Tampilkan postingan dengan label biografi ulama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label biografi ulama. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Mei 2015

SEJARAH SYEKH SITI JENAR (Versi Yang Sebenarnya)


Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun.
Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya
sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.
Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah:
”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”,
artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”.
Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata,
“Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “
Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

 Bantahan saya: 

“Ini suatu penghina'an kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang b ersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah.
Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.


Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani.

Selasa, 26 Mei 2015

Sunan bonang



  Dari berbagai sumber di sebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering di sebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kerta bumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.

   Sebagai seorang Wali yang di segani dan di anggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

   Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah di beri pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

   Di sebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum  Wirid im dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama ahli tasawwuf yang berasal dari Bahgdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedang Raden Makdum Ibrahim di perintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang di sebut Bonang.

 

   Bonang adalah sejenis kuningan yang di tonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbulah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

 

   Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang cipta'an Raden Makdum Ibrahim.

 

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil di rebut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

 

   Tembang-tembang yang di ajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisi ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksa'an.

 

 Di antara tembang yang terkenal ialah:

 

Tamba ati iku ono 5 sak warnane,

Maca Qur'an angen-angen sak maknane,

Kaping pindho shalat sunah lakononana

Kaping telu wong kang saleh kancanana,

Kaping papat kudu weteng ingkang luwe,

Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

Sopo wonge kang bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyembadani.

Artinya:

Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.

>Pertama  membaca Al-Qur'an dengan artinya,

>Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),

>Ke tiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),

>Ke empat harus sering berprihatin (berpuasa),

>Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,

 Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah, Allah akan mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering di lantunkan para santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di pedesaan maupun di pesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat  memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang di sebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu di anggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh ke indahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang di simpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda .(Nederland)

   Suluk berasal dari bahasa Arab Salakat tariiqa artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tareqat. Ilmunya sering di sebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang di sebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa di sebut Wirid.

Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang di sebut Suluk Wragul
 

SULUK WRAGUL

   Dhandhang gula

Wragul 1

Berang-berang, jika di teliti ini raga

Belum ketemu hakikatnya

Ada atau tidakkah ia

Sebenarnya aku ini siapa

Impian beraneka ragam

Kalau di pikirkan

Akhirnya menyedihkan

Yang mustahil banyak sekali

Segala wujud di semesta ini

Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2

Maka dengarlah perlambang ini

Ada kera hitam sedang berdiri

Di tepi sungai

Tertawa keras tak kepalang

Kepada berang-berang yang mencari makan

Siang dan malam

Terus tanpa kesudahan

Tak ingat bahwa ia di ciptakan Tuhan

Yang di ingat hanya makanan

Tanpa memperdulikan

Bahaya mengancam


Wragul 3

Di lalapnya apa saja ia dapatkan

Tidaklah ia memperhatikan

Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan

Mustahil ia tak sanggup memberi makan

Dari kehidupan hingga kematian Apapun saja yang di kodratkan

Telah di sesuaikan

Ulat dalam batu pun di beri santunan

Maka jangan hanya suntuk mencari makan

Wragul  4

Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah

Berang-berang berkata dengan ramah

Duh kera hitam, sungguh engkau kejam

Kau paksa aku mengikutimu

Yang kata orang tanpa di pikirkan

Ya, aku  terpaksa

Mencari makan, tapi tidaklah

Dengan susah payah

Sekedar semampu diriku ini

Aku tak mencari-cari

Wragul 5

Hak orang lain tak kurebut

Tak kuperhatikan bencana dan kutuk

Tak kulihat yang hidup

Demikian pulalah halnya burung elang

Mengikuti tenggiling untuk cari makan

Susah untuk memberi peringatan

Jika engkau merasa

Sebagai makhluk Tuhan adanya

Janganlah hati mendua

Tak usah campuri urusan orang lain

Karena semua punya kadar masing-masing

Wragul 6

Sudah di beri hak hidup sendiri-sendiri

Seperti juga berbagai tetumbuhan ini

Atau yang memakan dedaunan

Mengikuti takdir Tuhan

Siapa akan mengikuti kata-katamu

Siapa menuruti ajakanmu

Sedangkan di hutan tempatmu

Sang kera hitam menjawab

Tidaklah akan ku ubah

Makananmu, hanya ingatlah

Kepada yang memberi makan kepadamu


Wragul 7

Perbuatlah amal kebajikan

Terpaksa harus ku beritahukan

Hal-hal yang berfaedah saja

Sekedar menunjukkan yang benar adanya

Jawab Berang-berang

Tahulah aku

Maksud omonganmu

Kau inginkan

Agar kuberi kau makan

Tapi aku tak akan tunduk kepadamu

Wragul 8

Ibarat sudah tahu ke bohongannya

Mulut jujur hati berdusta

Karena memaksa harus berbuat begini

Menghormat kepada yang belum mengerti

Agar di percaya di dunia ini

Berapa kekuatannya

Tak tahu bahwa

Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi

Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti

Kalau berhasil melebihi

Wragul 9

Kelihatannya luhur dan mulia

Serba benar pembicara'annya

Tuntas luar dalamnya

Bagus penampilannya

Kena kotoran sedikitpun tak bersedia

Seperti burung elang akibatnya

Terbang tinggi

Lupa melihat kanan kiri

Begitu musuh disiasati

Selamat sampai akhir hari

Wragul 10

Apabila ibarat ikan

Ikan gegenjong yang lemah badannya

Namun tajam tajinya

Hai kera hitam

Mana kata-katamu yang benar

Yang di haramkan di tolaknya

Itu kalau sedikit jumlahnya
Dan walaupun haram

Tapi kalau ada sedikit manisnya di tutupi

Dengan amat tersembunyi

Wragul 11

Jelas itu di campur aduk

Ada yang di ucapkan dengan pura-pura

Yang terlihat tindakannya

Pujangga maupun pendeta

Sama-sama kurang budinya

Aku tahu semuanya

Sama-sama meminta-minta

Hanya satu dua yang mengamalkan

Meminta tanpa di bantah

Walau pun tidak sungguhan

Wragul 12

Kikir kalau di mintai

Lagaknya seperti pendeta sakti

Usaha seakan tak henti

Dalam hidup ini hendaklah mengerti

Upaya orang lain

Dalam hidup ini seyogianya

Tak demikian tindakannya

Di mana  ada niat yang tak semestinya

Kata ahli kitab tak mau makan riba

Sebab ia pendeta

Wragul 13

Orang besar orang kecil berebut bersaing

Berupaya menggunakan akal masing-masing

Yang namanya raga manusia Siap semuanya

Untuk beramal senantiasa

Sedangkan apa kelebihan pendeta

Sibuk mengolah ilmu pengetahuan

Rahasianya mencari pekerja'an.

Berkah yang melimpah di harapkan

Jaksa pun demikian

Wragul 14

Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis

Mencari nafkah dengan menipu mengemis

Supaya ada kaulnya

Demikian para dukun adanya Menjual mantra

Juga para guru yang terhormat

Mengajarkan ilmu luhur

Sama saja yang di harapkan

Yaitu pengabdian murid

Seperti burung kuntul

Wragul 15

Bertapa ada tujuannya

Agar memperoleh ikan di rawa

Agar semua itu kena olehnya

Ada pun yang bertapa di gunung

Tujuannya pun

Untuk memperoleh Negara

Oleh masyarakat di percaya

Begitu yang namanya pendeta

Terus menerus bertukar pikiran

Berbuat kepercaya'an dalam pemerintahan

Wragul 16

Pendapat yang benar di tentang

Mencari saksi makin kesulitan

Di uji dengan kepercaya'annya

Tak tahu bahwa terlalu asyik ia

Membicarakan keburukan orang

Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan

Padahal kejelekannya sebesar gunung

Lagi pula ia tertarik pada rupa

Serta ke aneka ragaman suara yang masuk telinganya

Dari awal hingga akhir di terimanya

Wragul 17

Karena banyak orang membingungkan

Tersandunglah ia di tempat yang rata

Sembuh, tapi mati akhirnya

Yang samar di kira nyata

Yang bukan-bukan di kira mengalir

Yang duduk di kira air

Yang tidak terlihat

Senantiasa melihat cela orang lain

Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi

Sang kera bicara gusar

Wragul 18

Ya, kamu jadinya

Mencela tingkah laku pendeta

Kalau begitu

Kamu pantas di buru

Hidupmu bagiku gambling

Merintangi pekerja'an

Kemudian sang berang-berang

Berucap : Apa maumu !

Seraya merunduk sambil menerjang

Tapi telah meloncat si kera hitam

Wragul 19

Pada dahan kayu sambil bersiaga

Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya

Semua pun angkat bicara

Dengan bahasa lambang mereka

Marah mereka

Siapa saja yang mencela pendeta

Boleh kita mengejarnya

Sampai mati ia

Semua kera mengepung di pinggir sungai itu

Tapi berang-berang sudah tahu

Wragul 20

Ketika sudah berkumpul semua kera hitam

Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan

Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan

Kemudian si barang-berang

Sambil makan ikan, memberi peringatan :

Kera hitam, pulanglah kau

Bersama teman-temanmu

Sebab siapa tahu si empunya datang

Yang di sungai ini ia punya larangan

Siapa tahu firasat ia dapatkan.

Wragul 21

Sang gupkah kau lindungi teman-temanmu ?

Maka semua kera  hitam pun bubar berlalu

Agaknya mereka malu

Dan sang berang-berang keluar dari air

Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir

Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir

Sang berang-berang berkata dalam hati

Berangan-angan ia

Kera hitam merasa suci dirinya

Mencela orang yang sedang mencari mangsa

Wragul 22

Memang perbuatan yang cemar

Adalah perbuatan melanggar

Hanya saja tak terlihat

Sungguh, cari saja yang mempunyai

Kebahagia'an, berlakulah laku sejati

Meskipun seorang pendeta

Seulung apa pun ia

Jika menulis, lupa beribadah

Dirinya sendiri tak tampak olehnya

Karena orang lain saja yang di lihatnya

Wragul 23


Jadi, tingkah laku orang per orang-lah

Yang merupakan makanan kesuka'annya

Kelihatan bijak perbuatannya

Namanya pujangga

Yang terkandung di hati yang di tatapnya

Tapi setelah keluar darinya

Terlihat ia ingin menjiplaknya

Demikian ibarat se'ekor burung

Bertengger di pohon beringin yang terbalik

Wragul 24

Sementara sang berang-berang

Berso'al jawab dengan kera hitam

Turunlah burung tuhu

Menanyakan kesejatian

Mungkin selama perbincangan itu

Yang demikian yang di inginkan

Kepada kalimat tauhid amat  senang

Sehingga di pertuhankan

Tak ingat yang sungguh-sungguh  Tuhan

Wragul 25

Lahir dan batin, dulu dan kemudian

Baik buruk, suka dan duka

Sudah nasib manusia, tiada bedanya

Takdir Allah yang Maha Agung

Siang malam sembah puji senantiasa

Jika rahmat tak datang juga

Jika belum mencapainya

Masih ragu adanya

Berterus teranglah dalam memperolehnya

Demikian burung tuhu berkata

Wragul 26

Sudah sebulan aku berdampingan

Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan

Sebab semua

Yang ia makan adalah kotoran

Jadi selalukuhindari

Tak akan aku ikuti Yang najis

Sungguh selama hidupku

Yang halal saja makananku

Yang diajak bicara menjawab begitu

Wragul 27

Tahu semua pengetahuan

Namun tak mengerti sastra agama

Dari mana asalnya

Yang meskipun se'olah telah merasuk  di hati

Tak mungkin di tolak di dunia ini

Burung tuhu berujar :

Walau manis tutur katanya

Sebenarnya takhyul yang di beberkan

Sang berang berkata: Pernah kudengar

Bahwa dalang tak pernah di tanya

Wragul 28

Pemburu tak henti berkelana

Ibarat burung bangau bertapa di rawa

Tiada lain niatnya

Kecuali mencari ikan di air

Di makannya siang malam

Seperti bangau botak

Seperti kambing prucul

Maka orang yang menjalani laku

Jangan cepat melangkah dulu

Bertanyalah kepada yang tahu

Wragul 29

Haruslah lahir batin kalau memuji

Yang di ucapkan musti dimengerti

Yang di lihat hendaknya di pahami

Juga segala yang di dengar

Betapa sukar orang memuji

Maka sebaiknya carilah guru

Yakni orang yang lebih tahu

Yakni ahli ibadah

Dan memujilah hingga merasuki hati

Begitulah orang melakukan sembah puji

Wragul 30

Kalau tak tahu apa yang di sembah

Hilanglah apa yang di sembah

Karena sesungguhnya tak ada tirai itu

Tataplah gunung

Dan bunga dalam kesepian

Ikan tanpa mata

Wahyu sejati

Pandanglah Arjuna

Kalau bertapa tak tergoda Oleh apa saja

Wragul 31

Ada tiga macam pepuji

Pertama melihat yang di sembah

Kedua melihat rupanya

Ketiga tak melihat

Kepada sesuatu, namun

Menghadap yang di sembah

Ibarat mencari

Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan

Tak beda segala yang di miliki

Berpadu satu ragawi ruhani

Wragul 32

Kalau tak begitu kafir jadinya

Yang namanya gajah, gerangan mana ia

Sejauh-jauh usiaku

Belum mengerti hal itu

Ibarat menyatukan perjalanan gajah

Dengan petualangan burung garuda

Ibarat menyatukan punggung dengan dada

Atau wayang dengan kelirnya

Tapi sesungguhnya cermin satu adanya

Wragul 33

Itu jelas sama

Yang di cari sedang tak ada

Tapi burung tuhu sedang memahaminya

Ibarat malam yang di bakar

Tak ada yang di pikirkan

Ajaran dari berang-berang

Biasanya sudah di ajarkan

Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu

Ingat bahwa engkau di kuasai Tuhanmu

Wragul 34

Seperti halnya tinta

Masih menyatu dengan tempatnya

Jangan menghindar meski mati bayarannya

Kalau hidup, hiduplah seperlunya

Selalu perhatikan guru

Jangan seperti orang bermimpi

Atau seperti burung yang di suruh berbicara

Mengikuti kata-kata

Di jadikan panutan pikirannya

Berang-berang bersiap-siap menyingkir

Burung tuhu terbang ke dahan

Wragul 35

Ketika kemudian matahari terbenam

Terdengar suara pertunjukan wayang

Tampaknya di istana

Tergetar tabirnya

Di depan kelir berada semua wayangnya

Burung tuhu tampak

Ki dalang terlihat

Yang terlihat gawang-gawangnya

Wayangnya tiada, hanya dalangnya

Padahal tabir penglihatan tidaklah ada

Wragul 36

Dalang dapat bertukar rupa

Banyak orang jatuh cinta

Menyaksikan tingkah wayangnya

Terlihat segala tingkah lakunya

Semua saling jatuh cinta

Betapa mendalam keinginan

Menatap sang dalang

Namun di cari tak ketemu

Meskipun dengan susah dan rindu

Wragul 37

Lebih-lebih jika ku renungkan ini

Dengan teliti

Betul-betul ingin bekerja

Terlalu penuh perhitungan akhirnya

Atas kekaya'an orang-orang kaya

Maka kalau tak paham

Jangan ikut-ikutan

Sampai kapan demikian

Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali

Raga yang tersembunyi

 
Di kisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tembang dan gending. Dharma dan irama Mocopat.
Begitu gending di tabuh Kebon danu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti di lolosi dari tempatnya.
Sehingga  gagalah mereka melaksanakan niat jahatnya.
Ampun........
hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat ! Demikian rintih Kebon danu dan anak buahnya.
Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.
Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi..........
 Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu ! ujar Sunan Bonang.
Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya, kata Kebondanu dengan ragu. Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.
Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja, kata Sunan Bonang.  Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.
Walau dosa kami setinggi gunung? Tanya Kebondanu.
Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia.
Demikian pula anak buahnya.
Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar keTuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah ke agama'an dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak di pergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. katasang Brahmana.
Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang? tanya lelaki itu.
Akan saya ajak berdebat tentang masalah ke agama'an, kata sang Brahmana. Tapi sayang kitab -kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa ke luar semua kitab yang di bawa sang Brahmana.
Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut? Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu  Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini? tanya sang Brahmana.
Tuan berada di pantai Tuban!  jawab lelaki itu. Sertamerta Brahmana dan para
pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah ke agama'an, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

   Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.

Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk di makamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayah andanya. Tetapi kapal yang di gunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang di makamkan di Tubanya itu di sebelah barat Masjid Jami Tuban. 

Selasa, 17 Januari 2012

Sanad Maulid Barzanji(Serta Ijazah)

 oleh: al-Faqir Ila
ALLAH Ta'ala



Maulid Barzanji merupakan kitab yang memuji dan menceritakan kehidupan Rasulullah s.a.w, selalu dibaca dan dilantunkan orang ketika datangnya bulan Rabi`ul awwal di berbagai daerah dan negara seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Singapura dan Thailand. Maulid Barzanji sangat terkenal dan populer di Asia Tenggara, bahkan di sebahagian tempat Maulid Barzanji dibaca ketika acara perkawinan, acara khitanan, dan acara-acara lainnya.
Kitab Maulid Barzanji diserang dan diperangi oleh sebahagian orang yang menganggap acara Maulid Nabi Muhammad s.a.w. adalah salah satu perbuatan bid`ah, tetapi permasalahan ini adalah masalah khilafiyah yang kebanyakkan umat Islam berpegang teguh dengan bolehnya mengadakan maulid Rasul selama cara tersebut tidak berunsur hal-hal yang haram dan dilarang oleh Allah dan Nabi-Nya.
Maulid Barzanji adalah karangan dari seorang ulama besar terkemuka di masa beliau, telah berhasil memberikan jasa dan peninggalan yang berharga bagi umat Islam.


Nama Lengkap Pengarang Barzanji :
Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim bin Sayyid Muhammad bin Abdur Rasul al-Barzanji al-Madani as-Syafi`i.

Beliau dilahirkan di kota Madinah, asal usul beliau dari golongan ulama-ulama besar yang memiliki keilmuan yang tinggi, dan dari keturunan Rasulullah s.a.w. Beliau memiliki sifat yang soleh dan penyantun, suka menolong orang lain, rajin beribadah dan beramal soleh. Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi pengarang
kitab Silku ad-Durar memuji beliau dengan ungkapan :

     Beliau seorang Syeikh yang mulia lagi alim, satu-satunya orang yang hebat di dalam segala bidang ilmu, Mufti mazhab Syafi`iyyah di kota suci Madinah. Selanjutnya Syeikh Muham mad Khalil al-Muradi memuji lagi :

Beliau hebat di dalam berpidato dan membuat karangan, sehingga beliau menjadi seorang imam dan khatib Masjid Nabawi, dan beliau juga seorang tenaga pengajar di Masjid Nabawi. Menulis berbagai macam kitab yang bermanfa`at dan karangan yang indah. Beliau meninggal dunia pada tahun 1177 hijriyyah sebagaimana yang telah disebutkan didalam kitab Silku ad-Durar. Sanad Kami Kepada Imam Ja`far al-Barzanji Berkata seorang hamba yang faqir lagi hina Muhammad Husni Ginting bin Muhammad Hayat Ginting al-Langkati :
     Saya meriwayatkan kitab Maulid Barzanji dari Syeikh Saya al-Alim as-Syeikh Ahmad Damanhuri bin Arman al-Banteni wafat tahun 1426 hijriyah, beliau meriwayatkan dari gurunya al-Allamah al-Muhaddis as-Syeikh Umar Hamdan al-Mahrisi at-Tunisi al-Madani wafat tahun 1368 hijriyyah, beliau meriwayatkan dari al-Allamah Syeikh Sayyid Ahmad bin Ismail al-Barzanji Mufti mazhab Syafi`i di Madinah, beliau meriwayatkan dari ayahandanya Sayyid Ismail bin Sayyid Zainal Abidin al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari
ayahnya al-Allamah Sayyid Zainal Abidin bin Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau meriwayatkan dari ayahandanya al-Allamah Sayyid Muhammad Abdul Hadi al-Barzanji, beliau
meriwayatkan dari pamannya al-Allamah al- Faqih Syeikh Sayyid Ja`far bin Sayyid Hasan bin Sayyid Abdul Karim al-Barzanji, pengarang kitab " Maulid al-Barzanji ".
Saya al-Faqir al-Langkati mengijazahkan sanad khusus ini bagi siapa saja yang ingin menerimanya, semoga berkat dan kita termasuk orang yang menyampaikan ilmu dan amanat kepada umat Islam.
1- Zaqaziq , Syarqia, Mesir, 12 Rabi`ul Awwal 1432 hijriyyah. Rujukan : 1 - Silku ad-Durar Fi A`yani al Qarni as-Tsani Asyar : 13 / 2 ,karangan Syeikh Muhammad Khalil al-Muradi al-Hanafi, terbitan Dar Sodir Bairut, cetakkan pertama tahun 1422/2001.
2 - Maulid al-Barzanji



(download)

p/s: Rakaman audio nadir bacaan Maulid al-Barzanji lengkap oleh al-Imam al-'Allamah al-Kabir al-Mufassir al-Muhaddith Syeikh 'Abdullah Sirajuddin al-Halabi al-Husaini r.a. pada tahun 1406H


(silahkan klik)



sumber:
http://sawanih.blogspot.com/2011/02/sanad-maulid-barzanji.html

Selasa, 07 Juni 2011

BERMADZAB SIAPA TAKUT?





          Bermadzab adalah suatu keniscaya`an. Boleh tidak bermadzab' asal mampu memahahami ayat Al Qur`an  dan hadits. sementara kaum awam sudah selayaknya ber-taqlid, meski tetap ada keluwesan dalam bermadzab.




Suatu ketika Imam safi`i menuaikan sholat subuh di kompleks Imam Hanafi. ketika bangkit bangkit dari ruku (sa`at itidal) di raka`at kedua, beliau tidak membaca do`a Qunut. Padahal, dalam pandangannya, Qunut dalam sholat subuh adalah sunnah muakkadah (sunnah yang di kuatkan) dan di amalkan hingga kini oleh para penganut Madzab Safi`i.
       Ketika murid di tanya oleh murid-muridnya, beliau mengatakan, beliau melakukan demi menghormati Imam Hanafi - yang tidak menganjurkando`a Qunut dalam sholat subuh.
Demikianlah penghormatan Imam Safi`i kepada Imam Hanafi, padahal mereka tidak pernah bertemu, Sebab Imam Safi`i lahir pada tahun 150 H,Pada ketika Imam Hanafi wafat.

Dalam  Koridor Tasamuh
     Sejak berabad-abad ketika kaum muslimin menganut madzab yang berdeda-beda, hubungan para tokoh madzab tetap dalam koridor tasamuh alias toleransi. Dan hal itu pula yang di teladani oleh para pengikut mereka di perbagai belahan dunia islam, termasuk Indosia.
    Di lain pihak, di tingkat awam terkadang terjadi gesekan-gesekan berskala ringan dalam hal khilafiah alias beda pendapat menyankut perbeda`an pendapat menyankut cabang masalah, meskipun hal itu bukanlah gambaran yang dominan atau kecenderungan mainstream.
    tapi, dalam beberapa abad terakhir memang pernah muncul ulama-ulama yang pernah menggugat cara beragama dengan bermadzab. Di antaranya Shyaikh khajan di dalam kitab  Madzahib al-Bar`ah (Apakah seorang muslim harus harus mengikuti Madzab dari Madzab yang empat) sebagaimana di sebut dalam buku argumentasi Ulama Syafi`iyyah, karya H Mujiburrahman.
    Jadi, persoa`alan yang muncul kemudian bukan antara mereka yang berbeda Madzab, melainkan antara  mereka yang bermadzab dan yang menolak Madzab. Dan mereka yang menolak bermadzab mengatakan, semua madzab adalah bid`ah yang di ada-adakan dan bukan bagian dari Islam.

     Benarkah demikian? Apakah para ulama besar semisal Al-Ghozali, An-Nawawi, Ar-Rafi`i, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Haitami, Imam As-Suyuthi (dan banyak lagi lainya) telah melakukan bid`ah karena beliau-beliau berpegang pada madzab Syafi`i? Begitu pula, salahkah para ulama besar yang berpegang pada madzab lainya?
     Dari sudut kata, Madzab berarti "jalan, aliran, pendapat, ajaran, atau dokrin". Sedangkan menurut istilah, Secara umum, Madzab berarti "metode untuk memahami ajaran-ajaran Islam". Pada dasarnya, bermadzab adalah mengikuti ajaran atau pendapat imam mujtahid yang di yakini mempunyai kemampuan dalam berijtihad.

Hukum-hukum sederhana
    Sedangkan mereka yang menolak bermadzab, dan mengharuskan setiap muslim harus  mengambil dalil dari Al-Qur'an dan hadits, mengemukakan argumen bahwa islam tak lebih dari hukum-hukum sederhana yang mudah di mengerti oleh orang arab atau muslim dimanapun juga. mereka antara lain berdalil dengan hadits Malaikat Jibril ketika bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makna Islam, Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan menyebutkan rukun Islam yang lima. tak lebih dari itu.
    Dalil mereka yang lain ialah hadits tentan seseorang yang mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata,"Wahai Rasulullah, tunjukan kepadaku satu perbuatan yang, apa bila aku kerja'kan, aku akan masuk surga."
Rasulullah SAW bersabda,"Bersaksilah bahwa tidak Tuhan selain Allah... (sampai akhir hadits)."
   Seandainya benar hukum-hukum Islam terbatas, niscaya kitab-kitab hadits yang shahih dan musnad-musnad tidakdi penuhi oleh ribuan hadits mengungkap berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.
penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang tata cara melaksanakan rukun-rukun tersebut.
Dan sesugguhnya hukum Islam tidaklah sesederhana itu. Memang, pada masa awal Islam, permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum masih sedikit. Sebab kala itu, daerah penyebaran Islam belum terlalu luas dan kaum muslimin maih sedikit. Belakangan, problem ini problem bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah penyebaran Islam dan bayaknya parkara yang tidak ada sebelumnya yng hukumnya segera di pecahkan berdasarkan sumber-sumber Islam.
    Sejak zaman sabhabat dan Ulama tabi'in, Orang-orang awam selalu bertanya mengenai masalah hukum agama kepada para ulama mujtahid. dan para ulama tidak menentang fatwa yang disampekan dengan cara demikian. Kenyata'an ini dapat di pandang sebagai jimak (kesepakatan) di antara mereka.
    Realitas kehidupan keagama'an umat Islam di Hijaz (Makah Medinah dan sekitarnya) pada zaman sahabatmenunjukan tumbuhnnya Madzab yang berbeda-beda.
Masyarakat Islam Hijaz, dalam waktu itu cukup lama, Mengikuti fatwa atau madzab Ibnu Mas'ud. sedangkan di masa tabi'in , masyarakat Irak dan sekitarnya mengikuti fatwa ulama seperti Al-Qamah, An-nakha'i, Masruq Al-Hamdani, Ibnu Zubair, dan Ibrahim An-nakha'i.
    Sementara itu kaum muslimin di Hijaz bermadzhab kepada Sa'id bin Al-Musayyab, 'Urwah bin Zubair, Salim bin Abdullah bin Umar, Sulaiman bin Yasar, dan lain-lain. Bahkan, Atha bin Rabah dan Mujahid pernah secara resmi di tetapkan oleh khalifah pada masanya sebagai mufti di makkah, dan Masarakat Islam di perintahkan untuk mengikuti fatwa mereka.

Analogi Hukum Islam

    Demikian pula pada masa imam madzab yang empat (Imam Abu Anifah, Imam Malik,Imam Muhammad Ibnu Idris Asy-Syafi', dan Imam Ibnu Hambal). Apa lagi di kala itu ijtihaj sudah memasuki era metologi istinbath (penyimpulan hukum berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadist), sudah merumuska parameter dalil, sudah memiliki kategori qiyas shahih dan qiyas batil. Qiyas adalah analogi dalam fiqih atau hukum Islam.
    Ciri lain dari masa itu adalah ijtihad yang telah mencakup seluruh aspek hukum amaliah, dan telah di bukukan. Dan semua itu menunjang kelestarian madzab yang empat. Melintasi batas wilayah  dan menembus perjalanan waktu, hingga kini. Madzab Syafi'i, misalnya, Sejak ratusan tahun silam di anut oleh sebagian besar kaum muslimin di Asia tenggara, termasuk Indonesia, Di samping Mesir, Irak, Yaman dan banyak lagi lainnya. 
    Jadi, Madzab-madzab fiqih di dunia Islam sesungguhnya ad dari seribu tahum silam. Munculnya berbagai madzab tak dapat di pisahkan dari kebutuhan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dalam menghadapi permasalahan sehari-hari. Karena itu kita perlu mengetahui sejarah kemunculan dan perkembangan ijtihad, yang pada akhirnya melahirkan berbagai madzab.
    Rasulullah SAW telah mengutus para sahabat yang memiliki kemampuan  menghafal, memahami, dan menyimpulkan suatu hukum, ke beberapa kabilah atau negeri, dan menguasai mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam. Mereka juga bersepakat akan berijtihad manakala menghadapi kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur'an dan hadits. Rasulullah SAW pun menyetujui kesepakatan. 
    Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Syu'bah, ketika Nabi Muhammad SAW mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Beliau bersabda, 
                             "Apa yang akan kamu  perbuat jika menghadapi suatu perkara?,

Muadz menjawab,
                             "Saya akan memutus dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah"
 
Rasulullah SAW kembali bertanya,
                             "Jika tidak ada dalam Kitabullah?"

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah".

Rasulullah SAW bertanya lagi,
                             "Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?,

Mu'adz menjawab,
                             "Saya akan berijtihad dengan pendapat saya, dan saya tidak akan melebihkannya".

Rasulullah kemudian menepuk-nepuk dada Mu'adz dan bersabda,
                             "Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikan utusan  Rasul-Nya sesuai dengan
                              apa yang di ridhai olehnya (Rasulullah)".

     Ketika Rasulullah SAW wafat, dasar-dasar syari'ah yang fundamental dan umum telah diletakan secara lengkap dan memadai, sehingga para sahabat lebih banyak melakukan penerapan (tathbiq) terhadap hukum-hukum syari'ah tersebut. Jika ada suatu hal yang belum di ketahui ketetapan hukumnya, atau di perselisihkan di antara mereka, di lakukan musyawarah atau dialog terbuka, untuk mencapai kesepakatan.


Kesepakatan para sahabat


     Apa yang di ceritakan oleh Maimun bin Marhan  berikut ini contohnya. "Apa bila menghadapi masalah hukum, Abu Bakar Ash-Shiddiq mempelajarinya dari Kitabullah (Al-Qur'an). Apabila di sana di temukan dalil yang dapat di jadikan dasar, ia putuskan hukumnya dengan dalil tersebut. Tapi, jika di temukan, baik dari Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah, ia bertanya kepada para sahabat yang lain, 'Apakah kalian pernah mengetahui Rasulullah SAW mengenai masalah ini?, Apa bila mereka memberi kesaksian bahwa Rasulullah SAW pernah menetapkan hukum tentang masalah tersebut dengan cara tertentu, ia mengikuti keputusan tersebut. Apabila tidak ada yang memberikan kesaksian apa-apa, ia mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat untuk bermusyawarah. Apabila mereka dapat mengambil kesepakatan, ia memutuskan memutuskan masalah itu atas dasar kesepakatan para tokoh sahabat tersebut (ijma' ash-shahabah).
    Cara demikian juga di gunakan olehUmar bin Khathab. Setiap kali hendak menetapkan hukum, ia selalu bertanya kepada para sahabat, 'Apakah Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah menetapkan hukum masalalah itu?, 
Apabila di jawab, Pernah begini atau begitu', Umar mengikuti ketetapan Abu Bakar Ash-Shidiq.
Pada akhir masa Dinasti Umayah dan masa awal Dinasti Abbasiyah (berarti masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in), Keilmuan Islam makin meluas dan lebih kentara kemandirianya, seperti terpisahnya ilmu fiqih dan ilmu kalam, mumculnya ilmu tasawuf, makin maraknya ilmu hadits dan tafsir.
    Kala itu para ulama fiqih, yang di pandang mempunyai otoritas keilmuan, membahas masalah syariah atau hukum islam yang kemudian terbagi dalam dua aliran.
Pertama, aliran pakar hadits (ahl al hadits) yang literalis, yakni sangat terkait dengan teks dalil naqli, yang di kuasai guru ke murid secara langsung dari masa ke masa.  
Kedua, aliran rasionalis (ahl al-ra'yi), yang lebih rasional dan substansialis (orentasi pada hakikat masalah), banyak yang menggunakan dalil-dalil aqli, lebih banyak mempertimbangkan realitas di tengah masyarakat.
    Aliran pertama berpusat di beberapa perguruan Islam di Hijaz, terutama di Madinah. Di antara tokoh utama adalah Imam Malik bin Anas dan murid-muridnya. Sedangkan aliran kedua berpusat di beberap perguruan Islam di Irak. khususnya dio Khufaf. Di antara tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifaf. Kelompok Hijaz merasa unggul dari kelompok Irak dalam penguasa'an hadits. mengingat jumlah sahabat yang bermukim di Hijaz jauh lebih banyak di banding yang berdomisili di Irak.
     Aliran ahl al-ra,yi sebenarnya di pelopori oleh Ibnu Mas'ud ketika menetap di Irak. Pengguna'an nalar yang di lakukannya merupakan pengaruh khalifaf  Umar bin Khaththab, yang di kaguminya.Khalifaf Umar memang banyak menggunakan peran nalar dalam berijtihad. Bukan hanya dalam masalah yang tak ada dalilnya, tapi juga dalam masalah tertentu yang dalilnya perlu di tafsir ulang. Sebab, menurutnya, dalil tersebut terkait dengan waktu, tempat, dan keada'an tertentu.
    Misalnya, dalam hal Muallaf (orang yang baru masuk Islam yang perlu di hibur hatinya), yang dalam Al-Qur'an yang termasuk kelompok yang berhak menerima bagian Zakat. Tapi dalam suatu kasus, para muallaf tidak di beri bagian Zakat oleh khalifaf Umar. Sebab, disamping mereka adalah orang kaya., kaum muslimin kala itu tidak perlu lagi menghibur mereka, karena konteks sosial yang hadapi tidak sama dengan keada'an pad waktu nash dalam Al-Qur'an tersebut di turunkan.


Harus Diam Saja?

    Setiap muslim, baik yang bermadzhab maupun tidak, tentu meyakini bahwa dasar berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah. Tapi, yang jadi masalah, tidak setiap orang memiliki kemampuan memahami Al-Qu'an dan Hadits. Jangankan orang yang tidak menguasai bahasa Arab, Orang yang benar-benar menguasai bahasa Arab pun belum tentu dapat memahami makna dan maksud ayat Al-Qur'an dan Hadits tersebut.
     Mengapa? karena ada ayat Al-Qur'an dan Hadits yang maksudnya jelas sehingga tidak membutuhkan banyak persyaratan untuk memahaminya, tapi kebanyakan membutuhkan penguasa'an berbagai ilmu lain untuk bisa memahaminya. Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki persyaratan itu? Haruskah ia diam saja tanpa perlu melaksanakan ayat Al-Qur'an dan Hadits., atau bertanya dan mengikuti para ulama yang mampu memahaminya? Tentulah pilihan kedua yang di ambil, dan memang itulah yang di perintah dalam agama. Banyak dalil yang menunjukan wajibnya bertaqlid (mengikuti) bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan berijtihad. Antara lain ayat 7 surah Al-Anbiya,
         "Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui."
Para ulama sepakat, ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalil agar mengikuti orang-orang yang mengetahui. Dan para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang awam haruslah bertaqlid kepada orang yang mengetahui.
Dalil kedua adalah Ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa sahabat Nabi SAW berbeda-beda dalam tingkat keilmuanya dan tidak semua mampu memberi fatwa. Para sahabat terbagi dalam dua golongan: Sahabat yang termasuk mufti, yang mampu berijtihad (minoritas), dan para sahabat yang termasuk mustafti, yakni peminta fatwa yang bertaqlid (mayoritas).
Dalil lain mengenai kewajiban bertaqlid adalah logika, sebagaimana yang di katakan oleh Asy-Syathibi, "Fatwa para mujtahid bagi orang awam adalah sebagaimana dalil syar'i bagi para mujtahid, bagi orang yang ber taqlid, ada atau tidak adanya dalil sama saja, karena tidak mampu mengambil pengertian dari dalil. maka masalah meniliti dalil dan melakukan istinbhat (penyimpulan hukum) bukan urusan mereka, dan mereka tidak di perkenankan melakukan hal itu. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:


                        "maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui"

Rabu, 04 Mei 2011

Biografi Al Imam An-Nawawi Seorang Alim Penasehat

Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan‘al- Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar- Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu
Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy- Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al- Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita,
“Pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya;
ke dua, pelajaran terhadap kitab‘al- Wasith’,
ke tiga, terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’,
ke empat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’,
ke lima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’,
ke enam, terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu,
ke tujuh, terhadap kitab‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa),
ke delapan, di dalam ilmu Sharaf,
ke sembilan, di dalam ilmu Ushul Fiqih,
ke sepuluh, terkadang ter- hadap kitab‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy,
ke sebelas, di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’,
ke duabelas, di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat- pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah:
Syarh Shahih Muslim , al-Majmu Syarh al- Muhadzdzab , Riyadl ash- Shalihin , al-Adzkar , Tahdzib al-Asma wa al-Lughat al- Arba in an-Nawawiyyah , Rawdlah ath-Thalibin dan al- Minhaj fi al-Fiqh .
Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku biografi (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an- Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup zuhud , teladan di dalam sifat wara serta tokoh tanpa tanding di dalam menasehati para penguasa dan beramar ma ruf nahi munkar .
zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
wara
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar- Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu. Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam. Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh- Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun- kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun- kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan. Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al- Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka!!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
wafat
Pada tahun 676 H, Imam an- Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al- Qadly,‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin. (Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy). sumber: kisahkayahikmah.wordpress.com/2010/01/11/al-imam-an-nawawi-seorang-alim-penasehat/

Minggu, 10 April 2011

Habib Umar bin Hafiz, Ulama Habaib Terkenal Masa Kini




Beliau ialah Habib Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abdullah putera dari Abi Bakr putera dari Aidarus putera dari Hussein putera dari Syeikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari Abdullah putera dari Abdul Rahman putera dari Abdullah putera dari Syeikh Abdul Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al- Dawilah putera dari Ali putera dari Alawi putera dari al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad putera dari Ali putera dari Muhammad Shahib Mirbat putera dari Ali Khali Qasam putera dari Alawi putera dari Muhammad putera dari Alawi putera dari Ubaidillah putera
dari Imam al-Muhajir Ahmadputera dari Isa putera dari Muhammad putera dari Ali al- Uraidi putera dari Ja'far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari Ali Zainal Abidin putera dari Hussein sang cucu
lelaki, putera dari pasangan Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah az-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w..

Beliau dilahirkan di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama
berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan
kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya ialah salah seorang
ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran Islam dan pengajaran hukum suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua datuk beliau, Habib Salim bin Hafiz dan Habib Hafiz bin Abdullah yang merupakan paraintelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi Habib Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul
dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan. Beliau telah mampu menghafal al-Quran pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadis, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang
dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Syeikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Habib
Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang
‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.







Namun secara tragis, ketika Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk solat Jumaat, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahawa tanggungjawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang dakwah sama seperti seakan- akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid.

  Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, dia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis dan dakwah. Perjuangan dan
usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan
untuk menghafal al-Quran dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Dia sesungguhnya telah benar- benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari
jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah
bimbingan ahli dari yang mulia Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafie, Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya dia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang dakwah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa- desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namunkini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan,
mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan serban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah swt.








Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan dakwah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyaraka di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahi bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung. Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat
pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan RasulNya s.a.w. dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul
Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Habib Ahmad Mashur al-Haddad dan Habib Attas al-Habshi.
Sejak itulah nama Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikeranakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini
menjadikannya mendapatkan sumber d tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan.








Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang
mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan
di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman.
Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan  pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal
melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan
mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah.
Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya
pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.


 


Habib Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.





sumber: www.ildib.co.cc/2011/01/habib-umar-bin-hafiz-ulama-habaib

Senin, 14 Februari 2011

25 Habaib Support

Tim Penulis Buku Syiah
Jumat pagi (18/12/28),
sekitar 25 habaib dan
ulama dari berbagai kota
di Jawa Timur, juga Jawa
Tengah dan Jawa Barat,
berkunjung ke Pondok
Pesantren Sidogiri. Di
antaranya Habib Ahmad
Zein Alkaff (Surabaya),
Habib Abdul Kadir Al-
Haddar (Banyuwangi),
dan Habib Taufik Assegaf
(Pasuruan). Rombongan
yang dikoordinir Habib
Thohir Alkaff dari
Pekalongan ini tiba
sekitar pukul 08.30 wis.
Kedatangan mereka
bertujuan memberi
dukungan moril pada Tim
Penulis buku
“ MUNGKINKAH SUNNAH-
SYIAH DALAM
UKHUWAH? Jawaban
atas Buku Dr. Quraish
Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan!
Mungkinkah ?)” terbitan
Pustaka Sidogiri.
Sebelum acara dimulai,
KH Lutfi Bashori dari
Singosari Malang
menawarkan berbagai
metode mengasah
kemampuan pematangan
mental, agar Tim Penulis
memiliki mental yang
kuat sebelum
menghadapi berbagai
kemungkinan ketika
berhadapan langsung
dengan tokoh-tokoh
Syiah. Baik melalui
seminar di masjid-masjid
yang kemungkinan
sebagian pesertanya ada
yang Syiah, maupun
mengundang pengikut
Syiah yang telah sadar.
Pertemuan di kantor
sekretariat PPS ini
dibuka oleh Sekretaris
Umum PPS HM Masykuri
Abdurrahman. Kemudian
sambutan Habib Thohir
Alkaff atas nama
koodinator. Dalam
sambutannya, beliau
banyak mengucapkan
terimakasih pada Tim
Penulis atas usaha
penyelesaian buku
tersebut. Selanjutnya,
Habib Thohir
menyampaikan maksud
kedatangannya, langkah-
langkah menghadapi
Syiah, serta menanyakan
kabar adanya tantangan
dari pendukung Prof DR
Quraish Shihab. Beliau
juga menyampaikan pada
Tim Penulis agar tidak
ragu menyatakan
kesediaan jika ada
tantangan resmi dari
pihak Quraish Shihab.
Kemudian acara
dilanjutkan dialog. Dari
dialog banyak diperoleh
poin-poin penting dan
pengetahuan baru dari
tokoh-tokoh yang hadir,
yang pernah bersentuhan
atau berhadapan
langsung dengan orang-
orang Syiah. (Saiful
Anwar)