Rabu, 23 Februari 2011

Syaikh Abul- Hasan Ali al-Asy'ari Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

Asy'ariyyah adalah
sebutan bagi sebuah
faham atau ajaran
aqidah yang dinisbatkan
kepada Syaikh Abul-
Hasan Ali al-Asy'ari
(Lahir dan wafat di
Basrah tahun 260 H- 324
H.). Para pengikutnya
sering disebut dengan
Asy'ariyyuun atau
Asyaa'irah (pengikut
mazhab al-Asy'ari).
Abul-Hasan Ali Al-
Asy'ari, yang kemudian
dikenal sebagai pelopor
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah, memiliki
garis keturunan (garis
ke-10) dari seorang
Sahabat Rasulullah Saw.
yang terkenal
keindahan suaranya
dalam membaca al-
Qur'an, yaitu Abu Musa
al-Asy'ari. Beliau lahir 55
tahun setelah wafatnya
al-Imam Syafi'I, dan
Abul-Hasan al-Asy'ari
adalah pengikut Mazhab
Syafi'i.
Pada mulanya, beliau
beraqidah Mu'tazilah
karena berguru kepada
seorang ulama
Mu'tazilah yang
bernama Muhammad
bin Abdul Wahab al-
Jubba'i (Wafat 295H.).
Setelah menjadi
pengikut Mu'tazilah
selama + 40 tahun,
beliau bertobat lalu
mencetuskan semangat
beraqidah berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadis
sebagaimana yang
diyakini oleh Nabi Saw.
dan para Sahabat
beliau, serta para ulama
salaf (seperti Imam
Malik, Imam Syafi'I,
Imam Ahmad, dan lain-
lainnya).
Dalam mengusung
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah ini,
terdapat pula seorang
ulama yang sejalan
dengan al-Asy'ari, yaitu
Syaikh Abu Manshur al-
Maturidi (wafat di
Samarkand Asia Tengah
pada tahun 333 H).
Meskipun paham atau
ajaran yang mereka
sampaikan itu sama
atau hampir sama,
namun al-Asy'ari lebih
dikenal nama dan
karyanya serta lebih
banyak pengikutnya,
sehingga para pengikut
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah lebih sering
disebut dengan al-
Asyaa'irah (pengikut al-
Asy'ari) atau al-
Asy'ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-
jama'ah lahir sebagai
reaksi dari penyebaran
aqidah Mu'tazilah yang
cenderung
mengedepankan akal
ketimbang al-Qur'an
atau Hadis. Banyak
keyakinan Mu'tazilah
yang dianggap oleh al-
Asy'ari menyimpang
jauh dari dasarnya.
Lebih buruknya, ketika
Mu'tazilah sudah
menjadi paham
penguasa (masa
Khalifah al-Ma'mun, al-
Mu'tashim, & al-Watsiq
dari Daulah Bani
Abbasiyah), banyak
ulama yang ditangkap
dan dipaksa untuk
meyakini paham
tersebut. Di antara
ulama yang ditangkap
dan disiksa karena tidak
mau mengakui paham
Mu'tazilah itu adalah
Imam Ahmad bin
Hanbal.
Ajaran al-Asy'ari dan al-
Maturidi (Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah) ini
kemudian berhasil
meruntuhkan paham
Mu'tazilah, dan umat
Islam kembali
mendasari aqidah
mereka dengan al-
Qur'an dan Hadis serta
dalil-dalil 'aqly (akal)
sebagaimana
dicontohkan oleh para
salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya,
aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah ini dianut
dan disebarluaskan oleh
ulama-ulama besar
seperti Abu Bakar al-
Qaffal (wafat 365 H.),
Abu Ishaq al-Isfarayini
(wafat 411 H.), al-
Baihaqi (wafat 458 H.),
Imam al-Haramain al-
Juwaini (wafat 460 H.),
al-Qusyairi (wafat 465
H.), al-Baqillani (wafat
403 H.), Imam al-Ghazali
(wafat 505 H.),
Fakhruddin ar-Razi
(wafat 606 H.), 'Izzuddin
bin Abdus-Salam (wafat
660 H.), Abdullah asy-
Syarqawi ( wafat 1227
H.), Ibrahim al-Bajuri
(wafat 1272 H.), Syekh
Muhammad Nawawi
Banten (wafat 1315 H.),
Zainal Abidin al-Fatani
(Thailand), dan lain-
lainnya.
Karya-karya tulis
mereka banyak
bertebaran dan
dijadikan pegangan di
seantero dunia Islam,
sehingga aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah itu
menjadi paham para
ulama dan umat Islam
mayoritas di berbagai
negeri seperti: Maroko,
Aljazair, Tunisia, Libya,
Turki, Mesir, sebagian
Irak, India, sebagian
Pakistan, Indonesia,
Filipina, Thailand,
Malaysia, Somalia,
Sudan, Nigeria,
Afghanistan, sebagian
Libanon, Hadhramaut,
sebagian Hijaz, sebagian
Yaman, sebagian besar
daerah Sovyet, dan
Tiongkok. (Untuk lebih
jelasnya, lihat "I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah" karya KH.
Siradjuddin Abbas,
diterbitkan oleh
Pustaka Tarbiyah
Jakarta).
Para Ulama pengikut
empat Mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'I, dan
Hanbali) adalah
penganut aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah.
Ajaran aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah
inilah yang dijadikan
dasar oleh para ulama
untuk membolehkan
kebiasaan-kebiasaan
baik seperti: Peringatan
Maulid Nabi Muhammad
Saw., Isra' Mi'raj,
tahlilan kematian,
ziarah kubur,
menghadiahkan pahala
kepada orang
meninggal, ziarah ke
makam Rasulullah Saw.
dan orang-orang shaleh,
tawassul, dan lain
sebagainya, yang secara
substansial kesemuanya
didasari dengan dalil-
dalil yang kuat dari al-
Qur'an dan Hadis serta
Atsar para Sahabat
Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy'ariyyah
sering dipisahkan
penyebutannya dari
Ahlussunnah Wal-
jama'ah, hal seperti ini
telah dilakukan oleh
Ibnu Taimiyah di dalam
pembahasan fatwa-
fatwanya yang
kemudian diikuti oleh
para pengikutnya, yaitu
kaum Salafi & Wahabi.
Akan tetapi, antara
pandangan Ibnu
Taimiyah dan kaum
Salafi & Wahabi di masa
belakangan tentang
Asy'ariyyah terdapat
perbedaan. Ibnu
Taimiyah berpandangan
bahwa aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah adalah aqidah
para ulama salaf (yaitu
para Shahabat
Rasulullah Saw. dan
para ulama yang hidup
di 3 generasi pertama
masa Islam + 300 H.),
bukan monopoli sebuah
kelompok saja seperti
Asy'ariyyah. Artinya,
Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa
para Shahabat
Rasulullah Saw., para
tabi'in, ulama madzhab
yang empat, dan siapa
saja yang berpedoman
kepada al-Qur'an, as-
Sunnah, serta ijma'
ulama salaf, adalah
Ahlussunnah Wal-
jama'ah (lihat Majmu'
Fatawa Ibni Taimiyah,
Dar 'Alam al-Kutub, juz
3, hal. 157).
Secara tidak langsung
Ibnu Taimiyah masih
mengakui Asy'ariyyah
termasuk bagian dari
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah terutama pada
pendapat-pendapat
yang ia anggap sejalan
dengan prinsip al-
Qur'an, as-Sunnah, dan
ijma' ulama salaf.
Sedangkan kaum Salafi
& Wahabi belakangan
lebih cenderung
menganggap
Asy'ariyyah sebagai
aliran sesat yang bukan
termasuk Ahlussunnah
Wal-jama'ah.
Pembahasan-
pembahasan Kaum
Salafi & Wahabi ini
kemudian mengarahkan
umat untuk
menganggap bahwa
Asy'ariyyah hanyalah
kelompok aliran ilmu
kalam (ilmu
pembicaraan) yang
tidak ada hubungannya
dengan nama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Ilmu kalam
mereka anggap sebagai
hasil pembahasan-
pembahasan keyakinan
agama dengan logika
yang didasari oleh
pemikiran filsafat, dan
dengan keadaan seperti
itu ia banyak dikecam
oleh para ulama salaf.
Pertanyaannya,
bagaimana mungkin
kecaman para ulama
salaf terhadap
kelompok-kelompok ahli
kalam diarahkan
kepada Asy'ariyyah
sedangkan para ulama
salaf tersebut tidak
pernah menjumpai
Asy'ariyyah yang baru
muncul setelah mereka
wafat? Jika pun ada
kecaman itu, maka
sebenarnya yang
mereka kecam adalah
aliran-aliran aqidah
atau ilmu kalam yang
dianggap sesat dan
sudah berkembang di
saat itu, seperti:
Qadariyyah,
Jabbariyyah, Khawarij,
Syi'ah, dan Mu'tazilah.
Pendek kata,
Asy'ariyyah menurut
kaum Salafi & Wahabi
adalah bukan
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, melainkan
aliran bid'ah yang harus
dijauhi. Perhatikanlah
fatwa-fatwa ulama
Salafi & Wahabi berikut
ini:
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin
berkata:
"Kemudian muncul juga
kelompok yang lain, dan
mereka menyebut
dirinya Asy'ariyah.
Mereka mengingkari
sebagian sifat Allah dan
menetapkan sebagian
yang lain. Mereka
menetapkan sifat-sifat
tersebut berdasar
kepada akal. Maka
tidak diragukan lagi
bahwa hal itu
merupakan bid'ah dan
perkara baru dalam
agama
Islam" (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin
Musa Alu Nashr
berkata:
"Tetapi, apakah
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
Ahlussunnah, ataukah
mereka termasuk Ahli
Kalam? Hakikatnya,
mereka ini termasuk
Ahli Kalam. Mereka
bukan termasuk
Ahlussunnah, walaupun
mereka ahlul-millah,
ahli qiblah (umat Islam).
Dikarenakan al-
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
menyelisihi Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" ( lihat
Majalah As-Sunnah,
edisi 01/tahun XII, April
208, hal. 35).
Ungkapan di atas
adalah sebuah fitnah
dan penipuan besar
terhadap Asy'ariyyah,
sebab tidak seorang pun
dari ulama yang
menyatakan hal seperti
itu kecuali kaum Salafi
& Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah memang
bukan hanya milik
Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah saja. Siapa
saja yang berpegang
kepada al-Qur'an,
Sunnah Rasulullah Saw.,
dan atsar para Shahabat
beliau adalah termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, baik sebelum
Asy'ariyyah muncul atau
sesudahnya. Akan
tetapi, aqidah
(keyakinan)
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah seperti itu
belumlah tersusun
secara rapi dan masih
terpencar-pencar di
masa ulama salaf,
mengingat pada masa
itu para ulama
menghadapi cobaan
berat dari penguasa
yang beraqidah
Mu'tazilah (lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, hal.
16).
Barulah pada masa
berikutnya, muncul Abul
Hasan Al-Asy'ari yang
menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah sebagai sebuah
perhatian khusus, dan
beliau bekerja keras
menyebarluaskannya di
kalangan umat sebagai
suatu rumusan yang rapi
sekaligus sebagai
bantahan-bantahan
terhadap aliran
Mu'tazilah. Dengan
sebab itulah maka Abul
Hasan al-Asy'ari
dianggap sebagai
pelopor atau pemimpin
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan para
pengikutnya yang
disebut Asya'irah secara
otomatis termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Perhatikanlah
pernyataan para ulama
berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ
السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ
بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ
وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
(إتحاف سادات المتقين،
محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6 )
"Apabila disebut nama
Ahlussunnah secara
umum, maka maksudnya
adalah Asya'irah (para
pengikut faham Abul
Hasan al-Asy'ari) dan
Maturidiyah (para
pengikut faham Abu
Manshur al-
Maturidi" (Ithaf Sadat
al-Muttaqin,
Muhammad Az-Zabidi,
juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو
الوجوب فمجمع عليه في
جميع الملل وواضعه أبو
الحسن الأشعري وإليه
تنسب أهل السنة حتى
لقبوا بالأشاعرة
(الفواكه الدواني، أحمد
النفراوي المالكي، دار
الفكر، بيروت، 1415، ج:
1 ص: 38 )
"Adapun hukumnya
(mempelajari ilmu
aqidah) secara umum
adalah wajib, maka
telah disepakati ulama
pada semua ajaran. Dan
penyusunnya adalah
Abul Hasan Al-Asy'ari,
kepadanyalah
dinisbatkan (nama)
Ahlussunnah sehingga
dijuluki dengan
Asya'irah (pengikut
faham Abul Hasan al-
Asy'ari)" (Al-Fawakih
ad-Duwani, Ahmad an-
Nafrawi al-Maliki, Dar
el-Fikr, Beirut, 1415, juz
1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
(الفواكه الدواني ج: 1 ص :
103)
"Begitu pula menurut
Ahlussunnah dan
pemimpin mereka Abul
Hasan al-Asy'ari dan
Abu Manshur al-
Maturidi" (Al-Fawakih
ad-Duwani, juz 1 hal.
103)
وأهل الحق عبارة عن أهل
السنة أشاعرة وماتريدية
أو المراد بهم من كان على
سنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم فيشمل من
كان قبل ظهور الشيخين
أعني أبا الحسن الأشعري
وأبا منصور الماتريدي
(حاشية العدوي، علي
الصعيدي العدوي، دار
الفكر، بيروت، 1412 ج.
1، ص. 151 )
"Dan Ahlul-Haqq (orang-
orang yang berjalan di
atas kebenaran) adalah
gambaran tentang
Ahlussunnah Asya'irah
dan Maturidiyah, atau
maksudnya mereka
adalah orang-orang
yang berada di atas
sunnah Rasulullah Saw.,
maka mencakup orang-
orang yang hidup
sebelum munculnya dua
orang syaikh tersebut,
yaitu Abul Hasan al-
Asy'ari dan Abu
Manshur al-
Maturidi" (Hasyiyah
Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi
Al-'Adwi, Dar El-Fikr,
Beirut, 1412, juz 1, hal.
105).
والمراد بالعلماء هم أهل
السنة والجماعة وهم أتباع
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
رضي الله عنهما (حاشية
الطحطاوي على مراقي
الفلاح، أحمد الطحطاوي
الحنفي، مكتبة البابي
الحلبي، مصر، 1318، ج.
1، ص. 4 )
"Dan yang dimaksud
dengan ulama adalah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan mereka
adalah para pengikut
Abul Hasan al-Asy'ari
dan Abu Manshur al-
Maturidi radhiyallaahu
'anhumaa (semoga Allah
ridha kepada
keduanya)" (Hasyiyah
At-Thahthawi 'ala
Maraqi al-Falah, Ahmad
At-Thahthawi al-Hanafi,
Maktabah al-Babi al-
Halabi, Mesir, 1318, juz
1, hal. 4).
Pernyataan para ulama
di atas menunjukkan
bahwa tuduhan dan
fitnahan kaum Salafi &
Wahabi terhadap
Asy'ariyyah adalah tidak
benar dan merupakan
kebohongan yang diada-
adakan. Di satu sisi
mereka mengeliminasi
(meniadakan)
Asy'ariyyah dari daftar
kumpulan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, di sisi lain
mereka malah dengan
yakinnya menyatakan
diri sebagai kelompok
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang
sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah di masa
belakangan yang
diajarkan oleh para
ulama di dalam kitab-
kitab mereka tidak ada
yang tidak berhubungan
dengan Asy'ariyyah,
malah hubungan ini
seperti sudah menjadi
mata rantai yang baku
dalam mempelajari ilmu
aqidah. Hanya kaum
Salafi & Wahabi lah
yang menolak adanya
hubungan itu, dan
dalam mengajarkan
ilmu aqidah mereka
langsung berhubungan
dengan ajaran para
ulama salaf. Padahal
Abul Hasan al-Asy'ari
sudah lebih dulu
menjelaskan ajaran
para ulama salaf
tersebut jauh-jauh hari
sebelum kaum Salafi &
Wahabi muncul, apalagi
masa hidup beliau
sangat dekat dengan
masa hidup para ulama
salaf.
Sebutan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah bagi
Asy'ariyyah dan
"pemimpin Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" bagi Abul
Hasan al-Asy'ari,
hanyalah sebagai suatu
penghargaan dari para
ulama setelah beliau
atas jasa-jasa beliau
dalam menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah serta
perjuangan beliau
dalam mempopulerkan
dan
menyebarluaskannya di
saat aqidah sesat
Mu'tazilah masih
berkuasa. Tentunya, ini
tidak berarti bahwa
faham Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah adalah
satu-satunya yang sah
disebut sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, sebab baik
Abul Hasan al-Asy'ari
maupun Abu Manshur
al-Maturidi hanyalah
menyusun apa yang
sudah diyakini oleh para
ulama salaf yang
bersumber kepada al-
Qur'an, Sunnah
Rasulullah Saw., dan
atsar para Shahabat.
Jadi, mereka hanya
menyusun apa yang
sudah ada, bukan
mencipta keyakinan
yang sama sekali baru.
Di saat para ulama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah merasa
berbahagia dengan
mengakui diri sebagai
pengikut ajaran
Asy'ariyyah, kaum Salafi
& Wahabi justeru malah
melepaskan diri dari
ikatan itu, dan
memberlakukan
terminologi umum
tentang Ahlussunnah
wal-Jama'ah yang tidak
ada hubungannya
dengan Asy'ariyyah. Itu
memang hak mereka,
tetapi masalahnya, bila
di dalam mempelajari
aqidah tidak ada format
baku yang disepakati
atau tidak ada ikatan
yang jelas dengan para
ulama terdahulu dalam
memahami al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta atsar para
Shahabat, maka akan
ada banyak orang yang
dapat seenaknya
mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah dengan hanya
bermodal dalil-dalil
yang mereka pahami
sendiri. Dan keadaan ini
berbahaya bagi
keselamatan aqidah
umat Islam.
Sebagai contoh, kaum
Salafi & Wahabi boleh
saja mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang tidak ada
hubungan sejarah
dengan Asy'ariyyah,
tetapi asal tahu saja,
ternyata tidak seorang
pun ulama Ahlussunnah
Wal-Jama'ah yang
berfatwa atau
berpendapat seperti
mereka bahwa memuji
dan menyanjung
Rasulullah Saw.,
bertawassul dengan
beliau setelah wafatnya,
dan bertawassul dengan
para wali atau orang
shaleh yang sudah
meninggal adalah
sebuah sarana
kemusyrikan. Jadi,
siapakah yang lebih
pantas disebut
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, kaum Salafi &
Wahabi yang memahami
aqidah para ulama salaf
dengan caranya sendiri
sehingga berbeda
kesimpulan dengan para
ulama salaf itu, ataukah
para pengikut
Asy'ariyyah yang
menerima ajaran aqidah
ulama salaf secara
turun temurun dari
generasi ke generasi
melalui para guru dan
kitab-kitab mereka?
sumber:
www.daarulmukhtar.org

Tidak ada komentar: