Selasa, 26 Mei 2015

Sunan bonang



  Dari berbagai sumber di sebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering di sebut Nyai Ageng Manila. Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kerta bumi ada pula yang berkata bahwa Dewi Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo.

   Sebagai seorang Wali yang di segani dan di anggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.

   Sejak kecil, Raden Makdum Ibrahim sudah di beri pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari pada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon Wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.

   Di sebutkan dari berbagai literature bahwa Raden Makdum  Wirid im dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu Negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai.
Seperti ulama ahli tasawwuf yang berasal dari Bahgdad, Mesir, Arab dan Persi atau Iran. Sesudah belajar di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedang Raden Makdum Ibrahim di perintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang di sebut Bonang.

 

   Bonang adalah sejenis kuningan yang di tonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbulah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.

 

   Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang cipta'an Raden Makdum Ibrahim.

 

Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil di rebut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam kepada mereka.

 

   Tembang-tembang yang di ajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisi ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksa'an.

 

 Di antara tembang yang terkenal ialah:

 

Tamba ati iku ono 5 sak warnane,

Maca Qur'an angen-angen sak maknane,

Kaping pindho shalat sunah lakononana

Kaping telu wong kang saleh kancanana,

Kaping papat kudu weteng ingkang luwe,

Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe

Sopo wonge kang bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyembadani.

Artinya:

Obat sakit jiwa (hati) itu ada lima jenisnya.

>Pertama  membaca Al-Qur'an dengan artinya,

>Kedua mengerjakan shalat malam (sunnah Tahajjud),

>Ke tiga sering bersahabat dengan orang saleh (berilmu),

>Ke empat harus sering berprihatin (berpuasa),

>Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,

 Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah, Allah akan mengabulkan.

Hingga sekarang lagi ini sering di lantunkan para santri ketika hendak shalat jama'ah, baik di pedesaan maupun di pesantren. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat  memberinya gelar Sunan Bonang. Beliau juga menciptakan karya sastra yang di sebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu di anggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh ke indahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang di simpan rapi di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda .(Nederland)

   Suluk berasal dari bahasa Arab Salakat tariiqa artinya menempuh jalan (tasawwuf) atau tareqat. Ilmunya sering di sebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang di sebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa di sebut Wirid.

Di bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang di sebut Suluk Wragul
 

SULUK WRAGUL

   Dhandhang gula

Wragul 1

Berang-berang, jika di teliti ini raga

Belum ketemu hakikatnya

Ada atau tidakkah ia

Sebenarnya aku ini siapa

Impian beraneka ragam

Kalau di pikirkan

Akhirnya menyedihkan

Yang mustahil banyak sekali

Segala wujud di semesta ini

Tak putus-putus sama sekali

Wragul 2

Maka dengarlah perlambang ini

Ada kera hitam sedang berdiri

Di tepi sungai

Tertawa keras tak kepalang

Kepada berang-berang yang mencari makan

Siang dan malam

Terus tanpa kesudahan

Tak ingat bahwa ia di ciptakan Tuhan

Yang di ingat hanya makanan

Tanpa memperdulikan

Bahaya mengancam


Wragul 3

Di lalapnya apa saja ia dapatkan

Tidaklah ia memperhatikan

Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan

Mustahil ia tak sanggup memberi makan

Dari kehidupan hingga kematian Apapun saja yang di kodratkan

Telah di sesuaikan

Ulat dalam batu pun di beri santunan

Maka jangan hanya suntuk mencari makan

Wragul  4

Akibatnya terlupa bahwa ia ciptaan Allah

Berang-berang berkata dengan ramah

Duh kera hitam, sungguh engkau kejam

Kau paksa aku mengikutimu

Yang kata orang tanpa di pikirkan

Ya, aku  terpaksa

Mencari makan, tapi tidaklah

Dengan susah payah

Sekedar semampu diriku ini

Aku tak mencari-cari

Wragul 5

Hak orang lain tak kurebut

Tak kuperhatikan bencana dan kutuk

Tak kulihat yang hidup

Demikian pulalah halnya burung elang

Mengikuti tenggiling untuk cari makan

Susah untuk memberi peringatan

Jika engkau merasa

Sebagai makhluk Tuhan adanya

Janganlah hati mendua

Tak usah campuri urusan orang lain

Karena semua punya kadar masing-masing

Wragul 6

Sudah di beri hak hidup sendiri-sendiri

Seperti juga berbagai tetumbuhan ini

Atau yang memakan dedaunan

Mengikuti takdir Tuhan

Siapa akan mengikuti kata-katamu

Siapa menuruti ajakanmu

Sedangkan di hutan tempatmu

Sang kera hitam menjawab

Tidaklah akan ku ubah

Makananmu, hanya ingatlah

Kepada yang memberi makan kepadamu


Wragul 7

Perbuatlah amal kebajikan

Terpaksa harus ku beritahukan

Hal-hal yang berfaedah saja

Sekedar menunjukkan yang benar adanya

Jawab Berang-berang

Tahulah aku

Maksud omonganmu

Kau inginkan

Agar kuberi kau makan

Tapi aku tak akan tunduk kepadamu

Wragul 8

Ibarat sudah tahu ke bohongannya

Mulut jujur hati berdusta

Karena memaksa harus berbuat begini

Menghormat kepada yang belum mengerti

Agar di percaya di dunia ini

Berapa kekuatannya

Tak tahu bahwa

Dengan bertapa sesungguhnya bersembunyi

Ingin kulihat mana pendeta yang benar-benar sakti

Kalau berhasil melebihi

Wragul 9

Kelihatannya luhur dan mulia

Serba benar pembicara'annya

Tuntas luar dalamnya

Bagus penampilannya

Kena kotoran sedikitpun tak bersedia

Seperti burung elang akibatnya

Terbang tinggi

Lupa melihat kanan kiri

Begitu musuh disiasati

Selamat sampai akhir hari

Wragul 10

Apabila ibarat ikan

Ikan gegenjong yang lemah badannya

Namun tajam tajinya

Hai kera hitam

Mana kata-katamu yang benar

Yang di haramkan di tolaknya

Itu kalau sedikit jumlahnya
Dan walaupun haram

Tapi kalau ada sedikit manisnya di tutupi

Dengan amat tersembunyi

Wragul 11

Jelas itu di campur aduk

Ada yang di ucapkan dengan pura-pura

Yang terlihat tindakannya

Pujangga maupun pendeta

Sama-sama kurang budinya

Aku tahu semuanya

Sama-sama meminta-minta

Hanya satu dua yang mengamalkan

Meminta tanpa di bantah

Walau pun tidak sungguhan

Wragul 12

Kikir kalau di mintai

Lagaknya seperti pendeta sakti

Usaha seakan tak henti

Dalam hidup ini hendaklah mengerti

Upaya orang lain

Dalam hidup ini seyogianya

Tak demikian tindakannya

Di mana  ada niat yang tak semestinya

Kata ahli kitab tak mau makan riba

Sebab ia pendeta

Wragul 13

Orang besar orang kecil berebut bersaing

Berupaya menggunakan akal masing-masing

Yang namanya raga manusia Siap semuanya

Untuk beramal senantiasa

Sedangkan apa kelebihan pendeta

Sibuk mengolah ilmu pengetahuan

Rahasianya mencari pekerja'an.

Berkah yang melimpah di harapkan

Jaksa pun demikian

Wragul 14

Demikianlah yang tersembunyi pada para penulis

Mencari nafkah dengan menipu mengemis

Supaya ada kaulnya

Demikian para dukun adanya Menjual mantra

Juga para guru yang terhormat

Mengajarkan ilmu luhur

Sama saja yang di harapkan

Yaitu pengabdian murid

Seperti burung kuntul

Wragul 15

Bertapa ada tujuannya

Agar memperoleh ikan di rawa

Agar semua itu kena olehnya

Ada pun yang bertapa di gunung

Tujuannya pun

Untuk memperoleh Negara

Oleh masyarakat di percaya

Begitu yang namanya pendeta

Terus menerus bertukar pikiran

Berbuat kepercaya'an dalam pemerintahan

Wragul 16

Pendapat yang benar di tentang

Mencari saksi makin kesulitan

Di uji dengan kepercaya'annya

Tak tahu bahwa terlalu asyik ia

Membicarakan keburukan orang

Sementara pada dirinya sendiri tak kelihatan

Padahal kejelekannya sebesar gunung

Lagi pula ia tertarik pada rupa

Serta ke aneka ragaman suara yang masuk telinganya

Dari awal hingga akhir di terimanya

Wragul 17

Karena banyak orang membingungkan

Tersandunglah ia di tempat yang rata

Sembuh, tapi mati akhirnya

Yang samar di kira nyata

Yang bukan-bukan di kira mengalir

Yang duduk di kira air

Yang tidak terlihat

Senantiasa melihat cela orang lain

Sedang aku, cari makan tak sembunyi-sembunyi

Sang kera bicara gusar

Wragul 18

Ya, kamu jadinya

Mencela tingkah laku pendeta

Kalau begitu

Kamu pantas di buru

Hidupmu bagiku gambling

Merintangi pekerja'an

Kemudian sang berang-berang

Berucap : Apa maumu !

Seraya merunduk sambil menerjang

Tapi telah meloncat si kera hitam

Wragul 19

Pada dahan kayu sambil bersiaga

Sehingga mengagetkan kera-kera lainnya

Semua pun angkat bicara

Dengan bahasa lambang mereka

Marah mereka

Siapa saja yang mencela pendeta

Boleh kita mengejarnya

Sampai mati ia

Semua kera mengepung di pinggir sungai itu

Tapi berang-berang sudah tahu

Wragul 20

Ketika sudah berkumpul semua kera hitam

Berang-berang masuk ke dalam air pelan-pelan

Karena kera sebanyak itu tidaklah terlawan

Kemudian si barang-berang

Sambil makan ikan, memberi peringatan :

Kera hitam, pulanglah kau

Bersama teman-temanmu

Sebab siapa tahu si empunya datang

Yang di sungai ini ia punya larangan

Siapa tahu firasat ia dapatkan.

Wragul 21

Sang gupkah kau lindungi teman-temanmu ?

Maka semua kera  hitam pun bubar berlalu

Agaknya mereka malu

Dan sang berang-berang keluar dari air

Mengamati kiri kanan dengan rasa khawatir

Kalau-kalau masih ada kera yang belum menyingkir

Sang berang-berang berkata dalam hati

Berangan-angan ia

Kera hitam merasa suci dirinya

Mencela orang yang sedang mencari mangsa

Wragul 22

Memang perbuatan yang cemar

Adalah perbuatan melanggar

Hanya saja tak terlihat

Sungguh, cari saja yang mempunyai

Kebahagia'an, berlakulah laku sejati

Meskipun seorang pendeta

Seulung apa pun ia

Jika menulis, lupa beribadah

Dirinya sendiri tak tampak olehnya

Karena orang lain saja yang di lihatnya

Wragul 23


Jadi, tingkah laku orang per orang-lah

Yang merupakan makanan kesuka'annya

Kelihatan bijak perbuatannya

Namanya pujangga

Yang terkandung di hati yang di tatapnya

Tapi setelah keluar darinya

Terlihat ia ingin menjiplaknya

Demikian ibarat se'ekor burung

Bertengger di pohon beringin yang terbalik

Wragul 24

Sementara sang berang-berang

Berso'al jawab dengan kera hitam

Turunlah burung tuhu

Menanyakan kesejatian

Mungkin selama perbincangan itu

Yang demikian yang di inginkan

Kepada kalimat tauhid amat  senang

Sehingga di pertuhankan

Tak ingat yang sungguh-sungguh  Tuhan

Wragul 25

Lahir dan batin, dulu dan kemudian

Baik buruk, suka dan duka

Sudah nasib manusia, tiada bedanya

Takdir Allah yang Maha Agung

Siang malam sembah puji senantiasa

Jika rahmat tak datang juga

Jika belum mencapainya

Masih ragu adanya

Berterus teranglah dalam memperolehnya

Demikian burung tuhu berkata

Wragul 26

Sudah sebulan aku berdampingan

Namun dengan gagak belum tercapai kesepakatan

Sebab semua

Yang ia makan adalah kotoran

Jadi selalukuhindari

Tak akan aku ikuti Yang najis

Sungguh selama hidupku

Yang halal saja makananku

Yang diajak bicara menjawab begitu

Wragul 27

Tahu semua pengetahuan

Namun tak mengerti sastra agama

Dari mana asalnya

Yang meskipun se'olah telah merasuk  di hati

Tak mungkin di tolak di dunia ini

Burung tuhu berujar :

Walau manis tutur katanya

Sebenarnya takhyul yang di beberkan

Sang berang berkata: Pernah kudengar

Bahwa dalang tak pernah di tanya

Wragul 28

Pemburu tak henti berkelana

Ibarat burung bangau bertapa di rawa

Tiada lain niatnya

Kecuali mencari ikan di air

Di makannya siang malam

Seperti bangau botak

Seperti kambing prucul

Maka orang yang menjalani laku

Jangan cepat melangkah dulu

Bertanyalah kepada yang tahu

Wragul 29

Haruslah lahir batin kalau memuji

Yang di ucapkan musti dimengerti

Yang di lihat hendaknya di pahami

Juga segala yang di dengar

Betapa sukar orang memuji

Maka sebaiknya carilah guru

Yakni orang yang lebih tahu

Yakni ahli ibadah

Dan memujilah hingga merasuki hati

Begitulah orang melakukan sembah puji

Wragul 30

Kalau tak tahu apa yang di sembah

Hilanglah apa yang di sembah

Karena sesungguhnya tak ada tirai itu

Tataplah gunung

Dan bunga dalam kesepian

Ikan tanpa mata

Wahyu sejati

Pandanglah Arjuna

Kalau bertapa tak tergoda Oleh apa saja

Wragul 31

Ada tiga macam pepuji

Pertama melihat yang di sembah

Kedua melihat rupanya

Ketiga tak melihat

Kepada sesuatu, namun

Menghadap yang di sembah

Ibarat mencari

Dalang topeng yang sedang melakukan pertunjukan

Tak beda segala yang di miliki

Berpadu satu ragawi ruhani

Wragul 32

Kalau tak begitu kafir jadinya

Yang namanya gajah, gerangan mana ia

Sejauh-jauh usiaku

Belum mengerti hal itu

Ibarat menyatukan perjalanan gajah

Dengan petualangan burung garuda

Ibarat menyatukan punggung dengan dada

Atau wayang dengan kelirnya

Tapi sesungguhnya cermin satu adanya

Wragul 33

Itu jelas sama

Yang di cari sedang tak ada

Tapi burung tuhu sedang memahaminya

Ibarat malam yang di bakar

Tak ada yang di pikirkan

Ajaran dari berang-berang

Biasanya sudah di ajarkan

Jiwa yang hidup dan yang mati itu satu

Ingat bahwa engkau di kuasai Tuhanmu

Wragul 34

Seperti halnya tinta

Masih menyatu dengan tempatnya

Jangan menghindar meski mati bayarannya

Kalau hidup, hiduplah seperlunya

Selalu perhatikan guru

Jangan seperti orang bermimpi

Atau seperti burung yang di suruh berbicara

Mengikuti kata-kata

Di jadikan panutan pikirannya

Berang-berang bersiap-siap menyingkir

Burung tuhu terbang ke dahan

Wragul 35

Ketika kemudian matahari terbenam

Terdengar suara pertunjukan wayang

Tampaknya di istana

Tergetar tabirnya

Di depan kelir berada semua wayangnya

Burung tuhu tampak

Ki dalang terlihat

Yang terlihat gawang-gawangnya

Wayangnya tiada, hanya dalangnya

Padahal tabir penglihatan tidaklah ada

Wragul 36

Dalang dapat bertukar rupa

Banyak orang jatuh cinta

Menyaksikan tingkah wayangnya

Terlihat segala tingkah lakunya

Semua saling jatuh cinta

Betapa mendalam keinginan

Menatap sang dalang

Namun di cari tak ketemu

Meskipun dengan susah dan rindu

Wragul 37

Lebih-lebih jika ku renungkan ini

Dengan teliti

Betul-betul ingin bekerja

Terlalu penuh perhitungan akhirnya

Atas kekaya'an orang-orang kaya

Maka kalau tak paham

Jangan ikut-ikutan

Sampai kapan demikian

Sesungguhnya engkau disuruh mencari kembali

Raga yang tersembunyi

 
Di kisahkan beliau pernah menaklukkan seorang pemimpin perampok dan anak buahnya hanya mempergunakan tembang dan gending. Dharma dan irama Mocopat.
Begitu gending di tabuh Kebon danu dan anak buahnya tidak mampu bergerak, seluruh persendian mereka seperti di lolosi dari tempatnya.
Sehingga  gagalah mereka melaksanakan niat jahatnya.
Ampun........
hentikanlah bunyi gamelan itu, kami tidak kuat ! Demikian rintih Kebon danu dan anak buahnya.
Gending yang kami bunyikan sebenarnya tidak berpengaruh buruk terhadap kalian jika saja hati kalian tidak buruk dan jahat.
Ya, kami menyerah, kami tobat ! Kami tidak akan melakukan perbuatan jahat lagi, tapi..........
 Kebondanu ragu meneruskan ucapannya.
Kenapa Kebondanu, teruskan ucapanmu ! ujar Sunan Bonang.
Mungkinkah Tuhan mengampuni dosa-dosa kami yang sudah tak terhitung lagi banyaknya, kata Kebondanu dengan ragu. Kami sudah sering merampok, membunuh dan melakukan tindak kejahatan lainnya.
Pintu tobat selalu terbuka bagi siapa saja, kata Sunan Bonang.  Allah adalah Tuhan Yang Maha Pengampun dan Penerima tobat.
Walau dosa kami setinggi gunung? Tanya Kebondanu.
Ya, walau dosamu setinggi gunung dan sebanyak pasir di laut.
Akhirnya Kebondanu benar-benar bertobat dan menjadi murid Sunan Bonang yang setia.
Demikian pula anak buahnya.
Pada suatu ketika juga ada seorang Brahmana sakti dari India yang berlayar keTuban. Tujuannya hendak mengadu kesaktian dan berdebat tentang masalah ke agama'an dengan Sunan Bonang. Namun ketika ia berlayar menuju Tuban, perahunya terbalik dihantam badai. Walaupun ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri kitab-kitab referensi yang hendak di pergunakan untuk berdebat dengan Sunan Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Di tepi pantai mereka melihat seorang lelaki berjubah putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Mereka menghentikan lelaki itu dan menyapanya. Lelaki berjubah putih itu menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir.
Saya datang dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. katasang Brahmana.
Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang? tanya lelaki itu.
Akan saya ajak berdebat tentang masalah ke agama'an, kata sang Brahmana. Tapi sayang kitab -kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut.
Tanpa banyak bicara lelaki itu mencabut tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang tongkat itu, membawa ke luar semua kitab yang di bawa sang Brahmana.
Itukah kitab-kitab Tuan yang tenggelam ke dasar laut? Tanya lelaki itu.
Sang Brahmana dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu  Ternyata benar miliknya sendiri. Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki berjubah putih itu.
Apakah nama daerah tempat saya terdampar ini? tanya sang Brahmana.
Tuan berada di pantai Tuban!  jawab lelaki itu. Sertamerta Brahmana dan para
pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri.
Siapa lagi orang sakti berilmu tinggi yang berada di kota Tuban selain Sunan Bonang. Sang Brahmana tidak jadi melaksanakan niatnya menantang Sunan Bonang untuk adu kesaktian dan mendebat masalah ke agama'an, malah kemudian ia berguru kepada Sunan Bonang dan menjadi pengikut Sunan Bonang yang setia.

   Ada lagi legenda aneh tentang Sunan Bonang.

Sewaktu beliau wafat, jenasahnya hendak di bawa ke Surabaya untuk di makamkan di samping Sunan Ampel yaitu ayah andanya. Tetapi kapal yang di gunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak sehingga terpaksa jenazahnya Sunan Bonang di makamkan di Tubanya itu di sebelah barat Masjid Jami Tuban.