Tampilkan postingan dengan label Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 Mei 2011

Biografi Al Imam An-Nawawi Seorang Alim Penasehat

Nasab Imam an-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.
Kelahiran dan Lingkungannya
Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.
Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan‘al- Qira`ah’. Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini. Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar- Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur. Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.
Pengalaman Intelektualnya
Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu
Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy- Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al- Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita,
“Pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya;
ke dua, pelajaran terhadap kitab‘al- Wasith’,
ke tiga, terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’,
ke empat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’,
ke lima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’,
ke enam, terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu,
ke tujuh, terhadap kitab‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa),
ke delapan, di dalam ilmu Sharaf,
ke sembilan, di dalam ilmu Ushul Fiqih,
ke sepuluh, terkadang ter- hadap kitab‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy,
ke sebelas, di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’,
ke duabelas, di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat- pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam. Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah:
Syarh Shahih Muslim , al-Majmu Syarh al- Muhadzdzab , Riyadl ash- Shalihin , al-Adzkar , Tahdzib al-Asma wa al-Lughat al- Arba in an-Nawawiyyah , Rawdlah ath-Thalibin dan al- Minhaj fi al-Fiqh .
Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku biografi (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an- Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup zuhud , teladan di dalam sifat wara serta tokoh tanpa tanding di dalam menasehati para penguasa dan beramar ma ruf nahi munkar .
zuhud
Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.
Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
wara
Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana. Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah. Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.
Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya. Ketika berada di al-Madrasah ar- Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu. Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam. Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh- Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun- kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun- kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan. Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al- Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja. Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka!!”. Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.
wafat
Pada tahun 676 H, Imam an- Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al- Qadly,‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin. (Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy). sumber: kisahkayahikmah.wordpress.com/2010/01/11/al-imam-an-nawawi-seorang-alim-penasehat/

Rabu, 06 April 2011

Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir

  1. Kisah Nabi Musa Menegur Nabi Khaidir
  2. Posted on Mac 10, 2011 by sulaiman

Dalam Al-Quran diceritakan bahawa konsep tegur-menegur ini sebenarnya telah wujud semenjak zaman Nabi Musa a.s. lagi. Nabi Musa ingin berguru dengan Nabi Khaidir untuk mendapatkan ilmu laduni iaitu
ilmu yang diperolehi tanpa dipelajari. Nabi Khaidir memberikan syarat supaya Nabi Musa bersabar dan jangan bertanya tentang apa yang dilakukannya. Namun Nabi Musa tidak dapat menahan daripada
menegur kesalahan yang dilihatnya kerana ia adalah sifat tabii para Rasul. Adakala apa yang dilihat dimata ada yang tersirat disebaliknya. Apa yang dilakukan Nabi Khaidir nampak bercanggah disisi syariat. Nabi
Musa tidak dapat menahan bila melihat kemungkaran, sedangkan apa yang berlaku disebaliknya hanya Allah dan Nabi Khaidir sahaja yang tahu.

Al-Kahfi [65] Lalu mereka dapati seorang dari hamba-hamba Kami yang telah kami kurniakan kepadanya rahmat dari Kami dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu; dari sisi Kami. Al-Kahfi [66] Nabi Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutmu, dengan syarat engkau mengajarku dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, ilmu yang menjadi petunjuk bagiku?

Al-Kahfi[67] Dia menjawab: Sesungguhnya engkau (wahai Musa), tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku.

Al-Kahfi [68] Dan bagaimana engkau akan sabar terhadap perkara yang engkau tidak mengetahuinya secara meliputi?

Al-Kahfi [69] Nabi Musa berkata: Engkau akan dapati aku, Insya Allah: Orang yang sabar; dan
aku tidak akan membantah sebarang perintahmu.

Al-Kahfi [70] Dia menjawab: Sekiranya engkau mengikutku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku akan sesuatupun sehingga aku ceritakan halnya kepadamu.
Kes Pertama: Membocorkan Perahu

Al-Kahfi [71] Lalu berjalanlah keduanya sehingga apabila mereka naik ke sebuah perahu, dia membocorkannya. Nabi Musa berkata: Patutkah engkau membocorkannya sedang akibat perbuatan itu menenggelamkan penumpang-penumpangnya?
 Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perkara yang besar.

Al-Kahfi [72] Dia menjawab: Bukankah aku telah katakan, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [73] Nabi Musa berkata: Janganlah engkau marah akan daku disebabkan aku lupa (akan syaratmu) dan janganlah engkau memberati daku dengan sebarang kesukaran dalam urusanku (menuntut ilmu).
Kes Kedua: Membunuh Seorang Pemuda

Al-Kahfi [74] Kemudian keduanya berjalan lagi sehingga apabila mereka bertemu dengan seorang pemuda lalu dia membunuhnya. Nabi Musa berkata Patutkah engkau membunuh satu jiwa yang bersih, yang tidak berdosa membunuh orang? Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perbuatan yang mungkar!

Al-Kahfi [75] Dia menjawab: Bukankah, aku telah katakan kepadamu, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

Al-Kahfi [76] Nabi Musa berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sebarang perkara sesudah ini, maka janganlah engkau jadikan daku sahabatmu lagi; sesungguhnya engkau telah cukup mendapat alasan-alasan berbuat demikian disebabkan pertanyaan-pertanyaan dan bantahanku.

Kisah Ketiga: Membina Tembok

Al-Kahfi [77] Kemudian keduanya berjalan lagi, sehingga apabila mereka sampai kepada penduduk sebuah bandar, mereka meminta makan kepada orang-orang di situ, lalu orang- orang itu enggan menjamu mereka. Kemudian mereka dapati di situ sebuah tembok yang hendak runtuh, lalu dia membinanya. Nabi Musa
berkata: Jika engkau mahu, tentulah engkau berhak mengambil upah mengenainya!

Al-Kahfi [78] Dia menjawab: Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.
Yang Tersirat

Al-Kahfi [79] Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang- orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

Al-Kahfi [80] Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa dia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

Al-Kahfi [81] Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa dan lebih mesra kasih sayangnya.

Al-Kahfi [82] Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu dan di bawahnya ada harta terpendam kepuyaan mereka dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka
Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka) dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri.
Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya





http:// nasbunnuraini.wordpress.com

Rabu, 23 Februari 2011

Syaikh Abul- Hasan Ali al-Asy'ari Aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama'ah

Asy'ariyyah adalah
sebutan bagi sebuah
faham atau ajaran
aqidah yang dinisbatkan
kepada Syaikh Abul-
Hasan Ali al-Asy'ari
(Lahir dan wafat di
Basrah tahun 260 H- 324
H.). Para pengikutnya
sering disebut dengan
Asy'ariyyuun atau
Asyaa'irah (pengikut
mazhab al-Asy'ari).
Abul-Hasan Ali Al-
Asy'ari, yang kemudian
dikenal sebagai pelopor
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah, memiliki
garis keturunan (garis
ke-10) dari seorang
Sahabat Rasulullah Saw.
yang terkenal
keindahan suaranya
dalam membaca al-
Qur'an, yaitu Abu Musa
al-Asy'ari. Beliau lahir 55
tahun setelah wafatnya
al-Imam Syafi'I, dan
Abul-Hasan al-Asy'ari
adalah pengikut Mazhab
Syafi'i.
Pada mulanya, beliau
beraqidah Mu'tazilah
karena berguru kepada
seorang ulama
Mu'tazilah yang
bernama Muhammad
bin Abdul Wahab al-
Jubba'i (Wafat 295H.).
Setelah menjadi
pengikut Mu'tazilah
selama + 40 tahun,
beliau bertobat lalu
mencetuskan semangat
beraqidah berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadis
sebagaimana yang
diyakini oleh Nabi Saw.
dan para Sahabat
beliau, serta para ulama
salaf (seperti Imam
Malik, Imam Syafi'I,
Imam Ahmad, dan lain-
lainnya).
Dalam mengusung
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah ini,
terdapat pula seorang
ulama yang sejalan
dengan al-Asy'ari, yaitu
Syaikh Abu Manshur al-
Maturidi (wafat di
Samarkand Asia Tengah
pada tahun 333 H).
Meskipun paham atau
ajaran yang mereka
sampaikan itu sama
atau hampir sama,
namun al-Asy'ari lebih
dikenal nama dan
karyanya serta lebih
banyak pengikutnya,
sehingga para pengikut
aqidah Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah lebih sering
disebut dengan al-
Asyaa'irah (pengikut al-
Asy'ari) atau al-
Asy'ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-
jama'ah lahir sebagai
reaksi dari penyebaran
aqidah Mu'tazilah yang
cenderung
mengedepankan akal
ketimbang al-Qur'an
atau Hadis. Banyak
keyakinan Mu'tazilah
yang dianggap oleh al-
Asy'ari menyimpang
jauh dari dasarnya.
Lebih buruknya, ketika
Mu'tazilah sudah
menjadi paham
penguasa (masa
Khalifah al-Ma'mun, al-
Mu'tashim, & al-Watsiq
dari Daulah Bani
Abbasiyah), banyak
ulama yang ditangkap
dan dipaksa untuk
meyakini paham
tersebut. Di antara
ulama yang ditangkap
dan disiksa karena tidak
mau mengakui paham
Mu'tazilah itu adalah
Imam Ahmad bin
Hanbal.
Ajaran al-Asy'ari dan al-
Maturidi (Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah) ini
kemudian berhasil
meruntuhkan paham
Mu'tazilah, dan umat
Islam kembali
mendasari aqidah
mereka dengan al-
Qur'an dan Hadis serta
dalil-dalil 'aqly (akal)
sebagaimana
dicontohkan oleh para
salafush-shaleh.
Pada masa berikutnya,
aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah ini dianut
dan disebarluaskan oleh
ulama-ulama besar
seperti Abu Bakar al-
Qaffal (wafat 365 H.),
Abu Ishaq al-Isfarayini
(wafat 411 H.), al-
Baihaqi (wafat 458 H.),
Imam al-Haramain al-
Juwaini (wafat 460 H.),
al-Qusyairi (wafat 465
H.), al-Baqillani (wafat
403 H.), Imam al-Ghazali
(wafat 505 H.),
Fakhruddin ar-Razi
(wafat 606 H.), 'Izzuddin
bin Abdus-Salam (wafat
660 H.), Abdullah asy-
Syarqawi ( wafat 1227
H.), Ibrahim al-Bajuri
(wafat 1272 H.), Syekh
Muhammad Nawawi
Banten (wafat 1315 H.),
Zainal Abidin al-Fatani
(Thailand), dan lain-
lainnya.
Karya-karya tulis
mereka banyak
bertebaran dan
dijadikan pegangan di
seantero dunia Islam,
sehingga aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah itu
menjadi paham para
ulama dan umat Islam
mayoritas di berbagai
negeri seperti: Maroko,
Aljazair, Tunisia, Libya,
Turki, Mesir, sebagian
Irak, India, sebagian
Pakistan, Indonesia,
Filipina, Thailand,
Malaysia, Somalia,
Sudan, Nigeria,
Afghanistan, sebagian
Libanon, Hadhramaut,
sebagian Hijaz, sebagian
Yaman, sebagian besar
daerah Sovyet, dan
Tiongkok. (Untuk lebih
jelasnya, lihat "I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah" karya KH.
Siradjuddin Abbas,
diterbitkan oleh
Pustaka Tarbiyah
Jakarta).
Para Ulama pengikut
empat Mazhab (Hanafi,
Maliki, Syafi'I, dan
Hanbali) adalah
penganut aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah.
Ajaran aqidah Ahlus-
Sunnah wal-Jama'ah
inilah yang dijadikan
dasar oleh para ulama
untuk membolehkan
kebiasaan-kebiasaan
baik seperti: Peringatan
Maulid Nabi Muhammad
Saw., Isra' Mi'raj,
tahlilan kematian,
ziarah kubur,
menghadiahkan pahala
kepada orang
meninggal, ziarah ke
makam Rasulullah Saw.
dan orang-orang shaleh,
tawassul, dan lain
sebagainya, yang secara
substansial kesemuanya
didasari dengan dalil-
dalil yang kuat dari al-
Qur'an dan Hadis serta
Atsar para Sahabat
Rasulullah Saw.
Belakangan, Asy'ariyyah
sering dipisahkan
penyebutannya dari
Ahlussunnah Wal-
jama'ah, hal seperti ini
telah dilakukan oleh
Ibnu Taimiyah di dalam
pembahasan fatwa-
fatwanya yang
kemudian diikuti oleh
para pengikutnya, yaitu
kaum Salafi & Wahabi.
Akan tetapi, antara
pandangan Ibnu
Taimiyah dan kaum
Salafi & Wahabi di masa
belakangan tentang
Asy'ariyyah terdapat
perbedaan. Ibnu
Taimiyah berpandangan
bahwa aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah adalah aqidah
para ulama salaf (yaitu
para Shahabat
Rasulullah Saw. dan
para ulama yang hidup
di 3 generasi pertama
masa Islam + 300 H.),
bukan monopoli sebuah
kelompok saja seperti
Asy'ariyyah. Artinya,
Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa
para Shahabat
Rasulullah Saw., para
tabi'in, ulama madzhab
yang empat, dan siapa
saja yang berpedoman
kepada al-Qur'an, as-
Sunnah, serta ijma'
ulama salaf, adalah
Ahlussunnah Wal-
jama'ah (lihat Majmu'
Fatawa Ibni Taimiyah,
Dar 'Alam al-Kutub, juz
3, hal. 157).
Secara tidak langsung
Ibnu Taimiyah masih
mengakui Asy'ariyyah
termasuk bagian dari
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah terutama pada
pendapat-pendapat
yang ia anggap sejalan
dengan prinsip al-
Qur'an, as-Sunnah, dan
ijma' ulama salaf.
Sedangkan kaum Salafi
& Wahabi belakangan
lebih cenderung
menganggap
Asy'ariyyah sebagai
aliran sesat yang bukan
termasuk Ahlussunnah
Wal-jama'ah.
Pembahasan-
pembahasan Kaum
Salafi & Wahabi ini
kemudian mengarahkan
umat untuk
menganggap bahwa
Asy'ariyyah hanyalah
kelompok aliran ilmu
kalam (ilmu
pembicaraan) yang
tidak ada hubungannya
dengan nama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Ilmu kalam
mereka anggap sebagai
hasil pembahasan-
pembahasan keyakinan
agama dengan logika
yang didasari oleh
pemikiran filsafat, dan
dengan keadaan seperti
itu ia banyak dikecam
oleh para ulama salaf.
Pertanyaannya,
bagaimana mungkin
kecaman para ulama
salaf terhadap
kelompok-kelompok ahli
kalam diarahkan
kepada Asy'ariyyah
sedangkan para ulama
salaf tersebut tidak
pernah menjumpai
Asy'ariyyah yang baru
muncul setelah mereka
wafat? Jika pun ada
kecaman itu, maka
sebenarnya yang
mereka kecam adalah
aliran-aliran aqidah
atau ilmu kalam yang
dianggap sesat dan
sudah berkembang di
saat itu, seperti:
Qadariyyah,
Jabbariyyah, Khawarij,
Syi'ah, dan Mu'tazilah.
Pendek kata,
Asy'ariyyah menurut
kaum Salafi & Wahabi
adalah bukan
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, melainkan
aliran bid'ah yang harus
dijauhi. Perhatikanlah
fatwa-fatwa ulama
Salafi & Wahabi berikut
ini:
Syaikh Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin
berkata:
"Kemudian muncul juga
kelompok yang lain, dan
mereka menyebut
dirinya Asy'ariyah.
Mereka mengingkari
sebagian sifat Allah dan
menetapkan sebagian
yang lain. Mereka
menetapkan sifat-sifat
tersebut berdasar
kepada akal. Maka
tidak diragukan lagi
bahwa hal itu
merupakan bid'ah dan
perkara baru dalam
agama
Islam" (Ensiklopedia
Bid'ah, hal. 140).
Syaikh Muhammad bin
Musa Alu Nashr
berkata:
"Tetapi, apakah
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
Ahlussunnah, ataukah
mereka termasuk Ahli
Kalam? Hakikatnya,
mereka ini termasuk
Ahli Kalam. Mereka
bukan termasuk
Ahlussunnah, walaupun
mereka ahlul-millah,
ahli qiblah (umat Islam).
Dikarenakan al-
Asya'irah dan
Maturidiyah itu
menyelisihi Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" ( lihat
Majalah As-Sunnah,
edisi 01/tahun XII, April
208, hal. 35).
Ungkapan di atas
adalah sebuah fitnah
dan penipuan besar
terhadap Asy'ariyyah,
sebab tidak seorang pun
dari ulama yang
menyatakan hal seperti
itu kecuali kaum Salafi
& Wahabi.
Aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah memang
bukan hanya milik
Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah saja. Siapa
saja yang berpegang
kepada al-Qur'an,
Sunnah Rasulullah Saw.,
dan atsar para Shahabat
beliau adalah termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, baik sebelum
Asy'ariyyah muncul atau
sesudahnya. Akan
tetapi, aqidah
(keyakinan)
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah seperti itu
belumlah tersusun
secara rapi dan masih
terpencar-pencar di
masa ulama salaf,
mengingat pada masa
itu para ulama
menghadapi cobaan
berat dari penguasa
yang beraqidah
Mu'tazilah (lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, Pustaka
Tarbiyah, Jakarta, hal.
16).
Barulah pada masa
berikutnya, muncul Abul
Hasan Al-Asy'ari yang
menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah sebagai sebuah
perhatian khusus, dan
beliau bekerja keras
menyebarluaskannya di
kalangan umat sebagai
suatu rumusan yang rapi
sekaligus sebagai
bantahan-bantahan
terhadap aliran
Mu'tazilah. Dengan
sebab itulah maka Abul
Hasan al-Asy'ari
dianggap sebagai
pelopor atau pemimpin
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan para
pengikutnya yang
disebut Asya'irah secara
otomatis termasuk
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah. Perhatikanlah
pernyataan para ulama
berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ
السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ
بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ
وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ
(إتحاف سادات المتقين،
محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6 )
"Apabila disebut nama
Ahlussunnah secara
umum, maka maksudnya
adalah Asya'irah (para
pengikut faham Abul
Hasan al-Asy'ari) dan
Maturidiyah (para
pengikut faham Abu
Manshur al-
Maturidi" (Ithaf Sadat
al-Muttaqin,
Muhammad Az-Zabidi,
juz 2, hal. 6. Lihat I'tiqad
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, KH. Siradjuddin
Abbas, hal. 17).
وأما حكمه على الإطلاق وهو
الوجوب فمجمع عليه في
جميع الملل وواضعه أبو
الحسن الأشعري وإليه
تنسب أهل السنة حتى
لقبوا بالأشاعرة
(الفواكه الدواني، أحمد
النفراوي المالكي، دار
الفكر، بيروت، 1415، ج:
1 ص: 38 )
"Adapun hukumnya
(mempelajari ilmu
aqidah) secara umum
adalah wajib, maka
telah disepakati ulama
pada semua ajaran. Dan
penyusunnya adalah
Abul Hasan Al-Asy'ari,
kepadanyalah
dinisbatkan (nama)
Ahlussunnah sehingga
dijuluki dengan
Asya'irah (pengikut
faham Abul Hasan al-
Asy'ari)" (Al-Fawakih
ad-Duwani, Ahmad an-
Nafrawi al-Maliki, Dar
el-Fikr, Beirut, 1415, juz
1, hal. 38).
كذلك عند أهل السنة وإمامهم
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
(الفواكه الدواني ج: 1 ص :
103)
"Begitu pula menurut
Ahlussunnah dan
pemimpin mereka Abul
Hasan al-Asy'ari dan
Abu Manshur al-
Maturidi" (Al-Fawakih
ad-Duwani, juz 1 hal.
103)
وأهل الحق عبارة عن أهل
السنة أشاعرة وماتريدية
أو المراد بهم من كان على
سنة رسول الله صلى الله
عليه وسلم فيشمل من
كان قبل ظهور الشيخين
أعني أبا الحسن الأشعري
وأبا منصور الماتريدي
(حاشية العدوي، علي
الصعيدي العدوي، دار
الفكر، بيروت، 1412 ج.
1، ص. 151 )
"Dan Ahlul-Haqq (orang-
orang yang berjalan di
atas kebenaran) adalah
gambaran tentang
Ahlussunnah Asya'irah
dan Maturidiyah, atau
maksudnya mereka
adalah orang-orang
yang berada di atas
sunnah Rasulullah Saw.,
maka mencakup orang-
orang yang hidup
sebelum munculnya dua
orang syaikh tersebut,
yaitu Abul Hasan al-
Asy'ari dan Abu
Manshur al-
Maturidi" (Hasyiyah
Al-'Adwi, Ali Ash-Sha'idi
Al-'Adwi, Dar El-Fikr,
Beirut, 1412, juz 1, hal.
105).
والمراد بالعلماء هم أهل
السنة والجماعة وهم أتباع
أبي الحسن الأشعري
وأبي منصور الماتريدي
رضي الله عنهما (حاشية
الطحطاوي على مراقي
الفلاح، أحمد الطحطاوي
الحنفي، مكتبة البابي
الحلبي، مصر، 1318، ج.
1، ص. 4 )
"Dan yang dimaksud
dengan ulama adalah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, dan mereka
adalah para pengikut
Abul Hasan al-Asy'ari
dan Abu Manshur al-
Maturidi radhiyallaahu
'anhumaa (semoga Allah
ridha kepada
keduanya)" (Hasyiyah
At-Thahthawi 'ala
Maraqi al-Falah, Ahmad
At-Thahthawi al-Hanafi,
Maktabah al-Babi al-
Halabi, Mesir, 1318, juz
1, hal. 4).
Pernyataan para ulama
di atas menunjukkan
bahwa tuduhan dan
fitnahan kaum Salafi &
Wahabi terhadap
Asy'ariyyah adalah tidak
benar dan merupakan
kebohongan yang diada-
adakan. Di satu sisi
mereka mengeliminasi
(meniadakan)
Asy'ariyyah dari daftar
kumpulan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah, di sisi lain
mereka malah dengan
yakinnya menyatakan
diri sebagai kelompok
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang
sebenarnya.
Boleh dibilang bahwa
aqidah Ahlussunnah
Wal-Jama'ah di masa
belakangan yang
diajarkan oleh para
ulama di dalam kitab-
kitab mereka tidak ada
yang tidak berhubungan
dengan Asy'ariyyah,
malah hubungan ini
seperti sudah menjadi
mata rantai yang baku
dalam mempelajari ilmu
aqidah. Hanya kaum
Salafi & Wahabi lah
yang menolak adanya
hubungan itu, dan
dalam mengajarkan
ilmu aqidah mereka
langsung berhubungan
dengan ajaran para
ulama salaf. Padahal
Abul Hasan al-Asy'ari
sudah lebih dulu
menjelaskan ajaran
para ulama salaf
tersebut jauh-jauh hari
sebelum kaum Salafi &
Wahabi muncul, apalagi
masa hidup beliau
sangat dekat dengan
masa hidup para ulama
salaf.
Sebutan Ahlussunnah
Wal-Jama'ah bagi
Asy'ariyyah dan
"pemimpin Ahlussunnah
Wal-Jama'ah" bagi Abul
Hasan al-Asy'ari,
hanyalah sebagai suatu
penghargaan dari para
ulama setelah beliau
atas jasa-jasa beliau
dalam menyusun aqidah
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah serta
perjuangan beliau
dalam mempopulerkan
dan
menyebarluaskannya di
saat aqidah sesat
Mu'tazilah masih
berkuasa. Tentunya, ini
tidak berarti bahwa
faham Asy'ariyyah atau
Maturidiyyah adalah
satu-satunya yang sah
disebut sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, sebab baik
Abul Hasan al-Asy'ari
maupun Abu Manshur
al-Maturidi hanyalah
menyusun apa yang
sudah diyakini oleh para
ulama salaf yang
bersumber kepada al-
Qur'an, Sunnah
Rasulullah Saw., dan
atsar para Shahabat.
Jadi, mereka hanya
menyusun apa yang
sudah ada, bukan
mencipta keyakinan
yang sama sekali baru.
Di saat para ulama
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah merasa
berbahagia dengan
mengakui diri sebagai
pengikut ajaran
Asy'ariyyah, kaum Salafi
& Wahabi justeru malah
melepaskan diri dari
ikatan itu, dan
memberlakukan
terminologi umum
tentang Ahlussunnah
wal-Jama'ah yang tidak
ada hubungannya
dengan Asy'ariyyah. Itu
memang hak mereka,
tetapi masalahnya, bila
di dalam mempelajari
aqidah tidak ada format
baku yang disepakati
atau tidak ada ikatan
yang jelas dengan para
ulama terdahulu dalam
memahami al-Qur'an
dan Sunnah Rasulullah
Saw. serta atsar para
Shahabat, maka akan
ada banyak orang yang
dapat seenaknya
mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah dengan hanya
bermodal dalil-dalil
yang mereka pahami
sendiri. Dan keadaan ini
berbahaya bagi
keselamatan aqidah
umat Islam.
Sebagai contoh, kaum
Salafi & Wahabi boleh
saja mengaku sebagai
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah yang tidak ada
hubungan sejarah
dengan Asy'ariyyah,
tetapi asal tahu saja,
ternyata tidak seorang
pun ulama Ahlussunnah
Wal-Jama'ah yang
berfatwa atau
berpendapat seperti
mereka bahwa memuji
dan menyanjung
Rasulullah Saw.,
bertawassul dengan
beliau setelah wafatnya,
dan bertawassul dengan
para wali atau orang
shaleh yang sudah
meninggal adalah
sebuah sarana
kemusyrikan. Jadi,
siapakah yang lebih
pantas disebut
Ahlussunnah Wal-
Jama'ah, kaum Salafi &
Wahabi yang memahami
aqidah para ulama salaf
dengan caranya sendiri
sehingga berbeda
kesimpulan dengan para
ulama salaf itu, ataukah
para pengikut
Asy'ariyyah yang
menerima ajaran aqidah
ulama salaf secara
turun temurun dari
generasi ke generasi
melalui para guru dan
kitab-kitab mereka?
sumber:
www.daarulmukhtar.org

Jumat, 18 Februari 2011

Pembenci RasulullahTerpanggang Di atasQubbah Khadlra (QubahHijau Makam Rasulullah)



Terjemah:
Dikutip dari Syekh az-Zabidi: “Para musuh Rasulullah setelah mereka selesai menghancurkan makam-makam mulia di komplek pemakaman al Baqi ’; mereka pindah ke Qubah Rasulullah untuk
menghancurkannya. Salah seorang dari mereka lalu naik ke puncak Qubah untuk mulai menghancurkannya, tapi kemudian Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut yang dengan hanya satu kali hantaman saja orang tersebut langsung mati hingga -raganya- menempel di atas Qubah mulia itu. Setelah itu tidak ada seorang pun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut dari atas Qubah; selamanya. Lalu ada salah seorang yang sangat saleh dan bertakwa mimpi
diberitahukan oleh Rasulullah bahwa tidak akan ada seorangpun yang mampu menurunkan mayat orang tersebut. Dari sini kemudian orang tersebut “ dikuburkan” ditempatnya (di atas Qubah; dengan
ditutupkan sesuatu di atasnya) supaya menjadi pelajaran ”. foto tahun 1427 H.


Selain Masjid Nabawi, tempat bersejarah dan penuh berkah lainnya di kota Madinah adalah kompleks pemakaman Baqi. Di tempat itulah dimakamkan para imam ahlulbait, keluarga nabi, dan juga para sahabat termasuk kalangan syuhada. Dahulu, tempat tersebut cukup rapi dengan bangunan dan kubah tempat orang berkumpul untuk berziarah. Sampai akhirnya, kelompok Wahabi menguasai Jazirah Arab. Secara bertahap dan dengan alasan yang rapuh, pada hari Rabu 8 Syawal 1345 H bertepatan dengan 21 April 1925, pemakaman Baqi dihancurkan secara total oleh Raja Abdul Aziz dari Arab Saudi. Pada tahun yang sama, ia juga menghancurkan makam manusia suci di Jannatul Mualla (Makkah) di mana ibunda Nabi Muhammad s.a.w.w (Siti Aminah as.), istri Nabi, kakek dan
leluhur Nabi dikuburkan.

                                   (Baca: Makam Keluarga dan Sahabat Nabi Dihancurkan)

Pemakaman Baqi tahun 1903

Ada satu bangunan berkubah yang belum dihancurkan: Kubah Hijau Nabi. Ada sebuah kisah tentang usaha penghancuran kubah Masjid Nabawi yang layak diambil hikmahnya oleh kita. Inilah sebuah mukjizat yang telah terjadi sekitar 90 tahun yang lalu yang disampaikan oleh Syekh Az-Zubaidi. Seseorang berusaha untuk menghancurkan Kubah Masjid Nabawi di mana di dalamnya terdapat makam Nabi Muhammad saw. Namun, ketika orang itu memanjat kubah dan memulai menghancurkannya, tiba- tiba sebuah kilat menyambarnya dan ia tewas seketika. Tidak ada seorangpun yang mampu memindahkan mayat tersebut dari atas kubah. Dikisahkan pula, ada orang saleh dari Madinah yang dalam mimpinya mendengar sebuah suara yang mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa mengangkat mayat tersebut dari kubah. Hal itu sebagai sebuah peringatan dan pelajaran bagi mereka yang berpikir dan berusaha untuk menghancurkannya di masa mendatang! Akhirnya, mayat tersebut tetap berada di atas kubah dan ditutupi dengan kotak hijau agar tidak terlihat oleh orang- orang. Wallahualam.





Catatan: You don’t have to believe this article. Anda bisa mencari gambar Kubah Hijau yang lain dan menemukan semacam titik berwarna gelap karena kotak tersebut telah di ikat dengan tali. Informasi ini pertama kali saya dapat dari Ust. Abbas Alhabsyi. Jika ingin berbagai artikel ini jangan lupa sertakan sumbernya. Shallû ‘ala an-nabî wa âlih…

Senin, 07 Februari 2011

pertanya'an khilafiyah kepada gus mus

Tanya: Bapak Mustofa Bisri, beberapa pertanyaan sederhana saya ini mungkin sudah 'usang', tetapi karena saya belum paham benar maka mohon dengan sangat Bapak sudi menjawabnya. Adapun persoalannya yaitu: Dalam shalat Subuh, saya tidak memakai doa qunut. Sedangkan di mesjid desa kami bila berjamaah Subuh selalu memakai qunut. 

Pertanyaannya: Bagaimana bila saya diminta sebagai imam di mesjid tersebut; apakah aya harus juga memakai doa qunut sebagaimana kebiasaan mereka, sementara kalau di rumah saya tidak melakukannya. Sebab saya khawatir bahwa doa yang saya ucapkan saat menjadi imam itu karena
mereka, bukan karena suara hati saya. Apakah itu dapat dikatakan saya tidak konsisten pada pendirian? Kemudian bagaimana hukumnya mengangkat tangan dalam doa qunut tersebut (baik bagi imam/ makmumnya)?
Bagaimana hukumnya membaca surah sesudah surah Al-Fatihah dalam shalat sunnah rawatib itu? Apakah shalat sunnah Tahajjud boleh dikerjakan berjamaah? 
Bila boleh apakah bacaannya juga dikeraskan?
 Apakah benar bila kita terlambat berangkat shalat Jum'at (datang sesudah khatib berdiri di atas mimbar) maka shalatnya tidak diterima. Apakah ada dalilnya?
Atas jawabannya saya mengucapkan terima kasih.

Yoyok Sky
Depok, Sleman, Yogya
==================



Jawab:
Wah, pertanyaan Anda banyak sekali dan kebanyakan menyangkut masalah khilafiyah, maka, maaf saya akan menjawabnya langsung saja. Qunut memang masalah khilafiya 'usang'. Dari dulu hingga sekarang --sungguh mengherankan-- tak bosan-bosannya orang mendebatkannya. Selalu saja muncul dari masing-masing pihak yang berbeda, orang yang berlagak bisa menghentikan perdebatan dengan hanya mengulang argumentasi pihaknya sendiri (karena mungkin hanya itu yang paling dikuasai) dan mengulang-ulang kecaman kepada pihak yang berbeda, tanpa menyadari bahwa pihak lain pun dapat berbuat seperti dia. Ini sungguh perbuatan yang hanya membuang-buang energi. Soal khilafiyah, perbedaan pemahaman dan pendapat adalah soal "kepala" bukan soal "rambut". Kalau soal rambut, yang tidak hitam bisa dicat hitam semua. Kalau soal isi kepala, Tuhan sendiri tidak menghendakinya sama kan?
Nah, Anda boleh qunut boleh tidak. Tapi terlepas dari kontroversi oal qunut itu sendiri, menurut saya dewasa ini sebaiknya Anda dan semua orang Islam melakukan qunut. Paling tidak pada waktu shalat Subuh. Dewasa ini menurut saya tidak boleh ada yang tidak melakukan qunut.
Dan Anda tak usah khawatir dianggap orang yang tidak konsisten. Kan Anda shalat karena Allah. Kalau Anda merasa tidak bisa, ya makmum sajalah. Jangan mau jadi imam. Adapun mau mengangkat tangan ketika berdoa qunut, silakan, tidak silakan. Ini juga soal khilafiyah Kedua-duanya ada hadisnya, kedua-
duanya punya argumentasi. Tidak membaca surah setelah Al-Fatihah tidak apa-apa, membaca surah lebih baik. Ada yang membolehkan ada yang tidak. Mereka yang membolehkan, ada yang mengatakan bacaannya dikeraskan ada yang tidak. (Baca misalnya, al-Fiqhu 'alaa- Madzaahib al-Arba'ah I/263)
Tidak benar. Asal masih mengikuti shalat imam Jum'at, salat orang yang Anda bilang terlambat datang itu diterima. Tapi memang kurang afdhol. (Baca kitab-kitab fikih bab Shalat Jum'at).
Wallaahu A'lam.

=====================================================================

Tanya:
Akhir-akhir ini sering terdengar anjuran untuk melakukan qunut nazilah. Terus terang saya belum
jelas benar mengenai soal qunut ini. Saya pernah bersembahyang Jum'at di suatu mesjid, setelah
rakaat kedua, imam mengangkat tangan dan membaca doa seperti pada shalat Subuh. Hanya ada tambahan doa-doa lain. Di lain waktu saya berjamaah sembahyang Lohor di suatu mushalla, imamnya juga berdoa tapi sehabis rukuk yang terakhir (keempat). Yang saya tanyakan: Apakah qunut nazilah ini dan bagaiman cara melakukannya yang benar? Apakah qunut nazilah tersbeut khusus untuk imam, makmum hanya mengamini? Bagaiman bila shalat sendirian? Apakah bedanya dengan qunut Subuh dan apa yang dibaca? Atas jawaban Pak Mus saya sampaikan terima kasih.



Zawawi
Pekalongan

====================


Jawab:
Di dalam bahasa Arab, qunut semula bisa berarti: tunduk; merendahkan diri kepada Allah; mengheningkan cipta; berdiri shalat. Kemudian digunakan untuk berdoa tertentu di dalam shalat.
Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetakan, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus. Pendapat ulama pun berbeda-beda mengenai qunut dan muthlaq ini (seperti lazimnya, sesuai interpretasi dan pilihan menurut sandar kesahihan masing-masing terhadap hadis-hadis yang ada tentang itu).
Ada yang berpendapat qunut muthlaq hanya dilakukan pada waktu shalat Witir sebelum rukuk (Hanafi) atau sesudah rukuk (Hanbali). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu hanya disunnahkan pada waktu shalat Subuh sebelum ruku kedua (Maliki). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu dilakukan waktu shalat Subuh dan shalat Witir pertengahan terakhir bulan Ramadlan setelah rukuk terakhir (Syafi'i). Untuk lebih luasnya, silahkan membaca Ibanat al-Ahkaam I/428-433; al- Fiqhu 'alaa al- Madzhaahib al-Arba'ah I/336-340; dan Bidayat al- Mujtahid I/131-133).

Nah, sekaranga akan saya coba menjawab sesuai pertanyaan Anda.
Seperti sudah disinggung di atas, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika Rasulullah Saw. atas permintaan Ri'l Dzukwan
dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim, mengirim 70 orang Quraa (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah samapi di suatu tempat yang bernama Bi'r al-
Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang Quraa tersebut.
Mendengar itu Rasulullah Saw. berdoa dalam shalat untuk kaum mustadh'afiin, orang- orang yang tertindas, di Mekkah. Jika Anda biasa melakukan qunut Subuh atau qunut Witir, maka melakukan qunut nazilah ya seperti itu. Menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu, setelah rukuk yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal mengamini doa imam. Jadi, qunut nazilah sama dengan qunut Subuh.
Bacaannya juga sama seperti doa yang datang dari Rasulullah Saw. dan populer itu: Hanya dalam qunut
nazilah dapat ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi. Misalnya dalam malapetaka Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan Aceh ini, kita bisa memohon kepada Allah agar penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk mereka yang lalim.

Wallaahu A'lam.

Senin, 31 Januari 2011

Dzikir Berjamaah sejak Zaman Rosul SAW By: Ustadz M. Arifin Ilham


Sekte wahabi muncul pada abad 14 hijriah, mereka ini merupakan penyakit dalam tubuh kaum muslimin yang telah menyerang hampir seluruh Negara muslimin dimuka bumi.
Mereka ini selalu mengada-adakan dan mempermasalahkan hal-hal yang tidak pernah dipermasalahkan oleh Ulama Besar, Para Imam, para Tabi’in, para
L sahabat, bahkan Rasul saw. hal ini para ulama tidak mengkategorikan bahwa Ibn Abdul wahhab sebagai Imam Madzhab (dalam arti Mujtahid), karena seorang Imam Madzhab adalah orang yang suci dari mencaci maki muslimin, apalagi menganggap musyrik pada ahli syahadat, atau menganggap perbuatan sahabat rasul
radhiyallahu’anhum adalah Bid’ah munkarah.
Imam madzhab adalah pewaris Rasul saw, orang yang berjiwa arif dan lidahnya selalu basah berdzikir kepada Allah, mendo'akan yang sesat,
mendo'akan hidayah bagi orang kafir, demikian pulalah Lidah Rasul saw.
Dzikir berjamaah sejak zaman Rasul saw, sahabat, tabi ’in tak pernah dipermasalahkan, bahkan merupakan sunnah rasul saw, dan pula secara akal sehat, semua orang mukmin akan asyik berdzikir, dan hanya syaitan yang benci akan hangus terbakar dan tak tahan mendengar suara dzikir. kita bisa bandingkan
mereka ini dari kelompok mukmin, atau kelompok syaitan yang sesat..,
dengan cara mereka yang memprotes dzikir jamaah, telinga mereka panas, dan ingin segera kabur bila mendengar jamaah berdzikir.
1). para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat-sahabat radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “ HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”. (Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq). Perlu diketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi ’in.
2). saat membangun Masjidirrasul saw : mereka bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah ” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “ Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw-bina ’ masjidissyarif hal 116)
3). ucapan ini pun merupakan do'a Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain.
4). Firman Allah swt : “ SABARKANLAH DIRIMU BERSAMA KELOMPOK ORANG ORANG YG BERDOA PADA TUHAN MEREKA SIANG DAN MALAM SEMATA MATA MENGINGINKAN KERIDHOAN NYA, DAN JANGANLAH KAU JAUHKAN PANDANGANMU (dari mereka), UNTUK MENGINGINKAN KEDUNIAWIAN. ” (QSAlkahfi 28)
Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra berdzikir bersama para sahabat, maka Allah ta'ala memerintahkan Rasul saw dan seluruh ummatnya duduk untuk menghormati orang-orang yang berdzikir.
Mereka (sekte wahabi) mengatakan bahwa ini tidak teriwayatkan bentuk dan tata cara dzikirnya, ah..ah … ah…. Dzikir ya sudah jelas dzikir.., menyebut nama Allah, mengingat Allah swt, adakah lagi ingin dicari pemahaman lain?
5). Sahabat Rasul radhiyallahu ’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya merekapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yang terang benderang dengan keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah….
Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini ….
maka kalau ada pertanyaan : “ siapakah yang pertama kali mengajarkan Bid’ah hasanah?, maka kita dengan mudah menjawab, yang pertama kali mengajarkannya adalah para Sahabat Rasul saw, karena saat itu Umar ra setelah bersepakat dengan seluruh sahabat untuk jama'ah tarawih, lalu Umar ra berkata : “WA NI’MAL BID’AH HADZIH..”. (inilah Bid’ah yang terindah).
Siapa lebih tahu makna menghindari bid ’ah? Umar bin Khattab ra, makhluk nomer dua paling mulia di ummat ini bersama seluruh sahabat radhiyallahu ’anhum. atau madzhab sempalan abad ke 20 ini.
6). Lalu para tabi’in sahabat, maka mereka menggelari setiap menyebut nama sahabat dengan ucapan Radhiyalahu’anhu/ha/hum. Inipun tak pernah diajarkan oleh Rasul saw, tak pula pernah diajarkan oleh sahabat, walaupun itu berdalilkan beberapa ayat didalam alqur ’an bahwa bagi mereka itu keridhoan Allah ta ala, namun tak pernah ada perintah dari Rasul saw untuk menggelari setiap nama sahabat beliau dengan ucapan radhiyallahu ’anhu/ha/hum.
Inipun Bid’ah hasanah, kita mengikuti Tabi’in mengucapkannya karena cinta kita pada Sahabat.
7). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menambahkan lagi dengan menyebut-nyebut nama para Khulafa ’urrasyidin dalam khotbah kedua pada khutbah jumat, Ied dll..,
inipun bid ’ah, tak pernah diperbuat oleh para Tabi ’in, Sahabat, bahkan Rasul saw, namun diada-adakan karena telah banyak kaum mu ’tazilah yang mencaci sahabat dan melaknat para Khulafa ’urrasyidin, maka hal ini mustahab saja, (baik dilakukan), tak ada pula yang benci dengan hal ini kecuali syaitan dan para tentaranya.
Lalu kategori Bid’ah ini pun muncul entah darimana? membawa hadits :
“ Semua Bid’ah adalah sesat dan semua sesat adalah di neraka ”.
Menimpakan hadits ini pada kelompok sahabat.
Adakah seorang muslim mengatakan orang yang memanggil nama Allah Yang Maha Tunggal, menyebut nama Allah ta'ala dengan takdhim, berdo'a dan bermunajat, mereka ini sesat dan di neraka?
Orang yang berpendapat ini berarti ia telah mengatakan seluruh nama nama di atas adalah penduduk neraka termasuk
Umar bin Khattab ra dan seluruh sahabat , dan seluruh tabi’in, dan seluruh ulama ahlussunnah waljama ’ah termasuk Sayyidina Muhammad saw, yang juga diperintah Allah untuk duduk bersama kelompok orang yang berdoa, dan beliau lah saw yang mengajarkan do'a bersama sama.
Kita di Majelis-Majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung panggung maksiat yang setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal?
Menggemakan nama Allah?
Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi?!!!
Seribu dalil mereka cari agar Nama Allah ta'ala tak lagi dikumandangkan…. Cukup berbisik-bisik …! Sama dengan komunis yang melarang meneriakkan nama Allah ta'ala, dan melarang kumpulan dzikir …. Adakah kita masih bisa menganggap kelompok wahabi ini adalah ahlussunnah ….?!!
Kita Ahlussunnah waljama ’ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.

Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :
 “BILA IA (HAMBAKU) MENYEBUT NAMAKU DALAM DIRINYA, MAKA AKU MENGINGATNYA DALAM DIRIKU, BILA MEREKA MENYEBUT NAMAKAU DALAM KELOMPOK BESAR, MAKA AKU PUN MENYEBUT (membanggakan) NAMA MEREKA DALAM KELOMPOK YANG LEBIH BESAR DAN LEBIH MULIA ”. (HR Bukhari Muslim).

Saran saya, kita doakan saja madzhab sempalan abad ke 20 ini, agar mereka diberi hidayah dan kembali kepada kebenaran.
Wahai Allah ta'ala, telah terkotori permukaan Bumi-Mu dengan sanubari sanubari yang disesatkan syaitan, maka hujankanlah hidayah-Mu pada mereka agar mereka mau kembali pada kebenaran, beridolakan sang Nabi saw, beridolakan Muhajirin dan Anshar, berakhlak dengan akhlak mereka, sopan dan rendah hati sebagaimana mereka.
Demi Kemulia'an Ramadhan, Demi Kemuliaan Shiyaam walqiyaam, Demi Kemulia'an Nuzululqur ’an, danDemi Kemuliaan Muhammad Rasulullah saw,
amiin.