Tampilkan postingan dengan label Sufi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sufi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Mei 2015

SEJARAH SYEKH SITI JENAR (Versi Yang Sebenarnya)


Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran. Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu. KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20 tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:

1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki, Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib, untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli, Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8 tahun.
Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya
sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan.
Di antara murid-murid Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.

KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:

1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm. 1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.”
[Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk pada Firman Allah:
”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”,
artinya “Segala sesuatu itu akan rusak dan binasa kecuali Dzat Allah”.
Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19 membantahnya, ia berkata,
“Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati, bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “
Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi, tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo, dan mayatnya berubah menjadi anjing.

 Bantahan saya: 

“Ini suatu penghina'an kepada seorang Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang b ersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat, dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah] dengan 3 kelas:

1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat Islam ini pecah. Ulama’nya pecah.
Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam dan umat Islam.


Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani.

Selasa, 17 Januari 2012

SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB







SEJARAH LAHIRNYA MADZHAB



A. Maksud Perkataan “Mazhab” dan “Imam”

Sebelum ditinjau dari sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam, ada baiknya jika kita tinjau terlebih dahulu arti dari kata “Mazhab” dan “Imam” itu.
Mazhab (مذهب) dari sudut bahasa berarti “jalan”. Dalam Islam, istilah mazhab secara umumnya digunakan untuk dua tujuan: dari sudut akidah dan dari sudut fiqh.
Mazhab akidah ialah apa yang bersangkut-paut dengan soal keimanan, tauhid, qadar dan qada’, hal ghaib, kerasulan dan sebagainya. Antara contoh mazhab-mazhab akidah Islam ialah Mazhab Syi‘ah, Mazhab Khawarij, Mazhab Mu’tazilah dan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Setiap dari kumpulan mazhab akidah itu mempunyai mazhab-mazhab fiqhnya sendiri-sendiri . Mazhab fiqh ialah apa yang berkaitan dengan soal hukum-hakam, halal-haram dan sebagainya. Contoh Mazhab fiqh untuk Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah ialah Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab fiqh pula, sebagaimana yang diterangkan Huzaemah Tahido, berarti:

Jalan fikiran, fahaman dan pendapat yang ditempoh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari sumber al-Qur’an dan al-Sunnah. Dia juga berarti sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar yang bergelar Imam dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
Contoh imam mazhab ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal. Pengartian mazhab itu kemudian beralih menjadi satu kumpulan ajaran fiqh Islam yang diikuti dan diterima oleh satu-satu kumpulan umat Islam dalam sebuah wilayah atau negara. Dia menjadi sumber rujukan dan pegangan yang dimulyakan sebagai ganti atau alternatif kepada ikutan, ijtihad dan analisa terhadap ajaran asli al-Qur’an dan al-Sunnah.
Perkataan “Imam” dari sudut bahasa berarti “teladan” atau “pemimpin.” Dalam Islam, perkataan “Imam” memiliki beberapa maksud sejalan dengan konteks penggunaannya, iaitu:
1. Imam sebagai pemimpin shalat berjamaah.
2. Imam sebagai pemimpin atau ketua komunitas orang-orang Islam.
3. Imam sebagai tanda kelebihan kedudukan ilmunya, sehingga dijadikan sumber belajar dan rujukan ilmu agama. Contohnya ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas dan sebagainya. Walaupun mereka dijadikan sumber rujukan ilmu, otoritas mereka hanyalah tertuju kepada apa yang tertera dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
4. Imam sebagai wakil Allah dan pemimpin umat serta penentu zaman. Imam segitu hanya khusus untuk Mazhab Syi‘ah. Imam-imam itu bukan saja dijadikan rujukan syari‘at tetapi juga memiliki otoritas dalam menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan syari‘at tanpa tertuju kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.


B. Sejarah kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam

Mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat yaitu Maliki, Hanafi, Shafi’i dan Hanbali hanya muncul dan lahir secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiah, yaitu sejak zaman ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya ada 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rasyidin yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Umayyah dan Abbasiah di mana pada saat itulah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3. Pada era keruntuhan Islam, yaitu mulai zaman ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan kembali, Islam dan ilmu-ilmunya sama-sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.

Era Pertama

Era itu bermulai sejak diutusnya Muhammad ibn Abdillah menjadi seorang Rasul Allah dan mengembangkan agama tauhid yang baru, yaitu Islam. Di Era itu sumber syari‘at adalah penurunan wahyu berupa al-Qur’an al-Karim dan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Qur’an diturunkan secara berperingkat-peringkat bertujuan memudahkan umat menerima dan belajar secara bertahap.
Kemudahan mereka mempelajari Islam disokong oleh kehadiran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang bartindak sebagai guru. Itu sebagaimana dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala di dalam al-Qur’an:
(Sebagaimana ) Kami mengutuskan kepada kamu seorang Rasul dari kalangan kamu (yaitu Muhammad), yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan membersihkan kamu (dari amalan syirik dan maksiat), dan yang mengajarkan kamu kandungan Kitab (Al-Quran) serta Hikmah kebijaksanaan, dan mengajarkan kamu apa yang belum kamu ketahui. [al-Baqarah 2:151]
Di samping itu sumber syari‘at kedua adalah juga merupakan pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang kini kita terima sebagai Hadits. Hadits beliau adalah juga merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Dan dia tidak mengatakan (sesuatu yang berhubung dengan agama Islam) menurut kemauan dan pendapatnya sendiri. Segala yang diperkatakannya itu (sama ada Al-Quran atau hadits) tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. [al-Najm 53:3-4]
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam konteks keagamaan juga merupakan salah satu bentuk petunjuk wahyu Allah Subhanahu wa Ta‘ala, sebagaimana firman-Nya:
Aku tidak melakukan sesuatu melainkan menurut apa yang diwahyukan kepadaku. [al-Ahqaf 46:09]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bartindak sebagai seorang guru agama yang membetulkan setiap perbuatan umat pada saat itu yang salah atau yang kurang baik walaupun beliau pada asalnya tidak ditanya akan hal tersebut. Contohnya ialah kisah yang diberitakan oleh seorang sahabat, Abu Urairah radhiallahu ‘anh: Aku bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di salah satu jalan di Madinah, sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Maka aku menyelinap yaitu mengelakkan diri dari bertemu dengan Rasulullah dan pergi untuk mandi sehingga Rasulullah mencari-cari aku.
Saat aku datang kembali, baginda pun bertanya: “Ke mana kamu pergi wahai Abu Urairah ?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah! Engkau ingin menemuiku sedangkan aku dalam keadaan berjunub. Aku merasa tidak selesa duduk bersama kamu sebelum aku mandi.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Maha Suci Allah! Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.”
Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa sumber syari‘at atau fiqh Islam pada era pertama itu hanyalah apa yang bersumber dari ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yakni ajaran, perbuatan dan persetujuan beliau. Pada saat itu fiqh Islam mudah dipelajari dan setiap kemusykilan mudah terjawab dengan hadirnya seorang Rasul yang mengajar terus berdasarkan wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.
Setelah kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun 10H/622M, para Khalifah al-Rasyidin yaitu Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum mengambil-alih sebagai pemimpin agama dan negara. Islam dan segala ajaran syari‘atnya telah lengkap dengan kewafatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Para Khalifah al-Rasyidin meneruskan tradisi pimpinan dan pengajaran Islam sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu berlandaskan kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya wujud satu perbedaan yang besar pada saat itu, yaitu wahyu tidak lagi diturunkan.
Dalam era empat khalifah itu, sempalan-sempalan Islam sudah mulai meluas ke arah wilayah-wilayah yang baru. Dengan pembukaan itu, para khalifah Islam sekali-sekali terpaksa berhadapan dengan persoalan-persoalan yang belum pernah dihadapi sebelum itu yang melibatkan hal-hal muamalah seperti ekonomi, harta dan sebagainya. Untuk mencari jalan penyelesaiannya, para khalifah akan duduk berbicara dengan para sahabat (Shura) untuk memperoleh satu jawaban mayoritas yang paling dekat dengan ketentuan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Ibn Hazm (456H) rahimahullah meriwayatkan dari Maimun bin Mehram, kata beliau:
Abu Bakar al-Siddiq, apabila datang orang-orang yang mempunyai masalah kepadanya, beliau akan mencari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur'an), maka beliaupun memutuskan perkara itu dengan ketetapan al-Qur'an. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan beliau mengetahui sunnah Rasulullah dalam perkara itu, maka beliaupun memutuskan perkara itu dengannya. Jika tidak ada sunnah pada perkara itu, beliaupun akan bertanya kepada para sahabat.
Abu Bakar akan berkata: “Telah datang kepadaku suatu perkara, maka adakah kalian mengetahui hukum yang Rasulullah berikan terhadapnya ?” Kadang-kadang berkumpullah beberapa orang sahabat di hadapannya memberitahu apa yang pernah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan jika Abu Bakar masih tidak menemui sesuatu sunnah Rasulullah dari orang-orang yang ditanyakan itu, maka beliau akan mengumpulkan tokoh-tokoh sahabat dalam majlis Shura lalu bertanyakan pendapat mereka. Dan jika pendapat mereka bersatu atas yang satu (semua setuju) yaitu ijma' , maka beliaupun akan memutuskan atas ketentuan hasil ijma' itu.
Dan Umar al-Khaththab berbuat demikian juga.
Pada saat itu, para sahabat kebanyakan masih berada di sekitar Kota Madinah. Oleh karena itu tidaklah menjadi kesulitan untuk berbincang bersama mereka. Faktor itu memudahkan fiqh Islam berjalan dengan lancar. Suasana fiqh Islam berada dalam keadaan yang tulen, penuh keseragaman dan bersatu.

Dalam era itu, tidak wujud setiap mazhab melainkan apa yang disyari‘atkan oleh al-Qur’an, dia jar oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ para Khalifah serta sahabat radhiallahu ‘anhum.

Era Kedua

Mulai tahun 41H/661M, setelah berlakunya persaingan dan pergolakan politik, pemerintahan Islam beralih ke Dinasti Umayyah, satu kerajaan pemerintahan yang berprinsipkan dinasti yaitu yang berdasarkan keturunan. Dinasti Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada perkembangan fiqh Islam. Mereka hanya memperhatikan kepada soal perluasan wilayah dan kekuasaan materi.
Dalam era itu banyak pengaruh luar yang berasal dari Byzantium, Parsi dan India masuk mencemari pemerintahan Dinasti Umayyah. Pola pemerintahan mulai bertukar sedikit-banyak ke arah sekular yang mengasingkan antara agama dan negara. Hiburan-hiburan dan adat-istiadat baru juga mulai diperkenalkan dalam istana yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti musik dan tari menari, ahli nujum, penebak nasib dan sebagainya. Selain itu juga institusi Baitulmal telah bertukar dari milik rakyat kepada kegunaan pribadi dan pelbagai pengadaan bea cukai baru. Pemerintah juga mulai membedakan keutamaan seseorang berdasarkan bangsa dan kabilah sehingga menyebabkan timbulnya sentimen golongan di kalangan rakyat.
Pola pemerintahan Dinasti Umayyah itu digambarkan oleh Seyyed Hussien Nasr sebagai:
Dengan adanya Dinasti Umayyah itu, suatu era baru telah bermulai, yaitu lahirnya suatu wilayah pemerintahan yang menjangkau dari Asia Tengah hingga ke Sepanyol. Mereka sangat-sangat mementingkan dan mengutamakan kekuasaan serta keluasan wilayah walau pada hakikatnya mereka banyak menghadapi masalah dalam.
Dari segi kenegaraan, boleh dikatakan Dinasti Umayyah telah sukses melakukan suatu usaha yang amat besar lagi berat untuk menjaga wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Akan tetapi jika dilihat dari segi nilai-nilai agama, dinasti itu jelas melambangkan keruntuhan dan kemerosotan dari Islam yang wujud sebelumnya.
Mereka (Umayyah) tidak mengambil berat akan penjagaan prinsip dan perlaksanaan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah-khalifah yang empat terdahulu. Mereka lebih mementingkan hal-hal urusan dan perwujudan wilayah dan melihat persoalan agama sebagai sesuatu yang remeh.
Di kalangan pemerintah Dinasti Umayyah, hanya sedikit yang benar-benar melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai pemimpin. Antaranya ialah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz. Beliau memegang posisi pemerintah dari tahun 717M hingga 720M dan pada zaman itulah wilayah-wilayah Islam dapat hidup di bawah bendera Islam yang benar. Akan tetapi era pemerintahan beliau adalah singkat dan setelah itu Dinasti Umayyah kembali ke era kegelapan di bawah pemerintah-pemerintah yang seterusnya.

Para pemerintah Umayyah tidak memberikan perhatian yang besar kepada tuntutan-tuntutan syari‘at Islam di dalam suasana kehidupan mereka, begitu juga terhadap rakyat umumnya. Setiap teguran dari para ulama’ ditepis dan barang siapa yang berani menentang dihukum diasingkan. Para ulama’ yang masuk istana adalah ulama yang dipilih khususuntuk menepati hasrat dan tuntutan pribadi saja. Pola pemerintahan Dinasti Umayyah yang demikian menyebabkan ulama'-ulama' pada saat itu mulai menyisihkan diri dari istana. Mereka juga lebih cenderung untuk berhijrah ke beberapa wilayah lain yang sudah berada di bawah bendera Islam tetapi masih haus ajaran Islam yang sepenuhnya.
Hampir semua ulama' yang berhijrah ke daerah-daerah baru Islam itu ialah anak-anak didik didikan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka juga lebih dikenali sebagai tabi‘in. Adakalanya di beberapa daerah atau wilayah itu muncul ulama' yang senangnya berhujah serta berfatwa melebihi dari kebiasaan. Kepantasan serta kecakapan mereka mengupas persoalan-persoalan agama sangat tepat lagi menyakinkan.
Justru itu banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersama-sama “tokoh baru” itu. Sering kali juga berita kehandalan tokoh baru itu tersebar ke daerah-daerah tatangga menyebabkan penduduk daerah tetangga juga datang beramai-ramai untuk belajar sama. Itu berlaku di beberapa daerah dan dengan itu wujudlah suasana belajar fiqh Islam secara berkelompok dan berkumpulan. Suasana segitu tidaklah dapat dihindari karena tidak wujud medium penyampaian pada zaman tersebut yang dapat meluaskan ajaran seseorang tokoh kepada daerah-daerah lain. Suasana itu berlanjut sehingga jumlah orang yang ikut belajar semakin banyak. Sejalan dengan itu, pengaruh tokoh yang mengajar juga semakin berkembang luas.
Akhirnya suasana fiqh Islam telah berubah ke satu era yang baru. Di dalamnya ada kelebihan dan ada kekurangan. Kelebihannya ialah ilmu Islam dapat tersebar dengan lebih meluas meliputi daerah-daerah yang baru. Sebaliknya kita juga dapati fiqh Islam kini berada dalam usaha dan ijtihad perseorang an, tidak lagi secara shura dan ijma' sebagaimana yang wujud pada era para sahabat dan khalifah. Fiqh Islam secara perseorang an itu pula wujud dalam suasana berkelompok atau kumpulan di sekitar seorang tokohnya dan itu merupakan noktah pertama kelahiran mazhab-mazhab Islam. Kota Madinah tidak lagi menjadi pusat ilmu Islam yang ulung melainkan pada beberapa saat seperti pada musim haji.
Pada permulaian zaman ke 2H/8M, umat Islam sudah mulai merasa tidak puas hati kepada pemerintahan Dinasti Umayyah. Suasana itu menimbulkan pemberontakan dan akhirnya dinasti itu dapat dijatuhkan. Peristiwa itu diringkaskan oleh Ensiklopedi Islam (Ind) dalam satu perenggan sebagai:
Pada awal abad ke-8 (102H/720M) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayyah telah tersebar secara intensif. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu di kalangan muslim bukan Arab (Mawali) yang secara terang-terangan mengeluh akan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab, kelompok Khawarij dan Syi'ah yang terus menerus memandang Bani Umayyah sebagai perampas khalifah, kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah dan Iraq yang sakit hati atas status istimewa penduduk Syria, dan kelompok muslim yang salih baik Arab atau bukan Arab yang memandang keluarga Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami. Rasa tidak puas hati itu akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi (coalition) yang didukung oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi s.a.w.
Demikian juga ulas Seyyed Hussein Nasr:

Pada pengujung Era Dinasti Umayyah, banyak orang mulai menyadari bahwa kedudukan umat dan negara sudah mulai jauh menyimpang dari nilai-nilai Islam yang sebenar.

Kesedaran agama di kalangan rakyat, terutamanya golongan Syi’ah yang selama itu memang tidak menerima pemerintahan Umayyah - menyebabkan mereka bangun menentang amalan-amalan pemerintahan Umayyah. Usaha mereka disokong dengan kedatangan pengaruh Abbasiah…………
Keruntuhan Dinasti Umayyah menyaksikan kelahiran Dinasti Abbasiah yang memerintah dari 132H/750M hingga 339H/950M. Pola pemerintahan Abbasiah dan Umayyah tidaklah sama di mana Dinasti Abbasiah mulai memberikan perhatian dan keutamaan kepada Islam terutamanya dari sudut keilmuannya. Dalam era itulah keilmuan Islam kembali bangun dan terus bangun ke tahap ilmiah yang sangat tinggi. Hasbi ash-Shiddieqie rahimahullah menerangkan:
Sebaik saja fiqh Islam memasuki era itu, berjalanlah perkembangan-perkembangannya yang cepat menempuh pelbagai lapangan yang luas. Perbahasan-perbahasan ilmiah meningkat tinggi sehingga tasyri' Islam pada masa itu memasuki period kematangan dan kesempurnaan. Para ulama era itu mewariskan kepada para muslimin kekayaan ilmiah yang tidak ada taranya.
Dalam era itulah dibukukan ilmu-ilmu al-Qur'an, ilmu Hadits, ilmu kalam, ilmu lughah dan ilmu fiqh. Dan dalam era itulah juga lahirlah tokoh-tokoh fiqh yang terkenal……..
Tokoh-tokoh fiqh yang dimaksudkan itu ialah mereka yang sudah mulai terkenal namanya sejak dari era Umayyah lagi sebagaimana yang diterangkan sebelum itu. Ketokohan mereka dalam bidang ilmu-ilmu Islam sangat memuncak sehingga banyak orang dari segala pelosok dunia Islam mulai datang ke daerah mereka untuk menuntut ilmu.
Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah Abu Hanifah (150H/767M) dan Sufyan al-Thawri (160H/777M) di Kufah, al-Auza‘i (157H/774M) di Beirut, al-Layts ibn Sa‘ad (174H/791M) di Mesir dan Malik bin Anas (179H/796M) di Madinah. Kemudian dari mereka lahir juga tokoh-tokoh lain yang mana mereka itu pula ialah anak didik untuk tokoh-tokoh di atas. Di antara yang dimaksudkan ialah Muhammad bin Idris al-Shafi’i (204H/820M), Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (241H/855M), Dawud ibn ‘Ali (270H/883M) dan Muhammad ibn Jarir al-Tabari (311H/923M). [15] Ketokohan dan keilmiahan ulama'-ulama' di atas dimulyakan ramai dan gelaran Imam diberikan kepada mereka.
Setiap dari tokoh-tokoh itu mempunyai ratusan umat Islam yang mengerumuni mereka sebagai puncak sumber ilmu pengetahuan. Walaupun setiap dari tokoh-tokoh itu mengajar berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah, ada kalanya timbul perbedaan sesama mereka. Perbedaan itu timbul atas sebab-sebab yang sukar untuk dihindari pada masa era itu seperti berijtihad secara berseorang an, tidak kesampaian sesuatu Hadits yang khusus, berlainan kefahaman terhadap sesuatu nas, kaedah pengambilan hukum yang berbeda dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan itu adalah kecil dan insya-Allah akan diuraikan pada bagian berikutnya..
Perbedaan-perbedaan itu dikatakan sebagai pendapat seseorang tokoh yang dihubungkan kepada namanya. Sesuatu pendapat itulah yang diistilahkan sebagai Mazhab. (A particular school of thought).
Pada era itu juga ilmu-ilmu Islam mulai dibagikan kepada beberapa jurusan untuk memudahkan seseorang untuk mencapai kemahiran di dalamnya seperti ilmu fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam, ilmu bahasa dan sebagainya.
Selain itu ilmu-ilmu di atas juga mulai dibukukan secara formal. Antara pembukuan pertama untuk ilmu fiqh Islam ialah Kitab al-Khaaraj oleh Abu Yusuf (al-Imam Abu Yusuf Yaakob bin Ibrahim, lahir pada 113H/731M dan merupakan salah seorang anak murid utama bagi Abu Hanifah (150H/767M). Sebelum berguru bersama Abu Hanifah selama 9 tahun, beliau berguru bersama Ibn Abi Laila (148H/765M), kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Selepas kewafatan Abu Hanifah, beliau turun ke Madinah untuk berguru kepada Malik bin Anas. Abu Yusuf menjawat kedudukan Ketua Hakim (Qadi) Dinasti Abbasid dari tahun 158H/775M hinggalah ke masa kewafatannya pada tahun 182H/798M) dan Kitab Al Umm oleh Muhammad Idris al-Shafi’i. Pembukuan dan penulisan kitab hadits yang pertama juga berlaku pada era itu atas saran Khalifah Harun al-Rashid (khalifah ke-5 bagi Dinasti Abbasid. Beliau lahir pada tahun 147H/764M dan telah dihantar untuk belajar agama bersama-sama tokoh-tokoh pada ketika itu. Kebanyakan guru beliau adalah daripada kalangan tabi‘in dan tabi-tabi‘in yang menerima ilmu mereka secara terus daripada generasi sahabat. Harun menjawat kedudukan khalifah pada tahun 169H/786M dan pada zaman beliaulah kerajaan Abbasid dan Islam mencapai era kegemilangannya. Beliau meninggal dunia pada tahun 193H/809M). kitab hadits pertama yang diusahakan ialah al-Muwattha’ oleh Malik bin Anas.
Setelah kewafatan tokoh-tokoh di atas, ajaran serta prinsip mereka diteruskan oleh anak-anak didik mereka. Mereka cenderung mengajar dan menyampaikan apa yang disampaikan oleh guru mereka dan dengan itu pengaruh mazhab imam mereka makin terserlah di kalangan umat Islam. Oleh karena itulah kita bisa dapati di era itu banyak orang di sekitar Madinah dan Mekah banyak berpegang kepada pendapat Malik bin Anas (Mazhab Maliki), banyak orang di sekitar Iraq cenderung pula kepada pendapat Abu Hanifah (Mazhab Hanafi) dan banyak orang di sekitar Mesir cenderung kepada pendapat al-Layts ibn Sa‘ad.
Suasana kecenderungan kepada satu mazhab semakin menguat apabila pihak pemerintah Dinasti Abbasiah mengambil dan mengiktiraf pendapat Abu Hanifah saja sebagai mazhab rasmi dunia Islam saat itu. Suasana itu menimbulkan ketidak-puasan di kalangan orang-orang Madinah, Mesir dan lain-lain. Keadaan itu menjadi lebih tegang apabila pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai mencabar dan menganjurkan perdebatan antara tokoh ilmuan mazhab-mazhab yang berlainan pendapat hanya atas tujuan pribadi dan hiburan istana. Perbuatan pemerintah-pemerintah Abbasiah itu memburukkan lagi suasana perkelompokan dan pribadi dalam bermazhab di kalangan umat Islam. Abu Ameenah Bilal Philips menerangkan:
Perdebatan-perdebatan itu menimbulkan suasana persaingan sesama mereka karena apabila salah satu diantara mereka kalah dalam perdebatan itu, dia bukan hanya kehilangan gaji uang dari pemerintah tetapi juga kehilangan reputasi dirinya.
Lebih dari itu kehilangan reputasi diri sangat berhubungan dengan kehilangan reputasi mazhab seseorang itu. Kebenaran atau kebatilan mazhab seseorang itu menjadi agenda utama dalam debat tersebut. Hasilnya, suasana persaingan dan perselisihan makin memanas antara tokoh-tokoh mazhab.
Pada zaman ke 3H/9M, suasana keilmuan Islam bertambah hebat lagi dengan munculnya tokoh-tokoh dan ahli-ahli Hadits seperti Imam Bukhari (256H/870M), Imam Muslim (261H/875M), Imam at-Tirmizi (279H/892M), Imam Abu Daud (275H/889M), Imam An Nasai (303H/915M), Imam Ibnu Majah (273H/887M) dan banyak lagi. Mereka memperjuangkan seluruh tenaga, waktu dan hidup mereka untuk merantau ratusan kilometer ke seluruh dunia Islam masa itu untuk mencari, meriwayat, menganalisa, menapis dan membukukan Hadits-Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh ketelitian dan sistematik. Hadits-hadits Rasulullah ditapis dan dia nalisa terlebih dahulu dengan ketat sekali sebelum dia diterima dan diberikan status sahih.
Malangnya pada saat itu, tokoh-tokoh fiqh yang utama, seperti Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal telah meninggal dunia. Itu sedikit-banyak ada hubungannya dengan kesempurnaan pendapat fiqh mereka karena ada pendapat mereka yang secara tidak sengaja didasarkan kepada hadits yang lemah atau tidak tepat karena tidak menjumpai hadits yang khusus sebagai dalil.
Permulaian zaman ke 4H/10M menyaksikan Dinasti Abbasiah mulai menghadapi era kejatuhannya atas pelbagai masalah dalaman serta luaran. Setelah tahun 339H/950M dunia Islam diperintah oleh beberapa kelompok dinasti-dinasti yang kecil, masing-masing mewakili daerahnya. Pada saat itu ajaran-ajaran fiqh Islam mulai terkumpul sebagai empat ajaran atau empat mazhab, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab al-Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Umat Islam pada zaman ke 4H/10M dan seterusnya mulai terikut secara ketat kepada empat mazhab itu.
Di pengujung hidupDinasti Abbasiah itu, juga acara-acara perdebatan sesama tokoh dan mazhab makin memuncak, sehingga acara itu memunyai nama sendiri, yaitu Munaad Haraat. Dengan itu juga semangat persaingan dan pembelaan mazhab makin berleluasa, bukan saja kepada tokoh-tokoh yang berdebat tetapi juga kepada banyak orang karena masing-masing membenarkan tokoh dan mazhab mereka.

Itu secara tidak langsung menyaksikan secara perlahan-lahan terbinanya tembok-tembok pemisah antar mazhab yang ada dari segi ajaran, masyarakat dan geografi. Tembok itu sesuai peredaran zaman semakin meninggi dan menebal. Umat Islam mulai dibagikan dan dikategorikan kepada mazhab yang mereka ikuti dan pegangi, sehingga ahli-ahli ilmu pada zaman itu juga mulai mengakhiri nama mereka dengan mazhab yang didukung masing-masing.

Era Ketiga

Setelah keruntuhan Dinasti Abbasiahh, umat Islam berada dibawah beberapa kelompok kerajaan yang berasingan. Masing-masing mempunyai kaedah pemerintahan sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai ‘mazhab’ rasmi yang dijadikan sumber rujukan pelaksanaan syari‘at-syari‘at Islam. Pada saat itu juga, yaitu pada zaman-zaman ‘pertengahan’ , umat Islam keseluruhannya mulai mengalami keruntuhan dan kemundurannya berbanding balik dengan negara-negara non-muslim.
Banyak faktor yang mendukung keruntuhan umat Islam pada saat itu, antaranya ialah:
1. Terlalu gembira dengan kejayaan yang telah dicapai,
2. Terlalu banyak hiburan duniawi hingga lupa akan panduan hidup yang diberikan oleh agama,
3. Banyak perselisihan sesama atas tuntutan reputasi, jabatan, gaji, dan hal-hal duniawi yang lain.
Akan tetapi satu faktor yang amat penting yang berhubungan dengan mazhab-mazhab empat ialah wujudnya budaya taqlid, yaitu perbuatan hanya mengikut sesuatu ajaran secara membuta tanpa mengetahui apakah hujah atau alasan di sebaliknya.
Dengan terbaginya umat Islam kepada beberapa kelompok kerajaan dengan masing-masing mempunyai ‘mazhab rasminya’ tersendiri, suasana bermazhab dalam agama menjadi semakin kuat. Seseorang yang berada dalam sebuah mazhab hanya dibolehkan mempelajari atau mengikuti mazhabnya saja tanpa menjengok atau membanding dengan mazhab yang lain. Di samping itu mayoritas umat pula sudah mulai
menerima hakikat perwujudan mazhab dan mereka lebih rela mengikuti saja satu-satu mazhab yang tertentu tanpa lebih dari itu. Konsep “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” menjadi slogan kata umat keseluruhannya dan tembok-tembok pemisah antara mazhab menjadi lebih tebal, tinggi dan kukuh.
Para ulama’ juga tidak terlepas dari belenggu itu. Jika mereka mengeluarkan sesuatu fatwa yang tidak sejalan dengan tuntutan mazhab resmi kerajaan atau wilayah mereka, mereka akan diasingkandari wilayah atau negri asalnya. Ditambah pula, ke negeri manapun mereka pergi, mereka terpaksa juga akur dengan ajaran mazhab rasminya. Justru itu para ulama’ sebuah negara tidak mempunyai banyak pilihan kecuali hanya mengajar dan berfatwa berdasarkan mazhab negaranya, tidak lebih dari itu. Selain itu usaha mereka juga hanya tertumpu kepada pembukuan, peringkasan, penambahan dan penyelarasan ajaran mazhab. Hanya sekali-sekali timbul beberapa ulama’ yang berani melawan arus kebudayaan mazhab itu akan tetapi mereka menghadapi tentangan yang amat sengit dari para pemerintah dan …….. umat Islam sendiri.

Konsep umum “Kami mazhab kami, mereka mazhab mereka” ditambah dengan budaya taqlid mazhab, yaitu mengikuti dan mentaati satu-satu ajaran mazhab secara membuta tanpa mengetahui apakah alasan, hujah maupun dalil yang dikemukakan oleh mazhab tersebut. Dengan wujudnya budaya taqlid itu, fiqh Islam dan sekaligus mazhab-mazhabnya berubah dari sesuatu yang dinamik kepada sesuatu yang statik. Pintu-pintu ijtihad atau daya usaha mengkaji dan menganalisa dihentikan. Maka beralihlah fiqh Islam pada era itu kepada sesuatu yang beku lagi membatu. Ilmu-ilmu Islam tidak lagi bertambah, sebaliknya makin surut dan tenggelam. Fiqh Islam kononnya sudah tidak dapat lagi menjawab persoalan-persoalan baru yang timbul sejalan dengan tuntutan zaman. Fiqh Islam dianggap sebagai sesuatu yang ketinggalan dan tidak perlu lagi diberi keutamaan dalam suasana zaman terkini .
Dengan meluasnya budaya taqlid itu, kefahaman umat Islam tentang agama mereka makin menurun dan merosot. Fiqh Islam hanya tinggal 5 perkara, yaitu wajib, haram, sunat, makruh dan harus. Tanpa mengetahui hujah dan dalil di sebalik ajaran mereka, umat Islam hanya duduk mentaati ajaran mazhab mereka secara membuta. Suasana budaya taqlid tidak hanya tertuju kepada bidang fiqh Islam saja tetapi ia juga meliputi bidang akidah dan seluruh syari‘at Islam. Paling bahaya ialah dalam bidang akidah di mana umat sendiri sudah tidak tahu lagi apakah ciri-ciri murni akidah Islam yang sebenar dan apakah pula ajaran-ajaran luar yang mencemari akidah mereka sehingga menghampirkan mereka kepada lembah syirik.
Budaya taqlid itu dan kesan buruknya terhadap sejarah umat diterangkan oleh sejarawan Islam: Ibnu Khaldun (808H) rahimahullah:
Para ulama’ menyeru umat Muslimin supaya kembali taqlid kepada imam-imam yang empat. Masing-masing mempunyai imamnya sendiri-sendiri yang menjadi tempat taqlidnya. Mereka sama sekali tidak berpindah-pindah taqlid karena yang sedemikian itu berarti mempermainkan agama.
Tak ada yang tartinggal dari dinamisme pemikiran Islam selain usaha menukilkan ajaran-ajaran yang sudah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang mereka 'anut' , setiap muqallid (orang yang bertaqlid) hanya mempraktikkan ajaran hukum mazhabnya.
Seseorang yang mengaku melakukan ijtihad tidaklah diakui orang lain hasil ijtihadnya dan tak seorang pun yang akan bertaqlid kepadanya. Muslimin pada saat itu telah menjadi kelompok manusia yang hanya bertaqlid kepada imam empat. Itulah yang dikatakan sebagai masa kemunduran umat Islam atau pemikiran Islam atau tertutupnya pintu ijtihad.
Walaupun beberapa saat setelah itu (zaman ke 10H/16M) wujud beberapa kerajaan Islam yang mempunyai kekuatan materi dan ketenteraan yang amat hebat sehingga menggerunkan pihak Eropa , itu tidak akan bertahan lama karena di balik kekuatan tersebut tidak ada keutuhan pendirian agama dan pelaksanaannya terhadap tuntutan nilai-nilai manusiawi. Pada waktu yang sama, ada juga yang mulai melihat Islam sebagai sesuatu yang tidak mempunyai masa depan kecuali jika dia diselaraskan dengan konsep dan ideologi Barat.
Beberapa kerajaan Islam saat itu mulai mengimpor dan melaksanakan budaya serta ideologi Barat ke dalam kerajaan dan wilayah-wilayah Islam di bawah kawalan mereka. Suasana itu lebih memburukkan: Islam makin tertolak ke belakang dan ideologi lain diletakkan di hadapan. Itu mereka lakukan atas fahaman bahwa ilmu-ilmu Islam itu hanyalah sebagai apa yang tertulis dalam ajaran mazhab dan ajaran mazhab itu pula jauh ditinggalkan oleh kemajuan zaman.
Era itu berjalan terus dengan nasib umat Islam yang demikian, yaitu Islam bermazhab, masing-masing bertaqlid kepada mazhab masing-masing ditambah dengan pelbagai ideologi luar yang digunakan sebagai selingan, bahkan gantian kepada ajaran Islam yang asal.
Era Keempat
Pada zaman ke 11H/17M dan 12H/18M, negara-negara Eropa mulai mengalami revolusi pembaharuan, kemajuan dan perindustrian. Negara-negara Eropa mulai menjajah dan menaklukan negara-negara Islam dengan meluaskan pengaruh, agama, ideologi dan adat mereka. Suasana itu mulai menyadar dan membangkitkan umat Islam akan hakikat kedudukan mereka yang sebenarnya. Umat Islam, meskipun sudah agak terlambat, mulai menyadari akan kemunduran mereka dan bahaya yang akan mereka hadapi jika mereka tidak mengubah sikap dan fikiran.
Huzaemah Tahido menerangkan:
Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1215H/1801M telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para penguasa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat.
Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan perimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan untuk umat Islam. Hubungan dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan kefahaman ‘pembaharuan’ dan ‘modernisasi’ di kalangan umat Islam.
Bagaimanakah memajukan kembali umat Islam seperti masa klasiknya ? Pertanyaan itu terjawab dengan membebaskan kembali pemikiran dari kebekuannya selama itu. Dengan membebaskan kembali pemikiran, ijtihad kembali bergerak.

Zaman ke 12H/18M dan 13H/19M menyaksikan beberapa gerakan dan revolusi muncul di beberapa bagian dunia Islam untuk menghapuskan ketaksuban mazhab dan taqlid, meruntuhkan tembok-tembok pemisah mazhab dan membangkitkan umat Islam dari tidur sekian lama. Fiqh Islam dan sekaligus syari‘atnya digerakkan , kesedaran umat Islam terhadap agama mereka dibangkitkan dan semangat Islam maju umat maju dilaungkan kembali.
Antara mereka yang berani lagi gigih membangunkan Islam dari tidurnya ialah Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab (1206H/1792M) di Semenanjung Arab; Jamal al-Din al-Afghani (1314H/1897M), Muhammad Abduh (1322H/1905M), Rashid Ridha (1353H/1935M) dan Hasan al Banna (1368H/1949M) di Mesir, Ahmad Khan (1308H/1891M) di India dan Abu A'la Mawdudi (1399H/1979M) di Pakistan.
Selain itu banyak lagi individu lain yang muncul membangunkan Islam di benua-benua lain termasuk Asia Tenggara. Walaupun setiap dari mereka mempunyai nama gerakan sendiri-sendiri , objektifnya tetap sama yaitu memajukan Islam berdasarkan pengkajian ilmu-ilmu Islam (ijtihad), menolak ikutan buta tanpa ilmu (taqlid) dan mendalami ilmu-ilmu duniawi seperti sains, perekonomian dan sebagainya.
Mereka menekankan umat Islam untuk bangkit maju, mereka wajib mempunyai kepakaran dalam kedua bidang ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu duniawi karena memang pada asalnya kedua ilmu itu adalah kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Antara ilmu agama dan ilmu duniawi itu saling bantu-membantu, sokong-menyokong; jika ada yang bertentangan maka itu adalah karena kurangnya pengetahuan manusia tentang salah satu daripadanya.
Usaha pembangunan umat masih diperjuangkan hingga ke hari buku itu ditulis. Tokoh-tokoh agama di dunia Islam mulai sedar akan kepentingan pengkajian ilmu-ilmu Islam, menghindarkan ketaksuban mazhab, mengecam taqlid buta, membuka pintu-pintu ijtihad dan pelbagai lagi. Kitab-kitab tafsir, hadits, fiqh dan pelbagai lagi sumber ilmu Islam tanpa mengira mazhab mulai diterjemah agar ia dapat dikuasai oleh umat yang tidak mahir dalam bahasa Arab. Seminar, persidangan dan lain-lain dia njurkan tanpa henti-henti.
Akan tetapi usaha yang dilakukan itu masih kecil jumlahnya jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mau berusaha atau yang menentang terus ijtihadia h sezaman begitu . Masih ramai umat dan tokoh semasa yang terlalu fanatik kepada mazhab sehingga amat berat untuk bertoleransi dengan usaha pembaharuan itu. Tidak kurang juga yang sudah terlalu terpengaruh dengan kebudayaan Barat sehingga dirasanya Islam itu, mazhab atau tanpa mazhab, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Islam menurut mereka hanyalah suatu agama pribadi yang dia malkan di rumah saja oleh barang siapa yang mengingitu nya. Golongan-golongan sebegitu lah yang sebenarnya menjadi penghalang kepada kemajuan Islam dan golongan-golongan sebegitu lah yang perlu ditangani dan dirundingi segera.
Demikianlah secara ringkas sejarah pertumbuhan dan perkembangan mazhab-mazhab fiqh Islam. Memang pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khalifah al-Rasyidin tidak wujud mazhab-mazhab Islam. Hanya karena sebab-sebab sejarah dan politik, barulah muncul mazhab-mazhab itu sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Untuk memantapkan kefahaman, berikut diuraikan faktor-faktor penyebab untuk munculnya mazhab-mazhab fiqh Islam yang empat:

• Pola pemerintahan Umayyah yang tidak akur dan patuh kepada petunjuk para ulama’ yang wujud saat itu. Malah ulama’-ulama’ yang berani menegur pemerintah, dia ncam atau ditangkap. Itu menyebabkan ulama’-ulama’ era itu menyisihkan diri mereka dari suasana istana berhijrah ke daerah-daerah lain. Hal itu menyebabkan tidak mungkin berlakunya pencarian dan pencapaian kesepakatan (ijma’) dalam setiap persoalan agama. Selain itu pertukaran dan perbandingan ilmu sesama ulama’ tidak lagi terjadi sebagaimana pada zaman sebelum pemerintahan Umayyah.

• Wilayah Islam sudah semakin luas menyebabkan lahirnya generasi umat Islam yang baru yang menginginkan penjelasan agama terhadap persoalan yang khusus kepada mereka. Oleh karena Kerajaan Umayyah tidak mengambil peduli akan persoalan agama dan rakyat, maka usaha itu jatuh ke tangan ulama’-ulama’ secara sendirian.

• Tidak wujud setiap sistem komunikasi atau media yang canggih pada zaman itu untuk membolehkan para ulama’ di pelbagai daerah berunding sesama mereka. Oleh karena itu para ulama’ era itu terpaksa berusaha secara sendirian dalam menghadapi persoalan-persoalan agama. Mereka menafsir al-Qur’an mengikut kemampuan ilmu yang ada dan berusaha mengeluarkan hukum mengikut sejumlah hadits yang diketahuinya.

• Dalam suasana itu timbul beberapa ulama’ yang tinggi ilmunya lagi cakap dalam mengupas dan mengolah persoalan agama. Kehebatannya di satu-satu daerah menyebabkan banyak orang mulai berkumpul untuk belajar bersamanya. Berita kehebatannya mulai tersebar ke daerah berdekatan menyebabkan banyak orang mulai bertumpu kepadanya sebagai sumber rujukan ilmu agama.

• Perpindahan kerajaan kepada Dinasti Abbasiah melihatkan perkembangan ilmu-ilmu Islam secara pesat. Pada era itu juga kehandalan beberapa tokoh pribadi tersebut semakin terserlah. Antara yang paling hebat dan masyhur ialah Malik bin Anas di Madinah, Abu Hanifah di Kufah, al-Syafi‘i di Yaman dan Mesir serta Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Pendapat serta ajaran mereka diistilahkan mazhab dan dari situlah bermulainya Mazhab Maliki, Hanafi, al-Syafi‘i dan Hanbali.

• Ajaran Abu Hanifah atau mazhabnya diangkat menjadi mazhab rasmi oleh Kerajaan Abbasiah. Pemerintah-pemerintah Abbasiah melantik qadi-qadi serta ulama’-ulama’ Hanafi menjadi gubernur atau mufti untuk wilayah-wilayah dalam wilayah mereka. Itu menimbulkan banyak ketidakpuasan kepada umat Islam yang tidak suka kepada mazhab Hanafi. Mereka enggan akur kepada mufti-mufti Hanafiah dan terus mengamalkan mazhab tokoh-tokoh mereka sendiri.

• Menyadari wujudnya perbedaan antara ajaran mazhab, pemerintah-pemerintah Abbasiah mulai menganjurkan acara perdebatan antara tokoh mazhab. Perbuatan itu menyebabkan persaingan dan perselisihan antar mazhab mulai memanas dan memuncak.

• Setelah jatuhnya Dinasti Abbasiah, Kerajaan Ottoman mengambil alih. Selain kerajaan Ottoman lahir juga beberapa kerajaan Islam yang lain. Masing-masing memerintah wilayah mereka masing-masing dan mengangkat sebuah mazhab menjadi mazhab rasmi mereka. Perbuatan itu menambahkan lagi persaingan dan perasingan antara mazhab.

• Mulai masa itu umat Islam dan negara mereka mulai dikenali berdasarkan mazhab. Demikian juga nama-nama tokoh agama didasarkan kepada mazhab yang didokonginya.

• Mulai zaman pertengahan hingga masa kini , umat Islam hanya merujuk kepada satu-satu mazhab tertentu saja. Umat Islam dengan sendirinya menutup pintu-pintu ijtihad dan rela duduk mengamalkan konsep bermazhab dan bertaqlid tanpa banyak soal.

Jika kita benar-benar menganalisa faktor-faktor kemunculan mazhab-mazhab fiqh Islam itu, kita akan dapati dia wujud secara ‘terpaksa’ oleh suasana peredaran zaman dan politik. Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik bin Anas, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal hanya memiliki tujuan mengajar dan menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang sebenar kepada umat. Mereka berhijrah ke sana-situ semata-mata untuk mencari ilmu dan menyampaikan ilmu. Mereka mengumpul dan menulis ajaran-ajaran Islam supaya dia tidak hilang dimakan masa, supaya umat setelah mereka dapat merujuknya.

Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja. Tidaklah menjadi hasrat para imam mazhab empat untuk membelahkan umat itu kepada empat kumpulan. Sejarah dunia memaksa ajaran mereka menjadi tertuju kepada sekian daerah dan sekian umat. Suasana politik yang menimbulkan suasana persaingan dengan sengaja menganjurkan debat-debat sesama pengikut mereka. Suasana politik juga memaksa ajaran mazhab ditaati banyak orang tanpa persetujuan mereka.

Oleh yang demikian kita tidak boleh memandang sebelah mata dan menyalahkan para imam mazhab sebagai sebab timbulnya mazhab-mazhab Islam itu. Malah jika diperhatikan benar-benar, para imam mazhab itulah yang banyak berjasa mengekal, menjaga dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam sebagaimana yang kita pelajari dan amalkan sekarang. Jasa-jasa para imam mazhab itu boleh dirumuskan sebagai:

• Tegas berusaha menjaga keaslian dan ketulenan ajaran agama dari dicemari faktor-faktor politik.

• Berusaha menghidupkan ajaran Islam yang ditinggalkan oleh peredaran zaman.

• Menyusun dan membukukan ajaran-ajaran Islam supaya ia dapat dipelajari oleh umat sepanjang masa.


Tidaklah menjadi tujuan para imam mazhab untuk sengaja mengelompokkan umat Islam itu kepada mazhab mereka saja.
Mengorak kaedah-kaedah fiqh yang sistematik untuk memudahkan umat Islam kemudian hari mencari dan mengeluarkan hukum.

Jasa-jasa para imam mazhab kepada ajaran dan ilmu Islam tidak dapat dilupakan sampai hari ini. Sebagaimana yang diterangkan oleh Abdul Rahman:

Imam-imam Abu Hanifah, Malik, al-Syafi‘i dan Ahmad bin Hanbal, yaitu pemimpin-pemimpin Mazhab Ahli Sunnah, telah memberikan jasa baik yang tidak tandingnya dalam bidang fiqh Islami.

Tiadalah seorangpun dari mereka yang mencoba untuk mengubah ajaran al-Qur'an dan tiadalah juga mereka bertujuan untuk mengubah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana yang dituduh oleh segelintir orang lain maupun ahli-ahli ilmuan Islam yang cetek ilmunya.

Demikianlah secara ringkas pertumbuhan dan perkembangan fiqh Islam sejak dari era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga kini . Insya-Allah di bagian seterusnya kita akan berkenalan pula dengan lebih rapat, siapakah Para imam mazhab empat itu dan bagaimanakah jalan hidup mereka menegakkan ilmu-ilmu Islam.







sumber:
http://www.facebook.com/photo.php?fbid=263195737080591&set=a.227788947287937.57772.142545949145571&type=1&theater


Minggu, 10 April 2011

Habib Umar bin Hafiz, Ulama Habaib Terkenal Masa Kini




Beliau ialah Habib Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abdullah putera dari Abi Bakr putera dari Aidarus putera dari Hussein putera dari Syeikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari Abdullah putera dari Abdul Rahman putera dari Abdullah putera dari Syeikh Abdul Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al- Dawilah putera dari Ali putera dari Alawi putera dari al-Faqih
al-Muqaddam Muhammad putera dari Ali putera dari Muhammad Shahib Mirbat putera dari Ali Khali Qasam putera dari Alawi putera dari Muhammad putera dari Alawi putera dari Ubaidillah putera
dari Imam al-Muhajir Ahmadputera dari Isa putera dari Muhammad putera dari Ali al- Uraidi putera dari Ja'far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari Ali Zainal Abidin putera dari Hussein sang cucu
lelaki, putera dari pasangan Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah az-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w..

Beliau dilahirkan di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama
berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan
kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya ialah salah seorang
ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran Islam dan pengajaran hukum suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua datuk beliau, Habib Salim bin Hafiz dan Habib Hafiz bin Abdullah yang merupakan paraintelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi Habib Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul
dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan. Beliau telah mampu menghafal al-Quran pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadis, bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang
dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin Alawi bin Shihab dan Syeikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Habib
Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang
‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan zikir.







Namun secara tragis, ketika Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk solat Jumaat, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahawa tanggungjawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang dakwah sama seperti seakan- akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid.

  Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, dia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis dan dakwah. Perjuangan dan
usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan
untuk menghafal al-Quran dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Dia sesungguhnya telah benar- benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari
jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah
bimbingan ahli dari yang mulia Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafie, Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya dia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Dia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang dakwah. Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa- desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namunkini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan,
mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan serban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah swt.








Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan dakwah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyaraka di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahi bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung. Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Habib Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat
pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan RasulNya s.a.w. dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai al-Habib Abdul
Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Habib Ahmad Mashur al-Haddad dan Habib Attas al-Habshi.
Sejak itulah nama Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikeranakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini
menjadikannya mendapatkan sumber d tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan.








Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang
mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru. Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan
di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman.
Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan  pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal
melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan
mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah.
Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya
pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.


 


Habib Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.





sumber: www.ildib.co.cc/2011/01/habib-umar-bin-hafiz-ulama-habaib