [68] Dan bagaimana engkau akan sabar terhadap perkara yang engkau tidak mengetahuinya secara meliputi?

Al-Kahfi [69] Nabi Musa berkata: Engkau akan dapati aku, Insya Allah: Orang yang sabar; dan
aku tidak akan membantah sebarang perintahmu.

Al-Kahfi [70] Dia menjawab: Sekiranya engkau mengikutku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku akan sesuatupun sehingga aku ceritakan halnya kepadamu.
Kes Pertama: Membocorkan Perahu

Al-Kahfi [71] Lalu berjalanlah keduanya sehingga apabila mereka naik ke sebuah perahu, dia membocorkannya. Nabi Musa berkata: Patutkah engkau membocorkannya sedang akibat perbuatan itu menenggelamkan penumpang-penumpangnya?
 Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perkara yang besar.

Al-Kahfi [72] Dia menjawab: Bukankah aku telah katakan, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [73] Nabi Musa berkata: Janganlah engkau marah akan daku disebabkan aku lupa (akan syaratmu) dan janganlah engkau memberati daku dengan sebarang kesukaran dalam urusanku (menuntut ilmu).
Kes Kedua: Membunuh Seorang Pemuda

Al-Kahfi [74] Kemudian keduanya berjalan lagi sehingga apabila mereka bertemu dengan seorang pemuda lalu dia membunuhnya. Nabi Musa berkata Patutkah engkau membunuh satu jiwa yang bersih, yang tidak berdosa membunuh orang? Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perbuatan yang mungkar!

Al-Kahfi [75] Dia menjawab: Bukankah, aku telah katakan kepadamu, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [76] Nabi Musa berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sebarang perkara sesudah ini, maka janganlah engkau jadikan daku sahabatmu lagi; sesungguhnya engkau telah cukup mendapat alasan-alasan berbuat demikian disebabkan pertanyaan-pertanyaan dan bantahanku.

Kisah Ketiga: Membina Tembok

Al-Kahfi [77] Kemudian keduanya berjalan lagi, sehingga apabila mereka sampai kepada penduduk sebuah bandar, mereka meminta makan kepada orang-orang di situ, lalu orang- orang itu enggan menjamu mereka. Kemudian mereka dapati di situ sebuah tembok yang hendak runtuh, lalu dia membinanya. Nabi Musa
berkata: Jika engkau mahu, tentulah engkau berhak mengambil upah mengenainya!

Al-Kahfi [78] Dia menjawab: Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.
Yang Tersirat

Al-Kahfi [79] Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang- orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

Al-Kahfi [80] Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa dia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

Al-Kahfi [81] Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa dan lebih mesra kasih sayangnya.

Al-Kahfi [82] Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu dan di bawahnya ada harta terpendam kepuyaan mereka dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka
Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka) dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri.
Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya





http:// nasbunnuraini.wordpress.com

Selasa, 05 April 2011

Gubuk Lebih Baik

bbTersebutlah seorang penganut tasawuf bernama Nidzam al-Mahmudi.  Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan. Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yg bergantung padanya. Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan dama menikmati perjalanan usianya. Salah seorang anaknya pernah bertanya, `Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah? Bukankah Ayah mampu?” ”Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil,” jawab sang sufi yang tidak terkenal itu.“Pertama, karena betapa pun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyatahanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia Cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya. Dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.” Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya, “Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih selesa. Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan
menyiksa?” Si anak tercenung. Alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah. Akan tetapi, keringatnya setiap hari selalu bercucuran
Ia ikut mencangkul dan menuai hasil
tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata. Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri. Kemudia anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan, “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk- gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat? Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahkluknya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”






http://alawiy.wordpress.com/
kalam/gubuk-lebih-baik/

Puasa: Menurut Fiqh Sampai Medis


     “Kesehatan itu bermula dari kemauan diri berhenti makan sebelum kenyang” (Al-Alim Al-Faqih Al-Habib Zenbin Smith)Berpuasa dari sisi sejarahnya telah dimulai sejak zaman nabiyullah Nuh as.. Namun tata cara mereka dalam berpuasa sangat bervariasi. Salah satu diantaranya adalah puasa menurut nabiyullah Daud as.,
dengan cara berpuasa satu hari dan berbuka di hari berikutnya. Puasa ala Nabi Daud rating (peringkat) tertinggi pahalanya di sisi Allah setelah puasa Ramadlan, karena memiliki tingkat kesulitan yang luar biasa,
untuk kapasitas nafsu manusia yang variatif. Maka puasa ini bisa menggantikan puasa wishol (pati geni Jw.) artinya puasa yang tidak diselingi dengan berbuka, dan dilanjutkan sampai hari berikutnya. Hal ini banyak diikuti oleh agama selain Islam. Nabi sendiri melakukannya, akan tetapi melarang pada sahabatnya
untukmelakukan puasa wishol tersebut, karena dapat merusak fungsi anggota tubuh di masa tuanya. Hal ini menjadi khususiyah nabi Muhammad saw.
     Suatu ketika salah satu sahabat bertanya tentang pahala yang bisa menyamai pahala jihad. 

Rasulullah terdiam sejenak, lalu sahabat bertanya yang kedua kali, sampai ketiga kalinya Rasulullah menjawab:
    “Masalul mujahid fi sabilillah kamatsalil shoim, al-qoim, al-qonit bi ayatillah, la yaftarru min
sholatin wa siyamin hatta yarji’umujahid fi sabilillah”


Hadits di atas adalah sebuah gambaran keagungan pahala puasa yang menyamai pahala jihad fi sabilillah. Karena puasa yang dilakukan dengan imanan wah tisaaban (mengharap ridlo Allah) dan dengan membaca
ayat-ayat Allah dan menunaikan ibadah sholat sunnah setiap harinya, hal inilah yang menjadi pertimbangan agungnya amal tersebut. Dalam sepuluh tahun terakhir para ahli kedokteran telah mengumpulkan data-data laboratorium medis kedokteran yang menunjukkan bahwa puasa dapat membantu untuk mengobati sebagian penuaan dini. Karena puasa tersebut menambah kinerja pemecahan hormon (FSH) dan hormon latinah (LH) dan hormon prolaktin. Di sisi lain mendukung kinerja hormon testosteron pria, lebih lanjut membantu dalam
pembentukan sperma. Jika seorang ibu hamil dengan melaksanakan puasa di bulan Ramadlan, bisa diprediksi adanya peningkatan keadaan janin ditinjau dari perubahan janin tersebut di bulan berikutnya. Kenyataan ini tidak bertentangan dengan hadist nabawiy yang berbunyi:


     “wa man lam yastathi’ fa ‘alaihi bisshoumi, fainnahu lahu wija’ “

“dan barang siapa yang tidak bisa kawin, maka sebaiknya dia berpuasa, karena puasa tersebut dapat membentenginya” 
     
     Hadits tersebut kadang-kadang di salahartikan bahwa puasa dapat melemahkan kekuatan jasmani, padahal nabi memotivasi para pemuda untuk berpuasa, seraya bertujuan agar mereka menyibukan diri dengan ibadah, sehingga terhindar dari terlintasnya gerakan syahwat di dalam pikiran mereka.
Pembahasan ilmiah modern menunjukkan bahwa pengaruh syahwat (birahi) terhadap hormon lebih ringan dari pada pengaruh syahwat terhadap kinerja anggota badan yang lain. Dengan berpuasa, akan memiliki
kecenderungan peningkatan pengaturan terhadap kinerja kelenjar di dalam tubuh. Menetralisis Racun dan
memperpanjang umur Diantaranyaseperti lemak yang menyebabkan kegemukan dan menimbulkan berbagai penyakit seperti, meningkatnya tekanan darah. Para peneliti meyakini bahwa puasa dapat meminimalisir pertumbuhankanker dalam tubuh dan juga dapat membunuh kanker sampai ke akarnya.
    Sebagian yang lain meyakini bahwa puasa dapat memperpanjang umur. Artinya dengan puasa mengurangi kinerja anggota tubuh secara berlebihan. Banyak kalangan menyangka bahwa puasa di bulan ramadlan,
dapat membahayakan terhadap wanita hamil dan janinnya dan orang terkena penyakit menahun seperti kencing manis dan penyakit jantung serta komplikasi. Akan tetapi sangkaan tersebut disanggah oleh para ilmuan, dengan pernyataan:

    
“Puasa di bulan Ramadlan tidak berpengaruh selama masa kehamilan, berat badan janin, kinerja seluruh anggota badan, dam sirkulasi darah dalam tubuh”.
   

    Disamping puasa merupakan olah raga jiwa, puasa juga merupakan olah badan yang meringankan rasa capek yang berlebihan pada lambung, yang
terjadi pada sebagian orang. Di era modern, para dokter spesialis menganjurkan untuk berpuasa bagi orang yang terkena penyakit. Pernyataan ini tidak terdapat di dunia kedokteran pada masa lampau, dikarenakan alat-alat medis yang tidak memadai. Sunnah-sunnah dalam berpuasa Bersahur Sesuai dengan hadits :
“tasahharuu fainna fissahuur baraakatan”, 

yang artinya : "bersahurlah karena didalam sahur terdapat barokah". Juga disunnahkan disaat bersahur dan
berbuka untuk makan kurma. Kurma memiliki kandungan glukosa yang mempercepat pemulihan kemampuan tubuh setelah seharian tidak makan. Para ahli kedokteran telah meneliti bahwa sunnah tersebut dapat menghilangkan rasa pusing karena lapar. Sholat tarawih Selain berfungsi sebagai taqarrub kepada Allah, juga membantu semangat tubuh dan meringankan rasa capek yang biasa dirasakan oleh orang yang
berpuasa setelah berbuka. Mandi setelah sholat maghrib Halini berfaedah sebagai cara untuk menyegarkan tubuh, sehingga dapat menambah semangat untuk melaksanakan sholat tarawih dan witir dimalam harinya.
Rusaknya puasa Puasa bisa batal dengan tidak terpenuhinya syarat dan rukunnya puasa dengan perincian sebagai berkut:


Masuknya sesuatu ke dalam tubuh secara sengaja bisa membatalkan puasa ulama berselisih pendapat tentang kaffaroh bagi orang yang sengaja Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa wajib kaffaroh bagi orang yang makan dengan sengaja disiang hari Ramadhan , sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Hambali
berpendapat tidak wajib. Sesuatu yang masuk ke dalam tubuh itu tidak disyaratkan harus mengenyangkan , maka barang siapa yang makan sesuatu yang biasanya tidak dimakan seperti kerikil maka puasanya batal.
Ingus (expectorate) Menurut imam Syafi’i membatalkan, apabila tertelan. Muntah (vomit) Tidak membatalkan apabila tanpa ada unsur kesengajaan. Tetesan air Sifatnya membatalkan jika masuk
melalui lubang tubuh seperti telinga, dan lain. Alat deteksi medis (rectal enema) yang dimasukkan melalui dubur (anus) dapat membatalkan puasa dengan kesepakatan para ulama fiqh, termasuk obat-obatan.
Alat deteksi penyakit pada vagina (vaginal suppositories) Halini tidak membatalkan puasa karena vagina bukan lubang masuknya makanan dan minuman. Suntikan Tidak membatalkan puasa menurut pendapat yang paling benar (qoul Ashoh), baik melalui kulit, daging, atau urat nadi. Mendonorkan darah (tabarru’ biddam)
Atau mengalirkan darah melalui luka, canduk. Semuanya tidak membatalkan puasa menurut jumhur ulama (mayoritas ulama). Jima’ (bersetubuh-coitus) Mayoritas ulama berpendapat, bahwa bersetubuh secara
sengaja di siang hari di bulan Ramadlan membatalkan puasa, dan wajib qodlo dan kafarah (berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makanan pada 60 orang miskin). Konklusi atas tuntutan zaman “Puasa”, demikian jawaban atas orang-orang kedokteran telah menyingkap rahasia puasa terhadap pengaruhnya pada tubuh. Masihkah akal-akal kita menolak dunia sains yang telah membuka tabir-tabir kebenaran Islam? Kalau tidak mari kita mulai puasa untuk bertaqarrub dan jaminan-jaminan lain yang akan diberikan Allah di akherat nanti.














Penulis: Achmad Shirojuddin
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/
ppssnh.malang/cgi-bin/
content.cgi/artikel/
puasa_fikih_dan_medis.single

Senin, 07 Maret 2011

12 Ulama Kharismatik di Indonesia




12 Ulama Kharismatik
di Indonesia





Buku ini berisi tentang biografi, perjalanan hidup, metode dakwah, dan peranan para ulama kharismatik di Nusantara. Mereka adalah Habib Husein Mbrani, al-Habib Umar bin Hud al-Attas, Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri, Ustadz Muhammad Ba ’bud Lawang, Kyai Syarwani Abdan Datuk Kalampayan Bangil, Kyai Hamid Pasuruan, Habib Ali bin Ja ’far Batu Pahat, Habib Abdullah Bilfaqih, Habib Anis Solo, Tuan Guru Zaini Ghani Martapura, serta beberapa ulama lainnya. Keberadaan mereka merupakan berkah bagi kaum muslimin. Mereka memiliki jasa yang amat besar dalam ‘ menanamkan’ nilai-nilai keislaman di Tanah Air ini. Mereka meninggalkan banyak perubahan dan pencerahan bagi umat. Semua ini merupakan bukti keberhasilan mereka dalam berdakwah dan semua itu telah dicatat sejarah dengan tinta emas. Mereka telah menjadi contoh nyata dalam perjuangan, akhlak, ilmu, dan hubungan sosial kemasyarakatan. Walaupun mereka telah tiada, namun jasa-jasa dan pengabdiannya akan selalu dikenang sepanjang masa. ’ Warisan,’ jejak karamah, serta ilmunya tetap abadi dan akan berkembang sepanjang masa, bahkan sosoknya pun selalu dikenang orang sepanjang zaman. Dalam berdakwah, mereka mengedepankan akhlak dan budi pekerti luhur, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Mereka sangat menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan umat. Mereka telah menyebarkan Islam dengan santun, damai, dan lemah lembut, sehingga masyarakat dengan mudah dan lapang dada menerima apa-apa yang telah mereka sampaikan.



Sumber: http://kitabhabib.blogspot.com/2011/02/12-ulama-kharismatik-di-indonesia.html

Minggu, 27 Februari 2011

Belajar mencapai sebuah keikhlasan

“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan untuk beribadah kepada Alloh dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya ”. (QS. Al-Bayyinah:5)

itulah yang diperintahkan kepada kita kaum muslimin karena itu adalah tauhid dan ikhlas dua hal yang harus bersatu tidak boleh tidak... tentang orang yang ikhlas ini

Allah berfirman : 15:39. Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, 15:40.

kecuali hamba- hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka. lihat ya akhi dan ukhti fillah hanya orang yang ikhlaslah yang selamat dari godaan iblis? maka berusahalah untuk mengikhlaskan hatimu besarkanlah dahulu keikhlasanmu lalu amalmu berapa banyak mereka yang beramal besar karena keikhlasan kurang yang mereka dapatkan hanya kerugian. Apakah yang dijamin syetan tak dapat digoda ini ulama, ustad, tahfidz, yang derwaman, mereka yang bergelar, bahkan mujahid sekalipun, TIDAK, DEMI ALLAH SWT TIDAK! tapi mereka yang mukhlis mereka yang mengikhlaskan niatnya untuk mencari keridhaan Allah, sekalipun baju mereka robek, rambut mereka kusut, masai atau tak ada sedikit pun harta dan jabatan mereka. ketakwaan itu ada didalam dadamu sabda Rasul.



1. Dari ‘Umar bin Khothob RA, ia berkata:

Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda: “ Sesungguhnya amal perbuatan tergantung niat, dan seseorang hanya memperoleh balasan berdasarkan apa yang ia niatkan; siapa hijrahnya (diniatkan) menuju Alloh dan Rosul- Nya maka hirjahnya itu menuju Alloh dan Rosul- Nya; dan siapa hijrahnya karena dunia yang akan ia raih atau wanita yang akan ia nikahi, maka ia berhijrah kepada apa yang ia tuju ”. (HR. Bukhori dan Muslim)



2. Dan dari Abu Umamah RA berkata:

Ada seorang lelaki datang kepada Rosululloh SAW lalu bersabda, “ Menurut Anda bagaimana dengan seseorang yang berperang lantaran ingin mendapatkan imbalan dan ketenaran; apa yang ia dapatkan ?” Rosululloh SAW menjawab, “ Tidak mendapat apa- apa.” Lelaki itu terus mengulangi pertanyaannya beberapa kali namun Rosululloh SAW tetap mengatakan, “Tidak mendapat apa- apa.” Setelah itu beliau bersabda, “ Sesungguhnya Alloh tidak menerima amal selain yang ikhlas dan dalam rangka mencari wajah-Nya. ” (HR. Abu Dawud dan Nasai) Itu yang haq yg harus engkau tanam didalam hatimu wahai saudaraku mereka yang berniat mengorbankan segalanya kepada Allah



3. Dan dari Abu Huroiroh RA ia berkata:

Aku mendengar Rosululloh SAW bersabda, “ Sesungguhnya manusia pertama yang akan diberi keputusan di hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Ia dipanggil dan diperlihatkan nikmat- nikmat yang pernah diberikan kepadanya dan dia pun mengakuinya. Alloh berfirman: ‘Apa yang kau perbuat dengan nikmat-nikmat itu ?’ Ia berkata: ‘Aku berperang karena-Mu hingga aku mati syahid. ’ Alloh berfirman: ‘ Kamu dusta, tapi kamu berperang supaya dikatakan pemberani dan orang telah mengatakannya. ’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret pada wajahnya hingga akhirnya dilempar ke neraka. Kemudian seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca Al-Quran; ia dipanggil dan diperlihatkan nikmat- nikmat yang pernah diberikan kepadanya dan dia pun mengakuinya. Alloh berfirman: ‘Apa yang telah kau perbuat dengan nikmat-nikmat itu ?’ ia berkata: ‘Aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Quran karena-Mu. ’ Alloh berfirman: ‘ Kamu dusta, tetapi kamu belajar agar dikatakan sebagai orang alim, kamu membaca Al-Quran agar disebut sebagai Qori ’ dan orang telah mengatakannya.’ Kemudian ia diperintahkan untuk diseret pada wajahnya hingga akhirnya dilempar ke neraka. Kemudian seseorang yang Alloh lapangkan keadaannya dan Alloh beri beraneka ragam jenis harta benda; ia dipanggil dan diperlihatkan nikmat-nikmat yang pernah diberikan kepadanya dan ia pun mengakuinya. Alloh berfirman: ‘Apa yang telah kau perbuat dengan nikmat-nikmat itu ?’ ia berkata: ‘Tidak kubiarkan satu jalan pun yang Engkau suka ada infak di sana melainkan aku berinfak di sana karena-Mu. ’ Alloh berfirman: ‘ Kamu dusta, akan tetapi kamu melakukannya agar disebut dermawan dan orang telah mengatakannya. ’ Kemudian diperintahkan agar ia diseret pada wajahnya hingga dilempar ke neraka. ” (HR. Muslim)

Wahai saudaraku inilah kekihlasan inti dari amal karena dgn inilah turunnya hidayah dan taufik, dengan inilah tentramnya hati dan pikiran, masuknya iman dan ketakwaan selamatnya diri dari syetan dan iblis, jika ada yang bertanya: "ilmu ikhlas itu berat" maka kukatakan wahai saudaraku :"jika tidak berat bagimana mungkin iblis bisa berlepas diri dari orang ikhlas?" maka berusahalah ikhtarlah selamatkanlah hatimu dari penyakit hati , berperang dengan iblis dihatimu dengan menggunakan senjata keikhlasan. maka perbaikilah keikhlasanmu lalu amalmu jika sudah mantab keikhlasanmu maka perbanyaklah amalmu. Sungguh amal yang sedikit namun ikhlas akan lebih berharga dihadapan Allah swt daripada banyaknya amal tanpa keikhlasan sama sekali.

Wallahu a'lam...

Sumber : MELATI

Rabu, 23 Februari 2011

Syaikh Abul- Hasan Ali al-Asy'ari Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

Asy'ariyyah adalah
sebutan bagi sebuah
faham atau ajaran
aqidah yang dinisbatkan
kepada Syaikh Abul-
Hasan Ali al-Asy'ari
(Lahir dan wafat di
Basrah tahun 260 H- 324
H.). Para pengikutnya
sering disebut dengan
Asy'ariyyuun atau
Asyaa'irah (pengikut
mazhab al-Asy'ari).
Abul-Hasan Ali Al-
Asy'ari, yang kemudian
dikenal sebagai pelopor
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah, memiliki
garis keturunan (garis
ke-10) dari seorang
Sahabat Rasulullah Saw.
yang terkenal
keindahan suaranya
dalam membaca al-
Qur'an, yaitu Abu Musa
al-Asy'ari. Beliau lahir 55
tahun setelah wafatnya
al-Imam Syafi'I, dan
Abul-Hasan al-Asy'ari
adalah pengikut Mazhab
Syafi'i.
Pada mulanya, beliau
beraqidah Mu'tazilah
karena berguru kepada
seorang ulama
Mu'tazilah yang
bernama Muhammad
bin Abdul Wahab al-
Jubba'i (Wafat 295H.).
Setelah menjadi
pengikut Mu'tazilah
selama + 40 tahun,
beliau bertobat lalu
mencetuskan semangat
beraqidah berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadis
sebagaimana yang
diyakini oleh Nabi Saw.
dan para Sahabat
beliau, serta para ulama
salaf (seperti Imam
Malik, Imam Syafi'I,
Imam Ahmad, dan lain-
lainnya).
Dalam mengusung
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah ini,
terdapat pula seorang
ulama yang sejalan
dengan al-Asy'ari, yaitu
Syaikh Abu Manshur al-
Maturidi (wafat di
Samarkand Asia Tengah
pada tahun 333 H).
Meskipun paham atau
ajaran yang mereka
sampaikan itu sama
atau hampir sama,
namun al-Asy'ari lebih
dikenal nama dan
karyanya serta lebih
banyak pengikutnya,
sehingga para pengikut
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah lebih sering
disebut dengan al-
Asyaa'irah (pengikut al-
Asy'ari) atau al-
Asy'ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-
jama'ah lahir sebagai
reaksi dari penyebaran
aqidah Mu'tazilah yang
cenderung
mengedepankan akal
ketimbang al-Qur'an
atau Hadis. Banyak
keyakinan Mu'tazilah
yang dianggap oleh al-
Asy'ari menyimpang
jauh dari dasarnya.
Lebih buruknya, ketika
Mu'tazilah sudah
menjadi paham
penguasa (masa
Khalifah al-Ma'mun, al-
Mu'tashim, & al-Watsiq
dari Daulah Bani
Abbasiyah), banyak
ulama yang ditangkap
dan dipaksa untuk
meyakini paham
tersebut. Di antara
ulama yang ditangkap
dan disiksa karena tidak
mau mengakui paham
Mu'tazilah itu adalah
Imam Ahmad bin
Hanbal.
Ajaran al-Asy'ari dan al-
Maturidi (Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah) ini
kemudian berhasil
meruntuhkan paham
Mu'tazilah, dan umat
Islam kembali
mendasari aqidah
mereka dengan al-
Qur'an dan Hadis serta
dalil-dalil 'aqly (akal)
sebagaimana
dicontohkan oleh para
salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya,
aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah ini dianut
dan disebarluaskan oleh
ulama-ulama besar
seperti Abu Bakar al-
Qaffal (wafat 365 H.),
Abu Ishaq al-Isfarayini
(wafat 411 H.), al-
Baihaqi (wafat 458 H.),
Imam al-Haramain al-
Juwaini (wafat 460 H.),
al-Qusyairi (wafat 465
H.), al-Baqillani (wafat
403 H.), Imam al-Ghazali
(wafat 505 H.),
Fakhruddin ar-Razi
(wafat 606 H.), 'Izzuddin
bin Abdus-Salam (wafat
660 H.), Abdullah asy-
Syarqawi ( wafat 1227
H.), Ibrahim al-Bajuri
(wafat 1272 H.), Syekh
Muhammad Nawawi
Banten (wafat 1315 H.),
Zainal Abidin al-Fatani
(Thailand), dan lain-
lainnya.
Karya-karya tulis
mereka banyak
bertebaran dan
dijadikan pegangan di
seantero dunia Islam,
sehingga aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah itu
menjadi paham para
ulama dan umat Islam
mayoritas di berbagai
negeri seperti: Maroko,
Aljazair, Tunisia, Libya,
Turki, Mesir, sebagian
Irak, India, sebagian
Pakistan, Indonesia,
Filipina, Thailand,
Malaysia, Somalia,
Sudan, Nigeria,
Afghanistan, sebagian
Libanon, Hadhramaut,
sebagian Hijaz, sebagian
Yaman, sebagian besar
daerah Sovyet, dan
Tiongkok. (Untuk lebih
jelasnya, lihat "I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah" karya KH.
Siradjuddin Abbas,
diterbitkan oleh
Pustaka Tarbiyah
Jakarta).
Para Ulama pengikut
empat Mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'I, dan
Hanbali) adalah
penganut aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah.
Ajaran aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah
inilah yang dijadikan
dasar oleh para ulama
untuk membolehkan
kebiasaan-kebiasaan
baik seperti: Peringatan
Maulid Nabi Muhammad
Saw., Isra' Mi'raj,
tahlilan kematian,
ziarah kubur,
menghadiahkan pahala
kepada orang
meninggal, ziarah ke
makam Rasulullah Saw.
dan orang-orang shaleh,
tawassul, dan lain
sebagainya, yang secara
substansial kesemuanya
didasari dengan dalil-
dalil yang kuat dari al-
Qur'an dan Hadis serta
Atsar para Sahabat
Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy'ariyyah
sering dipisahkan
penyebutannya dari
Ahlussunnah Wal-
jama'ah, hal seperti ini
telah dilakukan oleh
Ibnu Taimiyah di dalam
pembahasan fatwa-
fatwanya yang
kemudian diikuti oleh
para pengikutnya, yaitu
kaum Salafi & Wahabi.
Akan tetapi, antara
pandangan Ibnu
Taimiyah dan kaum
Salafi & Wahabi di masa
belakangan tentang
Asy'ariyyah terdapat
perbedaan. Ibnu
Taimiyah berpandangan
bahwa aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah adalah aqidah
para ulama salaf (yaitu
para Shahabat
Rasulullah Saw. dan
para ulama yang hidup
di 3 generasi pertama
masa Islam + 300 H.),
bukan monopoli sebuah
kelompok saja seperti
Asy'ariyyah. Artinya,
Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa
para Shahabat
Rasulullah Saw., para
tabi'in, ulama madzhab
yang empat, dan siapa
saja yang berpedoman
kepada al-Qur'an, as-
Sunnah, serta ijma'
ulama salaf, adalah
Ahlussunnah Wal-
jama'ah (lihat Majmu'
Fatawa Ibni Taimiyah,
Dar 'Alam al-Kutub, juz
3, hal. 157).
Secara tidak langsung
Ibnu Taimiyah masih
mengakui Asy'ariyyah
termasuk bagian dari
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah terutama pada
pendapat-pendapat
yang ia anggap sejalan
dengan prinsip al-
Qur'an, as-Sunnah, dan
ijma' ulama salaf.
Sedangkan kaum Salafi
& Wahabi belakangan
lebih cenderung
menganggap
Asy'ariyyah sebagai
aliran sesat yang bukan
termasuk Ahlussunnah
Wal-jama'ah.
Pembahasan-
pembahasan Kaum
Salafi & Wahabi ini
kemudian mengarahkan
umat untuk
menganggap bahwa
Asy'ariyyah hanyalah
kelompok aliran ilmu
kalam (ilmu
pembicaraan) yang
tidak ada hubungannya
dengan nama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Ilmu kalam
mereka anggap sebagai
hasil pembahasan-
pembahasan keyakinan
agama dengan logika
yang didasari oleh
pemikiran filsafat, dan
dengan keadaan seperti
itu ia banyak dikecam
oleh para ulama salaf.
Pertanyaannya,
bagaimana mungkin
kecaman para ulama
salaf terhadap
kelompok-kelompok ahli
kalam diarahkan
kepada Asy'ariyyah
sedangkan para ulama
salaf tersebut tidak
pernah menjumpai
Asy'ariyyah yang baru
muncul setelah mereka
wafat? Jika pun ada
kecaman itu, maka
sebenarnya yang
mereka kecam adalah
aliran-aliran aqidah
atau ilmu kalam yang
dianggap sesat dan
sudah berkembang di
saat itu, seperti:
Qadariyyah,
Jabbariyyah, Khawarij,
Syi'ah, dan Mu'tazilah.
Pendek kata,
Asy'ariyyah menurut
kaum Salafi & Wahabi
adalah bukan
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, melainkan
aliran bid'ah yang harus
dijauhi. Perhatikanlah
fatwa-fatwa ulama
Salafi & Wahabi berikut
ini:
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin
berkata:
"Kemudian muncul juga
kelompok yang lain, dan
mereka menyebut
dirinya Asy'ariyah.
Mereka mengingkari
sebagian sifat Allah dan
menetapkan sebagian
yang lain. Mereka
menetapkan sifat-sifat
tersebut berdasar
kepada akal. Maka
tidak diragukan lagi
bahwa hal itu
merupakan bid'ah dan
perkara baru dalam
agama
Islam" (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin
Musa Alu Nashr
berkata:
"Tetapi, apakah
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
Ahlussunnah, ataukah
mereka termasuk Ahli
Kalam? Hakikatnya,
mereka ini termasuk
Ahli Kalam. Mereka
bukan termasuk
Ahlussunnah, walaupun
mereka ahlul-millah,
ahli qiblah (umat Islam).
Dikarenakan al-
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
menyelisihi Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" ( lihat
Majalah As-Sunnah,
edisi 01/tahun XII, April
208, hal. 35).
Ungkapan di atas
adalah sebuah fitnah
dan penipuan besar
terhadap Asy'ariyyah,
sebab tidak seorang pun
dari ulama yang
menyatakan hal seperti
itu kecuali kaum Salafi
& Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah memang
bukan hanya milik
Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah saja. Siapa
saja yang berpegang
kepada al-Qur'an,
Sunnah Rasulullah Saw.,
dan atsar para Shahabat
beliau adalah termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, baik sebelum
Asy'ariyyah muncul atau
sesudahnya. Akan
tetapi, aqidah
(keyakinan)
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah seperti itu
belumlah tersusun
secara rapi dan masih
terpencar-pencar di
masa ulama salaf,
mengingat pada masa
itu para ulama
menghadapi cobaan
berat dari penguasa
yang beraqidah
Mu'tazilah (lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, hal.
16).
Barulah pada masa
berikutnya, muncul Abul
Hasan Al-Asy'ari yang
menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah sebagai sebuah
perhatian khusus, dan
beliau bekerja keras
menyebarluaskannya di
kalangan umat sebagai
suatu rumusan yang rapi
sekaligus sebagai
bantahan-bantahan
terhadap aliran
Mu'tazilah. Dengan
sebab itulah maka Abul
Hasan al-Asy'ari
dianggap sebagai
pelopor atau pemimpin
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan para
pengikutnya yang
disebut Asya'irah secara
otomatis termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Perhatikanlah
pernyataan para ulama
berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ
السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ
بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ
وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
(إتحاف سادات المتقين،
محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6 )
"Apabila disebut nama
Ahlussunnah secara
umum, maka maksudnya
adalah Asya'irah (para
pengikut faham Abul
Hasan al-Asy'ari) dan
Maturidiyah (para
pengikut faham Abu
Manshur al-
Maturidi" (Ithaf Sadat
al-Muttaqin,
Muhammad Az-Zabidi,
juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو
الوجوب فمجمع عليه في
جميع الملل وواضعه أبو
الحسن الأشعري وإليه
تنسب أهل السنة حتى
لقبوا بالأشاعرة
(الفواكه الدواني، أحمد
النفراوي المالكي، دار
الفكر، بيروت، 1415، ج:
1 ص: 38 )
"Adapun hukumnya
(mempelajari ilmu
aqidah) secara umum
adalah wajib, maka
telah disepakati ulama
pada semua ajaran. Dan
penyusunnya adalah
Abul Hasan Al-Asy'ari,
kepadanyalah
dinisbatkan (nama)
Ahlussunnah sehingga
dijuluki dengan
Asya'irah (pengikut
faham Abul Hasan al-
Asy'ari)" (Al-Fawakih
ad-Duwani, Ahmad an-
Nafrawi al-Maliki, Dar
el-Fikr, Beirut, 1415, juz
1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
(الفواكه الدواني ج: 1 ص :
103)
"Begitu pula menurut
Ahlussunnah dan
pemimpin mereka Abul
Hasan al-Asy'ari dan
Abu Manshur al-
Maturidi" (Al-Fawakih
ad-Duwani, juz 1 hal.
103)
وأهل الحق عبارة عن أهل
السنة أشاعرة وماتريدية
أو المراد بهم من كان على
سنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم فيشمل من
كان قبل ظهور الشيخين
أعني أبا الحسن الأشعري
وأبا منصور الماتريدي
(حاشية العدوي، علي
الصعيدي العدوي، دار
الفكر، بيروت، 1412 ج.
1، ص. 151 )
"Dan Ahlul-Haqq (orang-
orang yang berjalan di
atas kebenaran) adalah
gambaran tentang
Ahlussunnah Asya'irah
dan Maturidiyah, atau
maksudnya mereka
adalah orang-orang
yang berada di atas
sunnah Rasulullah Saw.,
maka mencakup orang-
orang yang hidup
sebelum munculnya dua
orang syaikh tersebut,
yaitu Abul Hasan al-
Asy'ari dan Abu
Manshur al-
Maturidi" (Hasyiyah
Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi
Al-'Adwi, Dar El-Fikr,
Beirut, 1412, juz 1, hal.
105).
والمراد بالعلماء هم أهل
السنة والجماعة وهم أتباع
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
رضي الله عنهما (حاشية
الطحطاوي على مراقي
الفلاح، أحمد الطحطاوي
الحنفي، مكتبة البابي
الحلبي، مصر، 1318، ج.
1، ص. 4 )
"Dan yang dimaksud
dengan ulama adalah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan mereka
adalah para pengikut
Abul Hasan al-Asy'ari
dan Abu Manshur al-
Maturidi radhiyallaahu
'anhumaa (semoga Allah
ridha kepada
keduanya)" (Hasyiyah
At-Thahthawi 'ala
Maraqi al-Falah, Ahmad
At-Thahthawi al-Hanafi,
Maktabah al-Babi al-
Halabi, Mesir, 1318, juz
1, hal. 4).
Pernyataan para ulama
di atas menunjukkan
bahwa tuduhan dan
fitnahan kaum Salafi &
Wahabi terhadap
Asy'ariyyah adalah tidak
benar dan merupakan
kebohongan yang diada-
adakan. Di satu sisi
mereka mengeliminasi
(meniadakan)
Asy'ariyyah dari daftar
kumpulan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, di sisi lain
mereka malah dengan
yakinnya menyatakan
diri sebagai kelompok
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang
sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah di masa
belakangan yang
diajarkan oleh para
ulama di dalam kitab-
kitab mereka tidak ada
yang tidak berhubungan
dengan Asy'ariyyah,
malah hubungan ini
seperti sudah menjadi
mata rantai yang baku
dalam mempelajari ilmu
aqidah. Hanya kaum
Salafi & Wahabi lah
yang menolak adanya
hubungan itu, dan
dalam mengajarkan
ilmu aqidah mereka
langsung berhubungan
dengan ajaran para
ulama salaf. Padahal
Abul Hasan al-Asy'ari
sudah lebih dulu
menjelaskan ajaran
para ulama salaf
tersebut jauh-jauh hari
sebelum kaum Salafi &
Wahabi muncul, apalagi
masa hidup beliau
sangat dekat dengan
masa hidup para ulama
salaf.
Sebutan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah bagi
Asy'ariyyah dan
"pemimpin Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" bagi Abul
Hasan al-Asy'ari,
hanyalah sebagai suatu
penghargaan dari para
ulama setelah beliau
atas jasa-jasa beliau
dalam menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah serta
perjuangan beliau
dalam mempopulerkan
dan
menyebarluaskannya di
saat aqidah sesat
Mu'tazilah masih
berkuasa. Tentunya, ini
tidak berarti bahwa
faham Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah adalah
satu-satunya yang sah
disebut sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, sebab baik
Abul Hasan al-Asy'ari
maupun Abu Manshur
al-Maturidi hanyalah
menyusun apa yang
sudah diyakini oleh para
ulama salaf yang
bersumber kepada al-
Qur'an, Sunnah
Rasulullah Saw., dan
atsar para Shahabat.
Jadi, mereka hanya
menyusun apa yang
sudah ada, bukan
mencipta keyakinan
yang sama sekali baru.
Di saat para ulama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah merasa
berbahagia dengan
mengakui diri sebagai
pengikut ajaran
Asy'ariyyah, kaum Salafi
& Wahabi justeru malah
melepaskan diri dari
ikatan itu, dan
memberlakukan
terminologi umum
tentang Ahlussunnah
wal-Jama'ah yang tidak
ada hubungannya
dengan Asy'ariyyah. Itu
memang hak mereka,
tetapi masalahnya, bila
di dalam mempelajari
aqidah tidak ada format
baku yang disepakati
atau tidak ada ikatan
yang jelas dengan para
ulama terdahulu dalam
memahami al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta atsar para
Shahabat, maka akan
ada banyak orang yang
dapat seenaknya
mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah dengan hanya
bermodal dalil-dalil
yang mereka pahami
sendiri. Dan keadaan ini
berbahaya bagi
keselamatan aqidah
umat Islam.
Sebagai contoh, kaum
Salafi & Wahabi boleh
saja mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang tidak ada
hubungan sejarah
dengan Asy'ariyyah,
tetapi asal tahu saja,
ternyata tidak seorang
pun ulama Ahlussunnah
Wal-Jama'ah yang
berfatwa atau
berpendapat seperti
mereka bahwa memuji
dan menyanjung
Rasulullah Saw.,
bertawassul dengan
beliau setelah wafatnya,
dan bertawassul dengan
para wali atau orang
shaleh yang sudah
meninggal adalah
sebuah sarana
kemusyrikan. Jadi,
siapakah yang lebih
pantas disebut
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, kaum Salafi &
Wahabi yang memahami
aqidah para ulama salaf
dengan caranya sendiri
sehingga berbeda
kesimpulan dengan para
ulama salaf itu, ataukah
para pengikut
Asy'ariyyah yang
menerima ajaran aqidah
ulama salaf secara
turun temurun dari
generasi ke generasi
melalui para guru dan
kitab-kitab mereka?
sumber:
www.daarulmukhtar.org

Senin, 21 Februari 2011

IBLIS DI TUNTUT UNTUK JUJUR, KETIKA BERTAMU KE NABI MUHAMMAD S.A.W.W.





Dari Muadz bin Jabal dari Ibn Abbas: Ketika kami sedang bersama Rasulullah SAW di kediaman seorang sahabat Anshar, tiba-tiba terdengar panggilan seseorang dari luar rumah:
 "Wahai penghuni rumah, bolehkah aku masuk? Sebab kalian akan membutuhkanku."
 Rasulullah bersabda: "Tahukah kalian siapa yang memanggil?"
 Kami menjawab: "Allah dan rasulNya yang lebih tahu".
 Beliau melanjutkan, "Itu iblis, laknat Allah bersamanya".
 Umar bin Khattab berkata: "izinkan aku membunuhnya wahai Rasulullah".
 Nabi menahannya: "Sabar wahai Umar, bukankah kamu tahu bahwa Allah memberinya kesempatan hingga hari kiamat? Lebih baik bukakan pintu untuknya, sebab dia telah diperintahkan untuk ini, pahamilah apa yang hendak ia katakan dan dengarkan dengan baik."
 Ibnu Abbas RA berkata: pintu lalu dibuka, ternyata dia seperti seorang kakek yang cacat satu matanya. Di janggutnya terdapat 7 helai rambut seperti rambut kuda, taringnya terlihat seperti taring babi, bibirnya seperti bibir sapi. Iblis berkata: "Salam untukmu Muhammad. Salam untukmu para hadirin",
 Rasulullah SAW lalu menjawab: "Salam hanya milik Allah SWT. Sebagai mahluk terlaknat, apa keperluanmu?"
 Iblis menjawab: "Wahai Muhammad, aku datang ke sini bukan atas kemauanku, namun karena terpaksa". "Siapa yang memaksamu? " "Seorang malaikat utusan Allah mendatangiku dan berkata: Allah SWT memerintahkanmu untuk mendatangi Muhammad sambil menundukkan diri. Beritahu Muhammad tentang caramu dalam menggoda manusia. Jawabalah dengan jujur semua pertanyaannya. Demi kebesaran Allah, andai kau berdusta satu kali saja, maka Allah akan jadikan dirimu debu yang ditiup angin". "Oleh karena itu aku sekarang mendatangimu. Tanyalah apa yang hendak kau tanyakan. jika aku berdusta, aku akan dicaci oleh setiap musuhku. Tidak ada sesuatu pun yang paling besar menimpaku daripada cacian musuh.
ORANG YANG DI BENCI IBLIS
Rasulullah SAW lalu bertanya kepada Iblis:

 "Kalau kau benar jujur, siapakah manusia yang paling kau benci?" Iblis segera menjawab: "Kamu, kamu dan orang sepertimu adalah mahkluk Allah yang paling aku benci."
 "Siapa selanjutnya?" tanya Rasulullah. "Pemuda yang bertakwa yang memberikan dirinya mengabdi kepada Allah SWT."
 "Lalu siapa lagi?" "Orang Alim dan wara' (Loyal)"
 "Lalu siapa lagi?" "Orang yang selalu bersuci."
 "Siapa lagi?" "Seorang fakir yang sabar dan tak pernah mengeluhkan kesulitannnya kepada orang lain." "Apa tanda kesabarannya?" " Wahai Muhammad, jika ia tidak mengeluhkan kesulitannya kepada orang lain selama 3 hari, Allah akan memberi pahala orang-orang yang sabar"
. "Selanjutnya apa?" "Orang kaya yang bersyukur"
 "Apa tanda kesyukurannya?" "Ia mengambil kekayaannya dari tempatnya, dan mengeluarkannya juga dari tempatnya."
 "Orang seperti apa Abu Bakar menurutmu?" "Ia tidak pernah menurutiku di masa jahiliyah, apalagi dalam Islam."
 "Umar bin Khattab?" "Demi Allah setiap berjumpa dengannya aku pasti kabur."
 "Usman bin Affan?" "Aku malu kepada orang yang malaikat pun malu kepadanya."
 "Ali bin Abi Thalib?" " Aku berharap darinya agar kepalaku selamat, dan berharap ia melepaskanku dan aku melepaskannya. Tetapi ia tak akan mau melakukan itu."
 (Ali bin Abi Thalib selau berdzikir terhadap Allah SWT).


AMALAN YANG DAPAT MENYAKITI IBLIS

"Apa yang kau rasakan jika melihat seseorang dari umatku yang hendak saalat?" "Aku merasa panas dingin dan gemetar."
 "Kenapa?" "Sebab, setiap seorang hamba bersujud 1x kepada Allah, Allah mengangkatnya 1 derajat."
  "Jika seorang umatku berpuasa?" "Tubuhku terasa terikat hingga ia berbuka."
 "Jika ia berhaji?" "Aku seperti orang gila."
 "Jika ia membaca Alquran?" "Aku merasa meleleh laksana timah di atas api."
 "Jika ia bersedekah?" "Itu sama saja orang tersebut membelah tubuhku dengan gergaji."
 "Mengapa bisa begitu?" "Sebab dalam sedekah ada 4 keuntungan baginya. yaitu keberkahan dalam hartanya, hidupnya disukai, sedekah itu kelak akan menjadi hijab antara dirinya dengan api neraka dan segala macam musibah akan terhalau dari dirinya."
 "Apa yang dapat mematahkan pinggangmu?" "Suara kuda perang di jalan Allah."
 "Apa yang dapat melelehkan tubuhmu?" "Taubat orang yang bertaubat."
 "Apa yang dapat membakar hatimu?" "Istighfar di waktu siang dan malam."
 "Apa yang dapat mencoreng wajahmu?" "Sedekah yang diam - diam."  
 "Apa yang dapat menusuk matamu?" "Salat fajar"
 "Apa yang dapat memukul kepalamu?" "Saalat berjamaah."
 "Apa yang paling mengganggumu?" "Majelis para ulama."
 "Bagaimana cara makanmu?" "Dengan tangan kiri dan jariku."
 "Dimanakah kau menaungi anak - anakmu di musim panas?" "Di bawah kuku manusia." Manusia yang Menjadi Teman Iblis

 Nabi lalu bertanya:

 "Siapa temanmu wahai Iblis?" "Pemakan riba" "Siapa sahabatmu?" "Pezina"
 "Siapa teman tidurmu?" "Pemabuk"
 "Siapa tamumu?" "Pencuri"
 "Siapa utusanmu?" "Tukang sihir"
 "Apa yang membuatmu gembira?" "Bersumpah dengan cerai"
 "Siapa kekasihmu?" "Orang yang meninggalkan salat Jumaat"
 "Siapa manusia yang paling membahagiakanmu?" "Orang yang meninggalkan salatnya dengan sengaja"

IBLIS TIDAK BERDAYA DI HADAPAN ORANG IKHLAS
Rasulullah SAW lalu bersabda: "Segala puji bagi Allah yang telah membahagiakan umatku dan menyengsarakanmu." Iblis segera menimpali: " tidak, tidak. Tak akan ada kebahagiaan selama aku hidup hingga hari akhir. Bagaimana kau bisa berbahagia dengan umatmu, sementara aku bisa masuk ke dalam aliran darah mereka dan mereka tak bisa melihatku. Demi yang menciptakan diriku dan memberikan ku kesempatan hingga hari akhir, aku akan menyesatkan mereka semua. Baik yang bodoh, atau yang pintar, yang bisa membaca dan tidak bisa membaca, yang durjana dan yang saleh, kecuali hamba Allah yang ikhlas." "Siapa orang yang ikhlas menurutmu?" "Tidakkah kau tahu wahai Muhammad, bahwa barang siapa yang menyukai emas dan perak, ia bukan orang yang ikhlas. Jika kau lihat seseorang yang tidak menyukai dinar dan dirham, tidak suka pujian dan sanjungan, aku bisa pastikan bahwa ia orang yang ikhlas, maka aku meninggalkannya. Selama seorang hamba masih menyukai harta dan sanjungan dan hatinya selalu terikat dengan kesenangan dunia, ia sangat patuh padaku."


Iblis Dibantu oleh 70.000 anak - anaknya

Tahukah kamu Muhammad, bahwa aku mempunyai 70.000 anak. Dan setiap anak memiliki 70.000 syaithan. Sebagian ada yang aku tugaskan untuk mengganggu ulama. Sebagian untuk menggangu anak-anak muda, sebagian untuk menganggu orang- orang tua, sebagian untuk menggangu wanta-wanita tua, sebagian anak-anakku juga aku tugaskan kepada para Zahid. Aku punya anak yang suka mengencingi telinga manusia sehingga ia tidur pada salat berjamaah. Tanpanya, manusia tidak akan mengantuk pada waktu salat berjamaah. Aku punya anak yang suka menaburkan sesuatu di mata orang yang sedang mendengarkan ceramah ulama hingga mereka tertidur dan pahalanya terhapus. Aku punya anak yang senang berada di lidah manusia. Jika seseorang melakukan kebajikan lalu ia beberkan kepada manusia, maka 99% pahalanya akan terhapus. Pada setiap seorang wanita yang berjalan, anakku dan syaithan duduk di pinggul dan pahanya, lalu menghiasinya agar setiap orang memandanginya. Syaithan juga berkata, "keluarkan tanganmu", lalu ia mengeluarkan tangannya lalu syaithan pun menghiasi kukunya. Mereka, anak-anakku selalu meyusup dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya, dari satu pintu ke pintu yang lainnya untuk menggoda manusia hingga mereka terhempas dari keikhlasan mereka. Akhirnya mereka menyembah Allah tanpa ikhlas, namun mereka tidak merasa. Tahukah kamu, Muhammad? bahwa ada rahib yang telah beribadat kepada Allah selama 70 tahun. Setiap orang sakit yang didoakan olehnya, sembuh seketika. Aku terus menggodanya hingga ia berzina, membunuh dan kufur.


10 Permintaan Iblis kepada Allah SWT

Tahukah kau Muhammad, dusta berasal dari diriku? Akulah mahluk pertama yang berdusta. Pendusta adalah sahabatku. barangsiapa bersumpah dengan berdusta, ia kekasihku. Tahukah kau Muhammad? Aku bersumpah kepada Adam dan Hawa dengan nama Allah bahwa aku benar-benar menasihatinya. Sumpah dusta adalah kegemaranku. Ghibah (gosip) dan Namimah (adu domba) kesenanganku. Kesaksian palsu kegembiraanku. Orang yang bersumpah untuk menceraikan istrinya ia berada di pinggir dosa walau hanya sekali dan walaupun ia benar. Sebab barang siapa membiasakan dengan kata-kata cerai, isterinya menjadi haram baginya. Kemudian ia akan beranak cucu hingga hari kiamat. Jadi semua anak-anak zina dan ia masuk neraka hanya karena satu kalimat, Cerai. Wahai Muhammad, umatmu ada yang suka mengulur ulur salat. Setiap ia hendak berdiri untuk salat, aku bisikan padanya waktu masih lama, kamu masih sibuk, lalu ia manundanya hingga ia melaksanakan salat di luar waktu, maka shalat itu dipukulkannya kemukanya. Jika ia berhasil mengalahkanku, aku biarkan ia salat. Namun aku bisikkan ke telinganya 'lihat kiri dan kananmu', ia pun menoleh. Pada saat itu aku usap dengan tanganku dan kucium keningnya serta aku katakan 'salatmu tidak sah'. Bukankah kamu tahu Muhammad, orang yang banyak menoleh dalam salatnya akan dipukul. Jika ia salat sendirian, aku suruh dia untuk bergegas. Ia pun salat seperti ayam yang mematuk beras. Jika ia berhasil mengalahkanku dan ia salat berjamaah, aku ikat lehernya dengan tali, hingga ia mengangkat kepalanya sebelum imam, atau meletakkannya sebelum imam. Kamu tahu bahwa melakukan itu batal salatnya dan wajahnya akan diubah menjadi wajah keledai. Jika ia berhasil mengalahkanku, aku tiup hidungnya hingga ia menguap dalam salat. Jika ia tidak menutup mulutnya ketika menguap, syaithan akan masuk ke dalam dirinya, dan membuatnya menjadi bertambah serakah dan gila dunia. Dan ia pun semakin taat padaku. Kebahagiaan apa untukmu, sedangan aku memerintahkan orang miskin agar meninggalkan salat. Aku katakan padanya, "kamu tidak wajib salat, salat hanya wajib untuk orang yang berkecukupan dan sehat. Orang sakit dan miskin tidak. Jika kehidupanmu telah berubah baru kau salat." Ia pun mati dalam kekafiran. Jika ia mati sambil meninggalkan salat maka Allah akan menemuinya dalam kemurkaan. Wahai Muhammad, jika aku berdusta Allah akan menjadikanku debu. Wahai Muhammad, apakah kau akan bergembira dengan umatmu padahal aku mengeluarkan seperenam mereka dari Islam?"

"Berapa yang kau pinta dari Tuhanmu?" "10 macam" "Apa saja?" "Aku minta agar Allah membiarkanku berbagi dalam harta dan anak manusia, Allah mengizinkan. Allah berfirman, "Berbagilah dengan manusia dalam harta dan anak. Dan janjikanlah mereka, tidaklah janji setan kecuali tipuan." (QS Al-Isra :64) Harta yang tidak dizakatkan, aku makan darinya. Aku juga makan dari makanan haram dan yang bercampur dengan riba. Aku juga makan dari makanan yang tidak dibacakan nama Allah. Aku minta agar Allah membiarkanku ikut bersama dengan orang yang berhubungan dengan istrinya tanpa berlindung dengan Allah. Maka setan ikut bersamanya dan anak yang dilahirkan akan sangat patuh kepada syaithan. Aku minta agar bisa ikut bersama dengan orang yang menaiki kendaraan bukan untuk tujuan yang halal. Aku minta agar Allah menjadikan kamar mandi sebagai rumahku. Aku minta agar Allah menjadikan pasar sebagai masjidku. Aku minta agar Allah menjadikan syair sebagai Quranku. Aku minta agar Allah menjadikan pemabuk sebagai teman tidurku. Aku minta agar Allah memberikanku saudara, maka Ia jadikan orang yang membelanjakan hartanya untuk maksiat sebagai saudaraku. Allah berfirman, "Orang - orang boros adalah saudara - saudara syaithan. " (QS Al-Isra : 27) Wahai Muhammad, aku minta agar Allah membuatku bisa melihat manusia sementara mereka tidak bisa melihatku. Dan aku minta agar Allah memberiku kemampuan untuk mengalir dalam aliran darah manusia. Allah menjawab, "silahkan", aku bangga dengan hal itu hingga hari kiamat. Sebagian besar manusia bersamaku di hari kiamat. Iblis berkata: "Wahai Muhammad, aku tak bisa menyesatkan orang sedikitpun, aku hanya bisa membisikan dan menggoda." Jika aku bisa menyesatkan, tak akan tersisa seorangpun. Sebagaimana dirimu, kamu tidak bisa memberi hidayah sedikitpun, engkau hanya rasul yang menyampaikan amanah. Jika kau bisa memberi hidayah, tak akan ada seorang kafir pun di muka bumi ini. Kau hanya bisa menjadi penyebab untuk orang yang telah ditentukan sengsara. Orang yang bahagia adalah orang yang telah ditulis bahagia sejak di perut ibunya. Dan orang yang sengsara adalah orang yang telah ditulis sengsara semenjak dalam kandungan ibunya. Rasulullah SAW lalu membaca ayat: "mereka akan terus berselisih kecuali orang yang dirahmati oleh Allah SWT" (QS Hud :118 - 119). Juga membaca, " Sesungguhnya ketentuan Allah pasti berlaku" (QS Al-Ahzab: 38) Iblis lalu berkata: " Wahai Rasul Allah takdir telah ditentukan dan pena takdir telah kering. Maha Suci Allah yang menjadikanmu pemimpin para nabi dan rasul, pemimpin penduduk surga, dan yang telah menjadikan aku pemimpin mahluk- mahluk celaka dan pemimpin penduduk neraka. Aku si celaka yang terusir. Ini akhir yang ingin aku sampaikan kepadamu. Dan aku tak berbohong".