Selasa, 15 Februari 2011

RIZKI

Semua rizki makhluk telah ditanggung oleh Allah SWT, maka suatu dawuh mengatakan:
”Bebaskan dirimu dari tadbir(mengatur). Engkau istirahatkan dirimu dari mengatur dirimu. ” Dalam segala bidang baik soal ekonomi, sandang, pangan papan dll. Janganlah kamu mengatur dirimu sendiri, janganlah merepotkan diri sendiri kangelan untuk mengatur itu. Sebab hal-hal yang sudah ada yang kompeten untuk mengurusnya, kamu jangan campur tangan. Hal-hal yang sudah diurus dan dirampungkan orang lain, jangan mencampurinya. Bidangmu, kewajibanmu masih banyak yang harus dikerjakan, jadi mudahnya bahwa tadbir itu mengatur. Misalnya soal ekonomi, soal makan itu sudah diatur,diurus oleh Tuhan.

”Dan tidak ada satu binatangpun di bumi (termasuk manusia)  melainkan Tuhan yang memberi rizki. Dan Tuhan yang Maha Mengetahui tempat tinggal dan tempat-tempat berlindungnya. ”(QS. Hud: 6)

“Daabbah” barang hidup yang ada di bumi ataupun yang ada dilainya bumi. Itu semua “ ILLA ‘ALALLOHI RIZQUHA” tidak ada selain Allah yang menanggung rizkinya. Jadi kalau rizkinya sudah ditanggung Tuhan, di cukupi Tuhan lalu ikut cawe-cawe soal yang sudah dicukupi itu maka: Pertama: tidak ada gunanya sebab dia masih ada tugas atau kewajiban yang lain.Kedua: namanya menggasab hak orang lain, kompetensi lain. Yaitu haknya Tuhan, sebab Tuhan yang mencukupi kenapa ikut campur. Maka semua makhluk yang hidup rizkinya sudah dicukupi Tuhan, jadi manusia tidak perlu memikirkan soal rizki. Rizki yang ditangung oleh Allah SWT itu adalah Rizki primer yaitu rizki yang kalau tidak ada rizki itu menyebabkan tidak bisa hidup atau mati. Ini yang ditanggung Tuhan, terbatas. Adapun lainya, itu tidak ditanggung Tuhan. Umumnya mengenai banyak sedikitnya yang dibutuhkan manusia itu relative, sekian kurang, sekian kurang tidak ada batasnya, umpamanya satu gelas air. Kalau tidak ada satu gelas ini bisa mati. Ya satu gelas ini yang di tanggung Tuhan. Adapun yang lain yang lebih bahkan berlimpah-limpah tidak ditanggung Tuhan. Dengan demikian mengatur atau mengusahakan, memperhatikan apa-apa yang sudah ditanggung Tuhan, itu namanya buang-buang waktu dan tenaga, tidak boleh. Maksudnya tidak boleh itu kalau tidak didasari LILLAH-BILLAH. Kalau LILLAH-BILLAH itu bukan ikut campur tapi melaksanakan perintah (LILLAH).

 Jadi jangan sampai salah penafsirkan. Memperhatikan dengan LILLAH-BILLAH, ini yang memperhatikan Tuhan (BILLAH). Jadi hanya ujud lahirnya saja memperhatikan, sedang sesungguhnya yang memperhatikan itu Allah (BILLAH). Disamping itu dengan dasar niat LILLAH dan BILLAH berarti melaksanakan perintah, bukan di dorong oleh keinginan nafsu atau kebutuhan hawa nafsu. Dengan demikian baik itu rizki yang ditanggung Tuhan, yang terbatas atau rizki yang tidak ditanggung yang tidak terbatas, mengusahakan, memikirkan atau memperhatikannya kalau tidak didasari LILLAH BILLAH itu terkecam. Tapi kalau didasari LILLAH-BILLAH dengan sendiri sudah tidak menjadi persoalan lagi. Rizki yang bertumpuk-tumpuk, yang melampaui batas, yang keterlaluan sekalipun dengan niat LILLAH tidak boleh. Sebab lalu “ISROF” namanya melampaui batas atau berlebih-lebihan. Ya harus sekedarnya, jangan sampai menyolok kekayaanya, padahal dimasyarakat masih banyak yang kelaparan. Jadi orang yang sudah banyak rizkinya sangat menyoloki lalu masih mempeng, maka mempengnya tidak boleh diniati LILLAH. Sebab isrof dan isrof itu dilarang Tuhan. Padahal perkara yang dilarang Tuhan tidak boleh diniati LILLAH, suul adab. Sebab jelas itu nanti kekayaanya hanya untuk menumpuk harta buat kepentingan pribadinya sendiri. Kalau memang dasar LILLAH mestinya hasil yang lebih itu harus digunakan untuk menolong kepada siapa- siapa yang wajar ditolong dan untuk membiayai apa-apa yang harus, patut dibiayai. Jadi soal LILLAH itu terbatas hanya buat soal-soal yang diridhai Allah SWT wa Rasuluhi SAW. Soal mengatur atau mengusahakan masalah ekonomi misalnya,

pertama: yang diridhai Allah SWT wa Rasulihi SAW. Dan jangan sampai merugikan pihak lain.
Kedua: harus didasari LILLAH dan BILLAH. Kalau sungguh-sungguh didasari LILLAH-BILLAH ini bukan ikut campur sebab BILLAH. Jadi bukan dia yang memperhatikan.
Dan LILLAH berarti melaksanakan perintah.

Dawuh Syekh Sahal At- Tustari: ”Barangsiapa mengecam usaha, berarti mengecam sunah Rasulullah SAW. ” “Dan barangsiapa mengecam tawakkal, berarti mengecam iman.” Memang sudah diqodar begini, begitu kemudian dikecam, ini sama saja mengecam iman. Soal usaha atau ikhtiyar misalnya, orang kok hanya usaha saja tidak mau tawakkal tidak mau pasrah saja pada Tuhan, mengecam begini sama dengan mengecam sunah Rasulullah SAW. Menyalahi sunah atau ajaran yang dibawa Rasulullah SAW, dibidang syari ’at. Begitu juga barangsiapa mengecam tawakkal tidak mau usaha, tidak mau ikhtiyar umpamanya, ini namanya mengecam atau meninggalkan iman. Maka kedua-duanya harus diisi. Mengisi bidang syari ’at, usaha, beramal, bekerja, tapi dalam pada itu harus yakin, iman bahwa segala sesuatu Tuhan yang menciptakan, yang menentukan. Bukan karena amalku, usahaku. Bahkan amalku, usahaku ini BILLAH Tuhan yang menciptakan, harus begitu. Ada istilah: ”Tawakkal itu bergerak tapi diam, diam tapi bergerak ”. ”Idltidrob” bergerak anti diam (aktif dan dinamis) Tapi “Wa salukunun bila idltirob” diam anti bergerak (pasrah, menyerah). Artinya lahiriyahnya harus bergerak usaha, jangan pasif, tapi hatinya tentram, tenang dan yakin iman kepada Allah SWT. ”BILA IDLTIROB” tidak goyang, tidak mamang, tidak bingung. Atau ada istilah lain, tapi soal kesadaran yaitu: ” AL-ARIF KAAINUN BAINUN” Orang yang sadar kepada Allah itu lahiriyahnya ditengah-tengah masyarakat KAAINUUN ” tapi batinya ”BAAINUN” jauh dari masyarakat. Hatinya senantiasa dihadapan Allah SWT wa Rasuluhi SAW. Jadi lahirnya berada ditengah-tengah masyarakat, berjuang untuk masyarakat tapi batinya senantiasa hudlur, senantiasa tawakkal, senantiasa berdepe-depe kepada Allah SWT.
Kegiatan mengusahakan apa-apa yang telah dijamin Allah bagimu yaitu rizkimu, disamping ketledoran dan keglonjomanmu melaksanakan apa-apa yang dikehendaki (diamanatkan) Allah kepadamu, itu menunjukkan butanya mata hatimu. Berusaha soal rizki jika sampai meneledorkan kewajiban terhadap ibadah kepada Allah SWT, sampai mengurangi amal- amal ibadah yang melancarkan jalan kesadaran kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW, terkecam. Membuktikan mata hati yang buta, buta terhadap Allah SWT. Itu baru usaha rizki yang pokok yang sangat dibutuhkan, lebih-lebih kalau usaha melebihi dari pada itu, lebih terkecam. Malah dalam syari ’at dilarang berlebih-lebihan (isrof). Tidak boleh.
Kesemuanya itu jika usaha tidak didasarkan niat LILLAH, menurut istilah Wahidiyah, disamping kesadaran Billah. Yaitu bahwa yang menggerakkan usaha itu adalah atas titah Allah SWT. Maka usaha soal Rizki baik kebutuhan yang pokok maupun kebutuhan lain-lain asal didasari LILLAH-BILLAH dan LIRRASUL-BIRRASUL seperti ajaran Wahidiyah itu tidak menjadi persoalan. Sebab dengan begitu otomatis berarti melakukan amal ibadah yang akan membawa pendekatan diri kepada Allah SWT wa Rasulihi SAW. Disamping itu otomatis menurut perhitungan asal betul-betul tepat LILLAH-BILLAH, LIRRASUL-BIRRASUL tidak mungkin sampai teledor atau glonjom melaksanakan amanat-amanat Allah SWT.
Secara umum amanat atau kehendak atau perintah Allah SWT menciptakan bangsa manusia dan bangsa jin di dunia ini tiada lain supaya mengabdikan diri kepadaNya. Sebagai firman Allah SWT:
”Dan tiada Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya (mereka) mengabdikan diri kepadaKu ”.(QS. Adz- Dzaariyaat: 56)

Dengan demikian marilah kita senantiasa mengoreksi diri kita, apakah termasuk orang yang ngoyo soal ekonomi, soal dunia dan disamping itu tledor dalam melaksanakan ”Liya’ buduuni” ataukah kita betul-betul sudah tepat LILLAH-BILLAH LIRRASUL-BIRRASUL. Allahu a ’lam

Tidak ada komentar: