Tampilkan postingan dengan label bid'ah hasanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bid'ah hasanan. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Februari 2011

25 Habaib Support

Tim Penulis Buku Syiah
Jumat pagi (18/12/28),
sekitar 25 habaib dan
ulama dari berbagai kota
di Jawa Timur, juga Jawa
Tengah dan Jawa Barat,
berkunjung ke Pondok
Pesantren Sidogiri. Di
antaranya Habib Ahmad
Zein Alkaff (Surabaya),
Habib Abdul Kadir Al-
Haddar (Banyuwangi),
dan Habib Taufik Assegaf
(Pasuruan). Rombongan
yang dikoordinir Habib
Thohir Alkaff dari
Pekalongan ini tiba
sekitar pukul 08.30 wis.
Kedatangan mereka
bertujuan memberi
dukungan moril pada Tim
Penulis buku
“ MUNGKINKAH SUNNAH-
SYIAH DALAM
UKHUWAH? Jawaban
atas Buku Dr. Quraish
Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan!
Mungkinkah ?)” terbitan
Pustaka Sidogiri.
Sebelum acara dimulai,
KH Lutfi Bashori dari
Singosari Malang
menawarkan berbagai
metode mengasah
kemampuan pematangan
mental, agar Tim Penulis
memiliki mental yang
kuat sebelum
menghadapi berbagai
kemungkinan ketika
berhadapan langsung
dengan tokoh-tokoh
Syiah. Baik melalui
seminar di masjid-masjid
yang kemungkinan
sebagian pesertanya ada
yang Syiah, maupun
mengundang pengikut
Syiah yang telah sadar.
Pertemuan di kantor
sekretariat PPS ini
dibuka oleh Sekretaris
Umum PPS HM Masykuri
Abdurrahman. Kemudian
sambutan Habib Thohir
Alkaff atas nama
koodinator. Dalam
sambutannya, beliau
banyak mengucapkan
terimakasih pada Tim
Penulis atas usaha
penyelesaian buku
tersebut. Selanjutnya,
Habib Thohir
menyampaikan maksud
kedatangannya, langkah-
langkah menghadapi
Syiah, serta menanyakan
kabar adanya tantangan
dari pendukung Prof DR
Quraish Shihab. Beliau
juga menyampaikan pada
Tim Penulis agar tidak
ragu menyatakan
kesediaan jika ada
tantangan resmi dari
pihak Quraish Shihab.
Kemudian acara
dilanjutkan dialog. Dari
dialog banyak diperoleh
poin-poin penting dan
pengetahuan baru dari
tokoh-tokoh yang hadir,
yang pernah bersentuhan
atau berhadapan
langsung dengan orang-
orang Syiah. (Saiful
Anwar)

Selasa, 08 Februari 2011

Rest n jok Bersama Kyai Kocak_ "Mati Aja Duluan”


"Pak kyai, apa santri kyai selalu percaya  tentang siksa kubur yang pak kyai sampaikan?", oceh anak jurusan akidah dan filsafat semester tiga.

"Loh, ya sampeyan tanya saja mereka, percaya atau tidak", kyai agak terusik ditanya begitu.

"Kalau saya sih, hampir tidak percaya sama sekali, kyai", tegas filosof muda itu.
"Oh ya itu hak sampeyan", kyai enggan meladeni

"Agama memang tak masuk akal", filosof muda itu makin berani.
"Memang, kalau agama bisa diakal-akalin, rusak itu agama", kyai mulai agak serius.

"Maksud saya tentang siksa kubur itu, kyai", filosof muda ngajak fokus soal siksa kubur.
"Memang. Siksa kubur tidak bisa dipahami logika. Hanya bisa dipahami dengan iman", kyai mulai memasang jerat.

"Ya, karena itu, tidak bisa dipastikan ada atau tidaknya siksa kubur", filosof muda makin tak terkendali.
"Kalau saya bisa memastikannya bahkan sangat yakin siksa kubur itu ada", kyai mulai ancang-ancang.

"Oh, kalau kyai bisa membuktikan secara logika bahwa siksa kubur itu ada, mungkin saya akan berubah pikiran mempercayainya", filosof muda tidak menyadari sudah mulai masuk perangkap.
"Sampeyan sungguh-sungguh?", kyai memasang umpan kedua.

"Saya sungguh-sungguh, kyai. Tapi mana mungkin kyai bisa membuktikan?", filosof muda mulai hilang kesadaran.
"Itu mudah sekali", kyai memasang jurus pamungkas.
"Seberapa mudah dan bagaimana caranya?", kena.
"Sampeyan mati aja duluan, nanti saat di dalam kubur sampeyan dipentung malaikat, SMS saya".



#@%$#@....
Abdul:
Depok, Januari 2011.

Senin, 07 Februari 2011

pertanya'an khilafiyah kepada gus mus

Tanya: Bapak Mustofa Bisri, beberapa pertanyaan sederhana saya ini mungkin sudah 'usang', tetapi karena saya belum paham benar maka mohon dengan sangat Bapak sudi menjawabnya. Adapun persoalannya yaitu: Dalam shalat Subuh, saya tidak memakai doa qunut. Sedangkan di mesjid desa kami bila berjamaah Subuh selalu memakai qunut. 

Pertanyaannya: Bagaimana bila saya diminta sebagai imam di mesjid tersebut; apakah aya harus juga memakai doa qunut sebagaimana kebiasaan mereka, sementara kalau di rumah saya tidak melakukannya. Sebab saya khawatir bahwa doa yang saya ucapkan saat menjadi imam itu karena
mereka, bukan karena suara hati saya. Apakah itu dapat dikatakan saya tidak konsisten pada pendirian? Kemudian bagaimana hukumnya mengangkat tangan dalam doa qunut tersebut (baik bagi imam/ makmumnya)?
Bagaimana hukumnya membaca surah sesudah surah Al-Fatihah dalam shalat sunnah rawatib itu? Apakah shalat sunnah Tahajjud boleh dikerjakan berjamaah? 
Bila boleh apakah bacaannya juga dikeraskan?
 Apakah benar bila kita terlambat berangkat shalat Jum'at (datang sesudah khatib berdiri di atas mimbar) maka shalatnya tidak diterima. Apakah ada dalilnya?
Atas jawabannya saya mengucapkan terima kasih.

Yoyok Sky
Depok, Sleman, Yogya
==================



Jawab:
Wah, pertanyaan Anda banyak sekali dan kebanyakan menyangkut masalah khilafiyah, maka, maaf saya akan menjawabnya langsung saja. Qunut memang masalah khilafiya 'usang'. Dari dulu hingga sekarang --sungguh mengherankan-- tak bosan-bosannya orang mendebatkannya. Selalu saja muncul dari masing-masing pihak yang berbeda, orang yang berlagak bisa menghentikan perdebatan dengan hanya mengulang argumentasi pihaknya sendiri (karena mungkin hanya itu yang paling dikuasai) dan mengulang-ulang kecaman kepada pihak yang berbeda, tanpa menyadari bahwa pihak lain pun dapat berbuat seperti dia. Ini sungguh perbuatan yang hanya membuang-buang energi. Soal khilafiyah, perbedaan pemahaman dan pendapat adalah soal "kepala" bukan soal "rambut". Kalau soal rambut, yang tidak hitam bisa dicat hitam semua. Kalau soal isi kepala, Tuhan sendiri tidak menghendakinya sama kan?
Nah, Anda boleh qunut boleh tidak. Tapi terlepas dari kontroversi oal qunut itu sendiri, menurut saya dewasa ini sebaiknya Anda dan semua orang Islam melakukan qunut. Paling tidak pada waktu shalat Subuh. Dewasa ini menurut saya tidak boleh ada yang tidak melakukan qunut.
Dan Anda tak usah khawatir dianggap orang yang tidak konsisten. Kan Anda shalat karena Allah. Kalau Anda merasa tidak bisa, ya makmum sajalah. Jangan mau jadi imam. Adapun mau mengangkat tangan ketika berdoa qunut, silakan, tidak silakan. Ini juga soal khilafiyah Kedua-duanya ada hadisnya, kedua-
duanya punya argumentasi. Tidak membaca surah setelah Al-Fatihah tidak apa-apa, membaca surah lebih baik. Ada yang membolehkan ada yang tidak. Mereka yang membolehkan, ada yang mengatakan bacaannya dikeraskan ada yang tidak. (Baca misalnya, al-Fiqhu 'alaa- Madzaahib al-Arba'ah I/263)
Tidak benar. Asal masih mengikuti shalat imam Jum'at, salat orang yang Anda bilang terlambat datang itu diterima. Tapi memang kurang afdhol. (Baca kitab-kitab fikih bab Shalat Jum'at).
Wallaahu A'lam.

=====================================================================

Tanya:
Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran untuk melakukan qunut nazilah. Terus terang saya belum
jelas benar mengenai soal qunut ini. Saya pernah bersembahyang Jum'at di suatu mesjid, setelah
rakaat kedua, imam mengangkat tangan dan membaca doa seperti pada shalat Subuh. Hanya ada tambahan doa-doa lain. Di lain waktu saya berjamaah sembahyang Lohor di suatu mushalla, imamnya juga berdoa tapi sehabis rukuk yang terakhir (keempat). Yang saya tanyakan: Apakah qunut nazilah ini dan bagaiman cara melakukannya yang benar? Apakah qunut nazilah tersbeut khusus untuk imam, makmum hanya mengamini? Bagaiman bila shalat sendirian? Apakah bedanya dengan qunut Subuh dan apa yang dibaca? Atas jawaban Pak Mus saya sampaikan terima kasih.



Zawawi
Pekalongan

====================


Jawab:
Di dalam bahasa Arab, qunut semula bisa berarti: tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian digunakan untuk berdoa tertentu di dalam shalat.
Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetakan, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus. Pendapat ulama pun berbeda-beda mengenai qunut dan muthlaq ini (seperti lazimnya, sesuai interpretasi dan pilihan menurut sandar kesahihan masing-masing terhadap hadis-hadis yang ada tentang itu).
Ada yang berpendapat qunut muthlaq hanya dilakukan pada waktu shalat Witir sebelum rukuk (Hanafi) atau sesudah rukuk (Hanbali). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu hanya disunnahkan pada waktu shalat Subuh sebelum ruku kedua (Maliki). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu dilakukan waktu shalat Subuh dan shalat Witir pertengahan terakhir bulan Ramadlan setelah rukuk terakhir (Syafi'i). Untuk lebih luasnya, silahkan membaca Ibanat al-Ahkaam I/428-433; al- Fiqhu 'alaa al- Madzhaahib al-Arba'ah I/336-340; dan Bidayat al- Mujtahid I/131-133).

Nah, sekaranga akan saya coba menjawab sesuai pertanyaan Anda.
Seperti sudah disinggung di atas, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah Saw. atas permintaan Ri'l Dzukwan
dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Quraa (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah samapi di suatu tempat yang bernama Bi'r al-
Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.
Mendengar itu Rasulullah Saw. berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang- orang yang tertindas, di Mekkah. Jika Anda biasa melakukan qunut Subuh atau qunut Witir, maka melakukan qunut nazilah ya seperti itu. Menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah rukuk yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam. Jadi, qunut nazilah sama dengan qunut Subuh.
Bacaannya juga sama seperti doa yang datang dari Rasulullah Saw. dan populer itu: Hanya dalam qunut
nazilah dapat ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh ini, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.

Wallaahu A'lam.