Tampilkan postingan dengan label sunah nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunah nabi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Januari 2012

SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB







SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB



A. Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”

Sebelum ditinjau dari sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu arti dari kata “Mazhab” dan “Imam” itu.
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab fiqh pula, sebagaimana yang diterangkan Huzaemah Tahido, berarti:

Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Dia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal. Pengartian mazhab itu kemudian beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sebuah wilayah atau negara. Dia menjadi sumber rujukan dan pegangan yang dimulyakan sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan “Imam” dari sudut bahasa berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud sejalan dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin shalat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komunitas orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber belajar dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, otoritas mereka hanyalah tertuju kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4. Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam segitu hanya khusus untuk Mazhab Syi‘ah. Imam-imam itu bukan saja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki otoritas dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa tertuju kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.


B. Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam

Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiah, yaitu sejak zaman ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya ada 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rasyidin yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah di mana pada saat itulah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3. Pada era keruntuhan Islam, yaitu mulai zaman ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan kembali, Islam dan ilmu-ilmunya sama-sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.

Era Pertama

Era itu bermulai sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di Era itu sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bartindak sebagai guru. Itu sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana ) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (yaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadits. Hadits beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak mengatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadits) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk petunjuk wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bartindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan setiap perbuatan umat pada saat itu yang salah atau yang kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Urairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap yaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.
Saat aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Urairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama itu hanyalah apa yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada saat itu fiqh Islam mudah dipelajari dan setiap kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.
Setelah kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rasyidin yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telah lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rasyidin meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbedaan yang besar pada saat itu, yaitu wahyu tidak lagi diturunkan.
Dalam era empat khalifah itu, sempalan-sempalan Islam sudah mulai meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan itu, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum itu yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta dan sebagainya. Untuk mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh satu jawaban mayoritas yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang mempunyai masalah kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengannya. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.
Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) yaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.
Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.
Pada saat itu, para sahabat kebanyakan masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh karena itu tidaklah menjadi kesulitan untuk berbincang bersama mereka. Faktor itu memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu.

Dalam era itu, tidak wujud setiap mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, dia jar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

Era Kedua

Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyah, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti yaitu yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya memperhatikan kepada soal perluasan wilayah dan kekuasaan materi.
Dalam era itu banyak pengaruh luar yang berasal dari Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyah. Pola pemerintahan mulai bertukar sedikit-banyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan negara. Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti musik dan tari menari, ahli nujum, penebak nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari milik rakyat kepada kegunaan pribadi dan pelbagai pengadaan bea cukai baru. Pemerintah juga mulai membedakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen golongan di kalangan rakyat.
Pola pemerintahan Dinasti Umayyah itu digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan adanya Dinasti Umayyah itu, suatu era baru telah bermulai, yaitu lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hingga ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementingkan dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan wilayah walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah dalam.
Dari segi kenegaraan, boleh dikatakan Dinasti Umayyah telah sukses melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat untuk menjaga wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti itu jelas melambangkan keruntuhan dan kemerosotan dari Islam yang wujud sebelumnya.
Mereka (Umayyah) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan perwujudan wilayah dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.
Di kalangan pemerintah Dinasti Umayyah, hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang posisi pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman itulah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang benar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan setelah itu Dinasti Umayyah kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Setiap teguran dari para ulama’ ditepis dan barang siapa yang berani menentang dihukum diasingkan. Para ulama’ yang masuk istana adalah ulama yang dipilih khususuntuk menepati hasrat dan tuntutan pribadi saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah yang demikian menyebabkan ulama'-ulama' pada saat itu mulai menyisihkan diri dari istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih haus ajaran Islam yang sepenuhnya.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam itu ialah anak-anak didik didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang senangnya berhujah serta berfatwa melebihi dari kebiasaan. Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.
Justru itu banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” itu. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru itu tersebar ke daerah-daerah tatangga menyebabkan penduduk daerah tetangga juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Itu berlaku di beberapa daerah dan dengan itu wujudlah suasana belajar fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana segitu tidaklah dapat dihindari karena tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana itu berlanjut sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Sejalan dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorang an, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorang an itu pula wujud dalam suasana berkelompok atau kumpulan di sekitar seorang tokohnya dan itu merupakan noktah pertama kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa saat seperti pada musim haji.
Pada permulaian zaman ke 2H/8M, umat Islam sudah mulai merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyah. Suasana itu menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti itu dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diringkaskan oleh Ensiklopedi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati itu akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.
Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:

Pada pengujung Era Dinasti Umayyah, banyak orang mulai menyadari bahwa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Syi’ah yang selama itu memang tidak menerima pemerintahan Umayyah - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyah. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasiah…………
Keruntuhan Dinasti Umayyah menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasiah yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasiah dan Umayyah tidaklah sama di mana Dinasti Abbasiah mulai memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era itulah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:
Sebaik saja fiqh Islam memasuki era itu, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa itu memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era itu mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.
Dalam era itulah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era itulah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal……..
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan itu ialah mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyah lagi sebagaimana yang diterangkan sebelum itu. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga banyak orang dari segala pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.
Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian dari mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka itu pula ialah anak didik untuk tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi’i (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M). [15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas dimulyakan ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.
Setiap dari tokoh-tokoh itu mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai puncak sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh itu mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka. Perbedaan itu timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dihindari pada masa era itu seperti berijtihad secara berseorang an, tidak kesampaian sesuatu Hadits yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu adalah kecil dan insya-Allah akan diuraikan pada bagian berikutnya..
Perbedaan-perbedaan itu dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh yang dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat itulah yang diistilahkan sebagai Mazhab. (A particular school of thought).
Pada era itu juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagikan kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang untuk mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.
Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mulai dibukukan secara formal. Antara pembukuan pertama untuk ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf (al-Imam Abu Yusuf Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila (148H/765M), kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim (Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa kewafatannya pada tahun 182H/798M) dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi’i. Pembukuan dan penulisan kitab hadits yang pertama juga berlaku pada era itu atas saran Khalifah Harun al-Rashid (khalifah ke-5 bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu. Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya. Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M). kitab hadits pertama yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Setelah kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak didik mereka. Mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh karena itulah kita bisa dapati di era itu banyak orang di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), banyak orang di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan banyak orang di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasiah mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah saja sebagai mazhab rasmi dunia Islam saat itu. Suasana itu menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan itu menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan pendapat hanya atas tujuan pribadi dan hiburan istana. Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasiah itu memburukkan lagi suasana perkelompokan dan pribadi dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan itu menimbulkan suasana persaingan sesama mereka karena apabila salah satu diantara mereka kalah dalam perdebatan itu, dia bukan hanya kehilangan gaji uang dari pemerintah tetapi juga kehilangan reputasi dirinya.
Lebih dari itu kehilangan reputasi diri sangat berhubungan dengan kehilangan reputasi mazhab seseorang itu. Kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama dalam debat tersebut. Hasilnya, suasana persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.
Pada zaman ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadits seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka memperjuangkan seluruh tenaga, waktu dan hidup mereka untuk merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam masa itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadits-hadits Rasulullah ditapis dan dia nalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum dia diterima dan diberikan status sahih.
Malangnya pada saat itu, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal telah meninggal dunia. Itu sedikit-banyak ada hubungannya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka karena ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadits yang lemah atau tidak tepat karena tidak menjumpai hadits yang khusus sebagai dalil.
Permulaian zaman ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasiah mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Setelah tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada saat itu ajaran-ajaran fiqh Islam mulai terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada zaman ke 4H/10M dan seterusnya mulai terikut secara ketat kepada empat mazhab itu.
Di pengujung hidupDinasti Abbasiah itu, juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak, sehingga acara itu memunyai nama sendiri, yaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan saja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada banyak orang karena masing-masing membenarkan tokoh dan mazhab mereka.

Itu secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antar mazhab yang ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok itu sesuai peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mulai dibagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi, sehingga ahli-ahli ilmu pada zaman itu juga mulai mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didukung masing-masing.

Era Ketiga

Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiahh, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada saat itu juga, yaitu pada zaman-zaman ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mulai mengalami keruntuhan dan kemundurannya berbanding balik dengan negara-negara non-muslim.
Banyak faktor yang mendukung keruntuhan umat Islam pada saat itu, antaranya ialah:
1. Terlalu gembira dengan kejayaan yang telah dicapai,
2. Terlalu banyak hiburan duniawi hingga lupa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama atas tuntutan reputasi, jabatan, gaji, dan hal-hal duniawi yang lain.
Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubungan dengan mazhab-mazhab empat ialah wujudnya budaya taqlid, yaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya saja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu mayoritas umat pula sudah mulai
menerima hakikat perwujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti saja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih dari itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi slogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.
Para ulama’ juga tidak terlepas dari belenggu itu. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak sejalan dengan tuntutan mazhab resmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan diasingkandari wilayah atau negri asalnya. Ditambah pula, ke negeri manapun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justru itu para ulama’ sebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekali timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab itu akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, yaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah maupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid itu, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era itu kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul sejalan dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini .
Dengan meluasnya budaya taqlid itu, kefahaman umat Islam tentang agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya tertuju kepada bidang fiqh Islam saja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid itu dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya sendiri-sendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid karena yang sedemikian itu berarti mempermainkan agama.
Tak ada yang tartinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.
Seseorang yang mengaku melakukan ijtihad tidaklah diakui orang lain hasil ijtihadnya dan tak seorang pun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat itu telah menjadi kelompok manusia yang hanya bertaqlid kepada imam empat. Itulah yang dikatakan sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad.
Walaupun beberapa saat setelah itu (zaman ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan materi dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropa , itu tidak akan bertahan lama karena di balik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mulai melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika dia diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.
Beberapa kerajaan Islam saat itu mulai mengimpor dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana itu lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Itu mereka lakukan atas fahaman bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah sebagai apa yang tertulis dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.
Era itu berjalan terus dengan nasib umat Islam yang demikian, yaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.
Era Keempat
Pada zaman ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropa mulai mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropa mulai menjajah dan menaklukan negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka. Suasana itu mulai menyadar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenarnya. Umat Islam, meskipun sudah agak terlambat, mulai menyadari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.
Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.
Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan untuk umat Islam. Hubungan dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.
Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan itu terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama itu. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak.

Zaman ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bagian dunia Islam untuk menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan , kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.
Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.
Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan sendiri-sendiri , objektifnya tetap sama yaitu memajukan Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.
Mereka menekankan umat Islam untuk bangkit maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua bidang ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu duniawi karena memang pada asalnya kedua ilmu itu adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi itu saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah karena kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.
Usaha pembangunan umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku itu ditulis. Tokoh-tokoh agama di dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mulai diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dia njurkan tanpa henti-henti.
Akan tetapi usaha yang dilakukan itu masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau yang menentang terus ijtihadia h sezaman begitu . Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu fanatik kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan itu. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasanya Islam itu, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama pribadi yang dia malkan di rumah saja oleh barang siapa yang mengingitu nya. Golongan-golongan sebegitu lah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebegitu lah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.
Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Memang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rasyidin tidak wujud mazhab-mazhab Islam. Hanya karena sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, berikut diuraikan faktor-faktor penyebab untuk munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:

• Pola pemerintahan Umayyah yang tidak akur dan patuh kepada petunjuk para ulama’ yang wujud saat itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, dia ncam atau ditangkap. Itu menyebabkan ulama’-ulama’ era itu menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal itu menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam setiap persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyah.

• Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh karena Kerajaan Umayyah tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha itu jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara sendirian.

• Tidak wujud setiap sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman itu untuk membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh karena itu para ulama’ era itu terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadits yang diketahuinya.

• Dalam suasana itu timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cakap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mulai tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan banyak orang mulai bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.

• Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasiah melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era itu juga kehandalan beberapa tokoh pribadi tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘i di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka diistilahkan mazhab dan dari situlah bermulainya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘i dan Hanbali.

• Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasiah. Pemerintah-pemerintah Abbasiah melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gubernur atau mufti untuk wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Itu menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak suka kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.

• Menyadari wujudnya perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai menganjurkan acara perdebatan antara tokoh mazhab. Perbuatan itu menyebabkan persaingan dan perselisihan antar mazhab mulai memanas dan memuncak.

• Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiah, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman lahir juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka masing-masing dan mengangkat sebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan itu menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.

• Mulai masa itu umat Islam dan negara mereka mulai dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.

• Mulai zaman pertengahan hingga masa kini , umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu saja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.

Jika kita benar-benar menganalisa faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam itu, kita akan dapati dia wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-situ semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya dia tidak hilang dimakan masa, supaya umat setelah mereka dapat merujuknya.

Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab empat untuk membelahkan umat itu kepada empat kumpulan. Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi tertuju kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati banyak orang tanpa persetujuan mereka.

Oleh yang demikian kita tidak boleh memandang sebelah mata dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam itu. Malah jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab itulah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab itu boleh dirumuskan sebagai:

• Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama dari dicemari faktor-faktor politik.

• Berusaha menghidupkan ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.

• Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.


Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja.
Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.

Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sampai hari ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul Rahman:

Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal, yaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan jasa baik yang tidak tandingnya dalam bidang fiqh Islami.

Tiadalah seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain maupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya.

Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini . Insya-Allah di bagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab empat itu dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.







sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=263195737080591&set=a.227788947287937.57772.142545949145571&type=1&theater


Senin, 21 Februari 2011

Pentingnya Sanad Ke-guru-an

Assalamu'alaikum.

 Sanad adalah silsilah atau rantai yang menyambungkan kita dengan yang sebelum kita, hubungan, sanad adalah hubungan kalau secara bahasa sanad adalah sesuatu yang terkait kepada sesuatu yang lain atau sesuatu yang bertumpu pada sesuatu yang lain, tapi didalam maknanya ini secara istilahi adalah bersambungnya ikatan bathin kita, bersambungnya ikatan perkenalan kita dengan orang lain, sebagian besar adalah guru-guru kita yaitu orang yang dijadikan guru sanadnya atau hadits, sanad hadits misalnya mengambil dari fulan, dari fulan, dari fulan itu salah satu contoh sanad dan sanad kita sanad keguruan dari guru saya, guru saya dari gurunya, dari gurunya, dari gurunya, sampai Rasul shallallahu 'alaihi wasallam atau dari saya bermadzhabkan syafi’i karena guru saya bermadzhab syafi’i, saya ikut guru saya, guru saya ikut guru nya mahdzabnya syafi’i terus sampai ke imam syafi ’i itu sanad namanya.
Imam madzhab dari guru lebih berhak di panut dari pada melihat hanya dari buku atau dari internet saja, orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya, maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah.






 "Sanad adalah bagai rantai emas terkuat yg tak bisa diputus dunia dan akhirat, jika bergerak satu mata rantai maka bergerak seluruh mata rantai hingga ujungnya, yaitu Rasulullah saw," (Habib Munzir) Allah subhanahu wata'ala memberikan anugrah kepada kita guru, guru adalah panutan yang layak kita panut dan kita muliakan, guru adalah ayah Ruh, sedangkan ayah kita adalah ayah Jasad, guru adalah pewaris para Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, selama guru itu berjalan di jalan yang benar dan dia memanut gurunya, Guru yang baik itu adalah guru yang berusaha mengamalkan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan banyak para murid yang tidak mengerti, perbuatan gurunya itu sebenarnya perbuatan sunnah Rasul yang tidak di ketahui karna ia tidak tau, maka itu dia bertanya pada gurunya “guru setau saya di hadits begini, kenapa guru begini ?” oh begini ada Hadits lain, ini kenapa saya memilih ini ” hal seperti itu penting, dan ikuti guru yang mengikuti gurunya, kalau sudah guru tidak mengikuti gurunya, maka hati-hati guru ini dapat guru dari mana? sedangkan gurunya dapat dari yang lain, siapa guru yang lain...?      

                                                  

Jangan-jangan gurunya Syaitan, diliat gurunya mengikuti gurunya, berarti dia bisa belajar kepada guru dari gurunya, gurunya siapalagi diatasnya lagi, oh Imam anu, Syekh anu, dari anu, besar sanad gurumu 3 saja cukup apalagi Sanadnya sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. sekarang banyak guru yang mengaku “saya bersambung kepada Rasulullah, tapi mengikuti gurunya tidak? Kalau dia tidak mengikuti gurunya maka tentunya kita juga berfikir, walaupun kau punya seribu sanad, kalau tidak mengikuti gurunya berarti siapa, sanadnya kemana..? 
Hati-hati mengikuti guru, kalian itu kalau berguru itu seakan-akan sedang makanan untuk ruh kalian itu, kitakan kalau makan kita lihat apa yang kita makan, apakan makanan itu halal atau haram, apakah yang kita makanan ini racun apakan makanan yang bermanfaat, kalau jasad saja begitu, lebih-lebih ruh, di dalam mencari guru yang benar, guru yang baik mengikuti ahlusunah waljamaah, yang memang tidak berbeda dengan guru yang lain sama tuntunannya, baik orangnya yang mengamalkan amalan-amalan sunnah, dan walaupun tidak sempurna, tiada manusia yang sempurna, dia mengikuti gurunya, mencintai gurunya, di cintai gurunya, demikian gurunya juga orang mulia, gurunya lagi juga berguru pada gurunya. Demikian,

Kita Insya Allah sanad kita bersambung kepada Guru Mulia al Musnid Al alamah Al Habib Umar bin Hafidz, beliau ini tentunya sama sanatnya denagn para imam-imam besar, di Jakarta maupun di seluruh Indonesia, dari para Habaib, dan para Ulama, dan Para Khiyai, sanatnya bersambung kepada Syekh Tabbani, Al Habib Ali bin Muhammad Abdurrahman Al Habsyi kwitang, kepada Habib Salim bin Jindan, kepada Habib syekh Ali allatos, kepada Habib Umar bin Hud, Habib Salim alathos, pada Salafushalihin, banyak para-para ulama dan khiyai, yang sanadnya satu persatu bersambung dan bersambung kembali kepada satu sanad hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

 Ingat Nabi allah Musa As, yang Allah subhanahu wata'ala beri teguran
Allah SWT: “adakah yang lebih alim dari engkau ?” 
Nabi Musa a.s.: tidak ada “aku orang yang paling alim” 
Maka Allah menurunkan malaikat Jibril,
Malaikat Jibri; “ada orang yang lebih alim dari engkau wahai Musa ” 
Nabi Musa a.s: siapa tunjukan “ Khidir As” “dimana bisa kutemukan?” 
Malaikat Jibril: di pecahan antara dua laut, 
Maka Nabi Musa pun mencarinya, di dalam surat Al Kahfi, jumpa dengan Nabiallah Khidir, bagaimana adab seorang Rasul, Nabi Musa lebih tinggi derajatnya dari Nabi Khidir dihadapan Allah, karna Nabi Musa adalah Rasul, Nabi Khidir adalah Nabi, Nabi Musa lebih tinggi derajatnya namun karna ingin belajar ia berkata,
Nabi Musa a.s: “bolehkah aku ikut engkau untuk mendapatkan ilmu yang telah Allah berikan padamu”, ini ucapan seorang Rasulullah As, Nabi Khidir yang padahal derajatnya di bawahnya, di dalam kedekatan kepada Allah, namun Nabi Khidir mempunya ilmu-ilmu yang tidak di ketahui Nabi Musa, Nabi Musa ingin belajar
Nabi Musa a.s: “bolehkah aku ikut denganmu tuk belajar ilmu-ilmu yang Allah berikan kepadamu ”, 
Maka Nabi Khidir as berkata :"kau tidak akan bisa sampai ikut aku, kenapa karna beda jalannya, Nabiallah Khidir di jalan Makrifah, Nabiallah Musa dengan jalan syari’ah sebagai Rasul As, Namun kita lihat adab seorang Rasul, bahkan seorang Nabi ingin belajar kepada yang dibawah derajatnya. Demikian indahnya, Juga Imam Ahmad bin Hambal alaihi Rahmatullah berkata 30 tahun aku mendo’akan guruku itu, yaitu Al Imam Syafi ’i, tiap malam selama 30 tahun mendoakan guruku, sehingga ia akhirnya sampai kepada kelompok Huffadhudduniya (orang-orang yang paling banyak hafalan haditsnya), di seluruh dunia ini diantaranya Imam Ahmad bin Hambal alaihi Rahmatullah, hadirin hadirat banyak contoh akan hal ini, banyak kemuliaan akan hal ini. Demikian pula adab Al Imam Fakhrul wujud Abu Bakar Bin Salim alaihi rahmatullah, ketika dikatakan oleh gurunya bahwa “siapa itu Fakhrul wujud?, fakhrul wujud Abu bakar bin salim tidak menyamai seujung kukuku ini..!!, seperti ujung kukuku.. !!” ini kata gurunya, maka sampai kabar kepada al Imam Fakhrul wujud Abu Bakar bin Salim, Abu Bakar bin Salim sujud sukur, lalu dia berkata, ditanya oleh murid muridnya : “koq sujud syukur Kau di hina oleh gurumu?, dikatakan kau seujung kukunya ” dia berkata “aku bersyukur pada Allah, aku sudah seujung kuku guruku, itu kemuliaan besar bagiku ” demikian adab dari Imam Fakhrul Wujud Abu Bakar Bin Salim alaihi Rahmatullah kepada gurunya, sehingga dia memuliakan oleh Allah subhanahu wata'ala, melebihi gurunya hingga Allah memuliakan dia hingga dia melebihi gurunya. Kita semua masing- masing mempunyai guru, masing-masing memilih guru, di wilayah-wilayah kalian, namun hati- hati memilih guru, siapa gurunya apakah ia mengikuti gurunya, apakah gurunya Cuma Google atau yahoo. hati- hati pada guru-guru yang seperti itu, akhirnya semuanya Bid ’ah, semuanya syirik dan lain sebagainya, padahal Cuma nukil-nukil saja di internet, guru yang seperti itu tidak usah dijadikan guru, dijadikan teman saja, boleh nasehati dengan baik. Kita Mohon Rahmatnya Allah subhanahu wata'ala dengan keberkahan Guru2 mulia kita , agar Allah subhanahu wata'ala melimpahkan Rahmatnya kepada kita dan semoga Allah swt selalu menguatkan kita dalam keluhuran dunia dan akhirat bersama guru guru kita hingga Rasul saw.... Amiin Allahumma Amiin. 


majelisdinding.blogspot.com

Jumat, 04 Februari 2011

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW bag.1

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, menceritakan padaku akhlak Muhammad. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, ceritakan padaku keindahan dunia ini!. Badui ini menjawab, bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini... Ali menjawab, Òengkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa Khumairah oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur ’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur ’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-QurÕan berjalan. Badui ini\tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan QurÕan. Aisyah akhirnya
menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu ’minun[23]: 1-11.

      Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, ah semua perilakunya indah. ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap
Tuhanku terlebih dahulu. Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah. Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati
Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, mengapa engkau tidur di sini. Nabi Muhammmad menjawab, aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu. Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, berhati- hatilah kamu terhadapisterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya. Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka. Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. 

       Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi. Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia. Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain. Dalam riwayat lain disebutkan, 
Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta ’wil) mimpimu itu?
Rasul menjawab ilmu pengetahuan. Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an- Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali.
Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik. Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang mrekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela.
Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.